Harta Karun di Langit: Menelusuri Astrotourisme Asia Tenggara

Harta Karun di Langit: Menelusuri Astrotourisme Asia Tenggara
info gambar utama

Masyarakat Asia Tenggara telah lama mengintegrasikan pengetahuan astronomi kuno ke dalam kehidupan sehari-hari mereka, misalnya, untuk menentukan waktu bertani dan panen serta untuk menavigasi laut. Bahkan, astronomi telah dikaitkan dengan takdir dan agama, terutama dalam agama Buddha. Sebagai contoh, Candi Borobudur di Jawa Tengah berfungsi sebagai penunjuk waktu matahari yang akurat dan kini menjadi daya tarik wisata astronomi di Asia Tenggara.

Tidak mengherankan jika kegiatan astronomi kini berkembang menjadi pariwisata yang menggabungkan wisata dengan astronomi, astrotourism. Meskipun tidak sepopuler Eropa dan Australia dengan Aurora Borealis dan Aurora Australis, Asia Tenggara memiliki daya tarik tersendiri karena fenomena astronomi lainnya seperti Super Blue Blood Moon, gerhana bulan, dan gerhana matahari total menarik minat para pengunjung ke wilayah ini.

Dengan wilayah geografisnya yang luas, Indonesia sering menjadi tuan rumah gerhana bulan dan matahari total, menjadikannya sebagai tujuan astrotourism utama di masa depan, salah satunya adalah Super Blood Moon yang terjadi pada tanggal 31 Januari 2018. Fenomena ini hanya terjadi sekali seumur hidup, dengan jarak antara setiap kejadian sekitar 2.380 purnama, atau sekitar 265 tahun. Selain itu, tempat-tempat seperti Koh Kood di Thailand dan Bagan di Myanmar juga menawarkan lingkungan yang tenang untuk mengamati bintang di wilayah ini. Dengan potensi ini, Asia Tenggara siap untuk menjadi pusat perhatian di dunia astrotourisme.

Namun, tingkat polusi cahaya yang tinggi di beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam telah mengganggu kegiatan pengamatan bintang dan kegiatan wisata terestrial lainnya. Namun, dengan berinvestasi pada fasilitas astronomi seperti observatorium dan teleskop ilmiah, penduduk setempat dan wisatawan masih dapat menikmati pengalaman astronomi.

Wisata terestrial dianggap lebih berkelanjutan dalam jangka panjang karena membantu menjaga langit tetap gelap dengan mengurangi polusi cahaya dan ketergantungan pada sumber energi berbasis batu bara. Selain itu, pertumbuhan jenis pariwisata ini memberikan manfaat ekonomi bagi negara dan mata pencaharian bagi penduduk setempat, banyak di antaranya yang menawarkan rumah mereka sebagai Airbnb untuk wisatawan.

Sebaliknya, perlombaan antariksa antara perusahaan seperti SpaceX dan Virgin Galactic menyebabkan peningkatan emisi dari pesawat ruang angkasa bertenaga bahan bakar dan konstruksi ruang angkasa. Hal ini menyebabkan menipisnya lapisan ozon dan mempercepat perubahan iklim dan pemanasan global. Selain itu, biaya perjalanan ruang angkasa yang selangit, yang dapat mencapai ratusan juta dolar per kursi, hanya dapat diakses oleh kalangan elit yang kaya dan mengabaikan para astronom pemula.

Kabar baiknya, komunitas ilmiah telah menyuarakan keprihatinan tentang dampak lingkungan dari wisata antariksa, sehingga memberikan kesempatan bagi astrotourisme terestrial untuk menjadi lebih dominan.

Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara telah menamai eksoplanet dan bintang yang mencerminkan budaya dan warisan mereka yang dapat dipamerkan kepada dunia. Tujuh negara di kawasan ini telah menorehkan prestasi dengan menamai eksoplanet dan bintang dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh Persatuan Astronomi Internasional.

Sebagai contoh, exoplanet Haik dan bintangnya Amansinaya diambil dari mitologi Tagalog yang melambangkan perlindungan bagi para nelayan di laut. Demikian pula dengan exoplanet Viculus dan bintangnya Parumleo yang masing-masing berasal dari bahasa Latin yang berarti "desa kecil" dan "singa kecil" yang mencerminkan kerendahan hati dan budaya negara-negara Asia Tenggara.

Sebagai negara yang terlambat dalam aktivitas luar angkasa, negara-negara Asia Tenggara mengandalkan kerja sama internasional dengan negara-negara yang sudah berpengalaman seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan India dalam hal pendanaan, teknologi, dan talenta di bidang ini. Penggunaan satelit merupakan salah satu fokus mereka, terutama dalam memantau bencana alam dan perubahan iklim melalui komputasi awan.

Salah satu contohnya, Thailand membantu Vietnam dan Myanmar memantau area bencana, sementara Laos dan Thailand menggunakan satelit untuk melacak kedatangan turis. ASEAN juga telah membentuk Sub-Komite untuk Teknologi dan Aplikasi Luar Angkasa sebagai platform untuk kerja sama regional di bidang ini.

Namun, investasi di bidang teknologi ruang angkasa, termasuk astrotourism, mendapat kritikan karena biayanya yang tinggi. Beberapa negara mungkin mengabaikan pembangunan sosial dan ekonomi untuk mendukung kegiatan antariksa. Di sisi lain, astrotourism sebagai wisata terestrial juga dapat membawa manfaat besar dan memungkinkan para pemula dan ahli untuk belajar tentang astronomi.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, Asia Tenggara memiliki budaya yang kaya dan tradisi yang unik, dan langit malamnya menawarkan keindahan dan fenomena astronomi langka yang unik di kawasan ini.

Source:
Leong, Charmaine. (2023). Astrotourism in Southeast Asia. Asean Studies Centre

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini