Hikayat Musik Tarling yang Lahir dari Keseharian Masyarakat Pantura

Hikayat Musik Tarling yang Lahir dari Keseharian Masyarakat Pantura
info gambar utama

Grup Candra Kirana, pimpinan Djana Partanain berlatih untuk menyongsong pertunjukan kesenian di Taman Budaya Bandung. Grup ini merupakan satu dari sedikit grup tarling yang bertahan dengan gaya klasik di Kota Cirebon.

Mereka membawakan tembang-tembang kiser yang umumnya mengungkapan kesedihan atau perasaan terdalam. Salah satunya adalah “Kiser Saedah-Saenin yang dinyanyikan sinden Mimi Nani.

“Kisah ini mengisahkan kepedikah kakak-beradik Saedah-Saeni yang ditinggal bapaknya karena dia memiliki istri baru,” jelas Nani yang juga pengelola grup tarling di Desa Kepompongan, Cirebon.

Rogoh Kocek Rp32 T, Indonesia Mau Hapus Jalan Daendels dari Sejarah

Tarling merupakan kesenian yang lahir di tengah rakyat sehingga tumbuh dan berkembang tanpa pakem. Budayawan Indramayu, Supali Kasim menyatakan sebagai seni rakyat yang tidak lahir dari keraton, tarling amat dinamis.

Dimuat dari Kompas, seni musik ini mudah dipadupadankan dengan jenis musik apapun, bahkan seni apapun. Misal tarling bisa dibarengi dengan dangdut, keroncong, bahkan bisa mengiringi pertunjukan wayang.

“Sisi jeleknya, sifat dinamis yang kebablasan juga membahayakan sebab membuat seni ini terombang-ambing, tidak mempunya prinsip, sehingga rentan dieksploitasi,” ujarnya.

Ditemukan kebetulan

Disebutkan oleh Supali, tarling memang ditemukan secara kebetulan. Dicatatnya pada tahun 1931, seorang komisiaris Belanda mendatangi rumah Sakim di Indramayu. Dirinya meminta Mang Sakim memperbaiki gitarnya yang rusak.

Tetapi selang beberapa hari setelah diperbaiki, gitar itu tidak kunjung diambil. Setelahnya malah gitar itu dipakai anak Mang Sakim, Sugra. Dirinya kemudian iseng memainkan untuk tembang-tembang dalam gamelannya.

“Mang Sugra lalu mengadaptasi bunyi gamelan ke dawai gitar Eropa, kemudian ditingkahi alunan seruling bambu dan tembang gamelan,” paparnya.

Jalur Pantura Jawa, Ada Sejak Mataram Islam yang Jadi Favorit ketika Mudik

Setelah itu kesenian ini baru menjadi terkenal di wilayah Cirebon-Indramayu. Anak-anak muda memainkannya di warung-warung kopi untuk pergaulan. Beberapa di antaranya dipakai untuk memikat hati kekasihnya.

Selanjutnya tahun 1954, seorang seniman asal Cirebon, Uci Sanusi melengkapi seni ini dengan kendang, sepasang gong, sepasang tutukan, dan kecrek dari lempengan besi. Tarling akhirnya menjadi seperti orkestra keroncong.

“Grup Uci laris diundang di sejumlah hajatan sehingga ke Brebes, Tegal, Pekalongan, di Jawa Tengah. Tarling makin jaya dan dikenal,” papar Supali.

Malah kehabisan napas

Seniman asal Cirebon, Sunarto Marta Atmaja menyebutkan istilah taling memiliki sebuah falsafah yaitu yen wis mlatar, kudu eling. Hal ini mempunyai arti bahwa jika orang sudah berbuat negatif harus segera sadar dan bertobat.

Karena itu beberapa cerita yang didramatisasikan dengan lagu-lagu tarling sangat dekat dengan kehidupan warga pesisir yang termarjinalkan, miskin, timpang, kurang pendidikan, dan sarat mistis yang merupakan ekspresi jujur warga Cirebon-Indramayu.

“Hal itu yang membuat seni ini dicintai warganya,” kata Supali.

Majalah Aktuil, Media Musik Legendaris Indonesia yang Prestisius di Masanya

Pada bukunya yang berjudul Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar Suling, Supali mencatat sekitar tahun 1960 an Sunarto dengan Grup Nada Budaya dan Abdul Adjib dengan Grup Putra Sangkala berinovasi menambahi tarling dengan sandiwara.

Namun pada 1980-an, seniman tarling malah mengadopsi dangdut sehingga bukan hanya meniru musiknya, tetapi juga potongan rambut, nama, sampai jenggot Rhoma Irama. Di masa kini, tarling seperti kehabisan napas.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini