Dilema Sidang Skripsi: Kalau Bukan Dinasihati, Mungkin Dibantai

Dilema Sidang Skripsi: Kalau Bukan Dinasihati, Mungkin Dibantai
info gambar utama

Sidang skripsi, dua kata yang mampu membuat bulu kuduk mahasiswa merinding dan perut terasa mual. Bagaimana tidak, sidang skripsi merupakan momen paling menegangkan dalam hidup seorang mahasiswa. Bukan hanya karena harus mempertanggungjawabkan hasil penelitian selama berbulan-bulan, tetapi juga karena teror yang dilakukan oleh para penguji yang suka 'bermain-main' dengan mental mahasiswa yang rapuh.

Dalam sidang skripsi, mahasiswa dihadapkan dengan dua pilihan: dinasihati atau dibantai. Pilihan yang terdengar seperti hukuman mati bagi mahasiswa yang berjuang habis-habisan menyelesaikan skripsinya. Namun, mari kita telaah lebih dalam.

Pertama-tama, mari kita bahas opsi pertama: dinasihati. Bagaimana pun, saran dan masukan konstruktif adalah hal yang penting untuk perkembangan mahasiswa. Namun, dalam prakteknya, dinasihati di sidang skripsi bisa menjadi momok yang menakutkan. Seolah-olah, para penguji memiliki misi untuk menghancurkan semua mimpi dan harapan mahasiswa.

Manifestasi Lagu Musisi Nadin Amizah yang Menggelorakan Semangat Generasi Z

Mereka dengan berani mencela segala kesalahan dan kekurangan dalam penelitian yang telah dilakukan. Mereka menggali setiap celah dan mengupas tuntas kelemahan mahasiswa yang sedang berjuang keras. Akhirnya, mahasiswa pun menjadi korban yang berdarah-darah di medan perang sidang skripsi.

Tidak jarang, mahasiswa merasa putus asa dan meragukan kemampuannya sendiri setelah sidang skripsi. Rasa percaya diri yang sudah terkikis akibat tekanan sidang, semakin hancur ketika mereka dihadapkan dengan kritik yang tak henti-henti. Beberapa bahkan mengalami trauma dan kehilangan semangat untuk melanjutkan studi mereka.

Ironisnya, sidang skripsi yang seharusnya menjadi ajang untuk membangun kemampuan akademik, berubah menjadi momen yang menghancurkan mental mahasiswa.

Namun, jika kita melihat dari sisi lain, mungkin ada juga manfaat dari dinasihati. Sidang skripsi bisa menjadi ajang pembelajaran yang berharga. Dengan adanya kritik tajam, mahasiswa bisa memperbaiki penelitian mereka dan tumbuh menjadi lebih baik.

Namun, pertanyaannya adalah, apakah ada cara yang lebih baik untuk memberikan saran dan masukan tanpa harus membuat mahasiswa merasa seperti tengah digorok oleh penguji?

Inilah mengapa kita sampai pada opsi kedua: dibantai. Kalau dinasihati sudah terlalu mainstream, mengapa tidak mencoba metode yang lebih 'menyenangkan'? Mari kita hadapi kenyataan, sidang skripsi tidak selalu tentang pembelajaran. Terkadang, para penguji hanya ingin menguji sejauh mana mahasiswa mampu bertahan dan berpikir secara spontan di bawah tekanan.

Mereka menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan dan menghancurkan argumen mahasiswa tanpa ampun. Semua ini dilakukan semata-mata untuk menguji mental mahasiswa. Bukan mengajarkan, tapi menciptakan teror dalam benak mereka.

Tentu saja, metode ini sangat tidak manusiawi. Mahasiswa yang sudah lelah menyelesaikan skripsi dan menghadapi sidang, dihadapkan dengan situasi yang jauh dari adil. Dibantai oleh penguji yang sadis bukanlah cara yang seharusnya dalam memberikan penilaian terhadap skripsi. Jika ini adalah cara terbaik untuk menguji kemampuan seorang mahasiswa, maka mungkin ada yang salah dengan sistem pendidikan kita.

Bukankah lebih baik jika sidang skripsi menjadi momen yang membangun? Sebuah kesempatan untuk memberikan masukan dan saran yang konstruktif, tanpa harus menghancurkan harapan dan mimpi mahasiswa. Sebuah proses yang menghargai usaha dan perjuangan yang telah dilakukan. Kita bisa menciptakan suasana yang lebih santai dan ramah, yang mendorong mahasiswa untuk berpikir secara kreatif dan mendalam.

Pentingnya Pendidikan Bagi Masyarakat Indonesia

Akhir kata, dilema sidang skripsi yang dihadapi mahasiswa adalah sebuah peringatan akan pentingnya mengubah pola pikir dalam menilai dan mendampingi mahasiswa. Jangan lagi kita menciptakan suasana yang menyeramkan dan teroris. Mari kita bangun sistem pendidikan yang memperhatikan kesejahteraan mental mahasiswa. Kita harus mengubah paradigma sidang skripsi menjadi sesuatu yang memotivasi dan membangun, bukan menghancurkan.

Jika tidak ada perubahan, maka kita terjebak dalam siklus yang berulang. Para mahasiswa akan terus merasa terancam dengan sidang skripsi dan dunia akademik akan tetap dihantui oleh dilema ini. Jadi, mari kita bersama-sama berjuang untuk menciptakan perubahan yang positif dan menghilangkan kegelisahan tersebut. Sebuah langkah kecil yang bisa membawa dampak besar dalam kehidupan mahasiswa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini