Sandyakala Smara: Membawa Batik Kudus Kembali ke Kota Kretek Bersama Denny Wirawan

Sandyakala Smara: Membawa Batik Kudus Kembali ke Kota Kretek Bersama Denny Wirawan
info gambar utama

“Setelah bertahun-tahun Batik Kudus menyuarakan dirinya, dia akan kembali ke tempat muasalnya, inilah tempat muasalnya, Kudus”

---

Kalimat di atas hanya sedikit dari potongan aksi panggung bermonolog yang dilakukan Happy Salma, saat membuka acara peragaan busana Batik Kudus, dari koleksi ‘Sandyakala Smara’ karya desainer Denny Wirawan, Rabu (6/9), di Kota Kudus.

Bukan kali pertama, penciptaan karya sekaligus peragaan busana Batik Kudus dari Denny Wirawan sejatinya sudah memasuki tahun ke-8, sejak pertama kali bekerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation, dalam mengupayakan pelestarian batik asal Kota Kretek.

Bertempat di rumah adat Kudus Yasa Amrta, di hadapan lebih dari 250 pasang mata tamu undangan yang menyaksikan karyanya. Denny Wirawan dan Djarum Foundation membawa misi besar untuk mendekatkan kembali Batik Kudus pada publik, membantu menggerakkan perekonomian pembatik, dan memperkenalkan Kudus lewat budayanya yang memiliki ragam daya tarik.

“Mengolah Batik Kudus kembali menjadi bagian penting dari perjalanan kreatif saya sejak tahun 2015. Tahun ini telah sewindu keindahan Batik Kudus memberikan inspirasi yang membuat saya terus mengeksplorasi dan berkreasi. Tahun ini telah sewindu keindahan Batik Kudus memberikan inspirasi yang membuat saya terus mengeksplorasi dan berkreasi.” Ucap Denny.

Batik Madura, Keindahan Motif yang Menandai Kerinduan Istri Pelaut

Misi mendalam Sandyakala Smara

Peragaan busana Sandyakala Smara | Dok. Bakti Budaya Djarum Foundation
info gambar

Dorongan untuk menjaga kelestarian Batik Kudus berangkat dari kondisi kemunduran pada tahun 1980-an, di mana semakin menurunnya jumlah pengrajin batik lantaran kemunculan batik printing dengan proses pembuatan yang lebih cepat dan harga yang lebih murah.

Akibatnya, para pengrajin Batik Kudus mengalami gulung tikar karena tidak mampu beradaptasi.

Dengan latar belakang itu, sejak tahun 2010 Bakti Budaya Djarum Foundation melakukan program pembinaan kepada para pengrajin Batik Kudus dan menghidupkan kembali para pengrajin yang tadinya telah beralih profesi, serta memupuk generasi baru penerus kerajinan Batik Kudus.

Baru di tahun 2015, Bakti Budaya Djarum Foundation menggandeng Denny Wirawan untuk mengangkat Batik Kudus dengan sentuhan unik dan inovatif.

“Sandyakala Smara tak hanya sekadar busana, namun juga sebuah perjalanan budaya dan kreativitas yang mempertemukan antara masa lalu dan saat ini dengan harmoni. Sebuah perwujudan serta penghormatan atas warisan keindahan wastra dengan pembaruan yang dikemas dalam estetika yang memukau.” papar Denny.

Sejak 2015 pula, Denny Wirawan melahirkan karya-karya memukau Batik Kudus dimulai dari Pasar Malam, Padma di galeri fesyen New York Fashion Week, Wedari, Batik for The World di Paris, Perancis, Niti Senja, Langkah, dan di tahun ini Sandyakala Smara.

"Sandyakala Smara adalah sebuah persembahan istimewa sekaligus menghargai perjalanan panjang dalam berkarya melalui kain dan pola yang telah memberikan warna baru bagi dunia mode Indonesia. Semoga keindahan Batik Kudus yang ditampilkan dengan latar belakang langit dan rumah adat Kudus memberikan pengalaman berbeda yang menggugah hati dan merayakan warisan budaya yang kaya di tengah kita,” ungkap Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Kisah Tanah Betawi yang Pernah Jadi Pusat Industri Batik di Indonesia

Mengagumi Sandyakala Smara dalam 3 babak

Koleksi Sandyakala Smara Denny Wirawan | Dok. Bakti Budaya Djarum Foundation
info gambar

Dalam menggarap koleksi Batik Kudus kali ini, Denny Wirawan menghadirkan hasil karyanya dalam tiga babak berbeda, yakni Mahajana, Asmaradana, dan Layar Sutera.

Mahajana menampilkan keelokan kebaya dan kain Batik Kudus yang mengambil ciri khas gaya berpakaian wanita peranakan Tionghoa pada dekade 1930-an hingga 1950-an, yaitu 'Kebaya Encim' serta kain Batik Kudus tanpa potongan dengan berbagai motif klasik yang sudah dikreasikan sebagai padanannya.

Sedangkan Asmaradana, terinspirasi dari era baru kebangkitan industri di Tiongkok tahun 1920-an. Denny menjadikan atasan cheongsam sebagai kanvasnya, dan menciptakan karya-karya yang memukau dengan teknik terbaru dan pengolahan yang memancarkan kekinian.

Terakhir di babak ketiga Layar Sutera, Denny menarasikan citra keanggunan perempuan modern yang penuh budi pekerti namun di sisi lain juga dinamis serta tegas berwibawa. Terinspirasi dari kenangan kejayaan masa lalu di negeri Tiongkok, Denny mengajak para penikmat mode untuk traveling ke masa lalu melalui keindahan motif-motif khas Tiongkok yang tertuang dalam helaian Batik Kudus.

Dari setiap babaknya, Denny memanjakan pandangan tamu yang hadir dengan keindahan busana rancangannya yang bertabur motif flora dan fauna khas peranakan, seperti naga, phoenix, awan, burung Hong, kupu-kupu, ayam, bunga Krisan, Asteria, Lotus, Peonie, yang didominasi warna pastel dan warna-warna tradisional Tiongkok seperti merah, kuning, dan hijau yang menawan.

“Koleksi Sandyakala Smara saya persembahkan sebagai bentuk dedikasi untuk menggali lebih dalam lagi potensi-potensi yang ada pada motif Batik Kudus yang belum tereksplorasi, setelah sebelumnya hadir koleksi Pasar Malam, Padma, dan Wedari,” tambah Denny.

Kisah Raja Kretek dari Kudus yang Diabadikan Namanya dalam Pidato Bung Karno

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini