Prospek Masa Depan Pasar Pembayaran Digital ASEAN

Prospek Masa Depan Pasar Pembayaran Digital ASEAN
info gambar utama

Menurut sebuah studi terbaru yang dipimpin oleh Google, pasar pembayaran digital di Asia Tenggara siap untuk pertumbuhan yang mengesankan pada tahun 2022. Diperkirakan nilai transaksi akan mencapai $2 triliun pada tahun 2030, meningkat tiga kali lipat dari dekade sebelumnya. Fintech dan bank digital adalah pendorong utama dari pertumbuhan yang cepat ini.

Laporan tahunan dari Google, investor Singapura Temasek Holdings, dan perusahaan konsultan manajemen Bain & Co menganalisa tren ekonomi digital di enam pasar regional yang menarik, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Asia Tenggara menjadi medan pertempuran yang sengit bagi perusahaan-perusahaan pembayaran digital. Adyen, yang berbasis di Amsterdam, dan Stripe, yang berbasis di San Francisco dan Dublin, telah menjadi pemain kunci di kawasan ini, membawa inovasi dan kompetisi yang menarik.

Di arena perbankan digital, perusahaan-perusahaan teknologi berlomba-lomba untuk merebut pangsa pasar massal dan menjangkau pengguna yang belum terlayani, dengan harapan dapat memanfaatkan basis pelanggan yang besar.

Salah satu contohnya adalah Grab, penyedia layanan transportasi dan pesan-antar makanan, yang baru-baru ini meluncurkan bank virtual pada bulan September dalam kemitraan dengan Singapore Telecommunications. Bank virtual ini secara khusus dirancang untuk menjangkau para pekerja di bidang gig economy dan generasi muda. Mereka juga berencana untuk memperluas kehadiran mereka ke pasar Malaysia dan Indonesia tahun ini.

Tahun lalu, Ant Group, anak perusahaan fintech dari Alibaba Group Holding di Cina, juga meluncurkan bank digital grosir di Singapura. Selain itu, bank-bank besar seperti Standard Chartered dan peritel Singapura FairPrice Group juga telah memasuki pasar perbankan virtual, dan berhasil menarik 100.000 pelanggan dalam waktu 10 hari.

Namun, Florian Hoppe, mitra dan kepala praktik digital untuk Asia-Pasifik di Bain, mencatat bahwa bank-bank digital baru akan menghadapi tantangan dalam bersaing di segmen berpenghasilan tinggi karena bank-bank yang sudah mapan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan para nasabah.

Di sisi lain, pendanaan untuk perusahaan rintisan di kawasan ini juga tetap sangat kuat pada paruh pertama tahun ini, dengan nilai kesepakatan naik 13% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, sektor layanan keuangan digital mengalami pertumbuhan yang signifikan, dengan mengumpulkan $4 miliar pada paruh pertama tahun ini. Para investor sangat optimis terhadap sektor pembayaran dan pinjaman konsumen, karena melihat potensi yang besar.

Pada tahun 2023, pasar pembayaran digital diperkirakan akan mencapai total nilai transaksi sebesar USD 226,50 miliar. Tren pertumbuhan yang terus berlanjut diperkirakan akan memberikan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 14,16% dari tahun 2023 hingga 2027. Pada tingkat ini, total nilai transaksi yang diproyeksikan diperkirakan akan mencapai USD 384,70 miliar pada tahun 2027. Sektor perdagangan digital telah memimpin pasar ini dengan proyeksi total nilai transaksi sebesar US$193,70 miliar pada tahun 2023.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Internet di kawasan ini menunjukkan bahwa nilainya akan mencapai US$330 miliar pada tahun 2025, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar US$363 miliar. Namun, Stephanie Davis dari Google mencatat bahwa ini adalah pertama kalinya laporan tersebut menurunkan proyeksi, yang menunjukkan dampak dari gangguan pada rantai pasokan global selama pandemi.

Sementara itu, dalam konteks negara-negara Asia Tenggara, Indonesia terus memimpin sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar. Belanja online di Indonesia diproyeksikan mencapai USD 130 miliar pada tahun 2025, diikuti oleh Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Singapura, yang menunjukkan potensi pertumbuhan yang signifikan di kawasan ini.

Indonesia telah menjadi kekuatan utama di pasar pembayaran digital ASEAN. Pada tahun 2020, volume pembayaran meningkat hampir 40%, sementara platform e-commerce menggandakan transaksi mereka menjadi sekitar 430 triliun rupiah (sekitar USD 30,1 miliar).

Pencapaian ini didorong oleh upaya bank sentral Indonesia. Mereka berhasil mengimplementasikan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS), sebuah sistem kode QR nasional yang bersifat wajib, untuk mendorong adopsi pembayaran digital yang dapat diakses oleh 65 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta konsumen yang mengalami kesulitan atau keterbatasan akses terhadap kartu kredit dan layanan keuangan utama lainnya.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menyumbang 61% dari perekonomian Indonesia, namun masih menghadapi tantangan dalam mengakses kredit. Kesenjangan pembiayaan sebesar US$50-70 miliar di sektor UMKM telah mengakibatkan hilangnya penciptaan nilai hingga US$130 miliar.

Di Filipina, ceritanya serupa. Meskipun masih ada daerah terpencil dan pedesaan yang belum terhubung dengan ekonomi digital karena keterbatasan infrastruktur dan keterampilan, adopsi digital terus berkembang pesat. Hampir semua pedagang digital, 97%, telah menerima pembayaran digital, dan sekitar dua pertiga telah mengadopsi pinjaman digital. Hasil survei menunjukkan bahwa akses ke platform digital sangat penting bagi 40% pedagang untuk bertahan di tengah pandemi.

Referensi:

Suruga. Tsubasa. (2022). ASEAN's Digital Payment Market to Reach $2tn in 2030: Study. asia.nikkei.com

Statisa. Digital Payment - ASEAN. statista.com

Bloomberg. Open for Business Southeast Asia’s Digital Payments Revolution. Bloomberg.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini