Inilah Penjelasan Carbon Credit, Anak Muda Harus Tahu!

Inilah Penjelasan Carbon Credit, Anak Muda Harus Tahu!
info gambar utama

Tranformasi iklim yang semakin buruk menjadi masalah yang harus ditindaklanjuti sebagaimana dampak yang ditimbulkan akan berbahaya bagi kelangsungan hidup setiap spesies. Beberapa penyebab perubahan ini yang terus terjadi di setiap tahunnya, seperti deforestasi hutan, hasil emisi karbon dari perusahaan industri, dan lain sebagainya, menyumbang 37 miliar ton pada tahun 2019 terakhir, menurut Ketua Global Carbon Project, Rob Jackson.

Bertumbuhnya gas emisi ini terus bertambah seiring dengan menurunnya kegiatan deforestasi sebanyak 75% di negara Indonesia itu sendiri sehingga menyebabkan hilangnya 115.459 hektar hutan pada tahun 2020 terakhir. Bahkan, hilangnya hutan meningkat sebanyak empat miliar atau sekitar sepertiga dari hutan di dunia. Melihat kegiatan tidak bertanggung jawab tersebut, peningkatan gas emisi karbon berbahaya terlihat sulit untuk diatasi dalam waktu yang singkat.

Jika melihat dari kemampuan negara maju yang sudah mencanangkan sumber energi terbarukan, seperti Jerman, Inggris, Denmark, mereka dapat menyukseskan program COP 26 dalam membatasi pemanasan global yang sudah berlangsung saat ini. Namun, program COP 26 memberikan kelonggaran kepada semua negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia dalam hal menyepakati komitmen ini, dengan melangsungkan credit carbon lewat industri kecil hingga perusahaan besar.

Beberapa instansi tidak menyetujui langkah yang terlihat terburu-buru ini karena dapat merugikan pendapatan pemiliki bisnis tersebut. Lalu, apakah credit carbon adalah langkah konkret yang harus dimulai dari sekarang?

Baca juga: Punya 17 Ribu GW EBT, Mampukah ASEAN Capai Nol Emisi Karbon?

Alasan pertama untuk menyetujuinya adalah instansi publik atau perusahaan swasta juga dapat berinvestasi dalam program ini di negara berkembang dalam hal penggunaan energi terbarukan yang dapat menghasilkan carbon credits sehingga dapat dijual di masa depan. Dengan begitu, bisnis kecil yang dijalankan masyarakat dapat ikut serta mengembangkan potensi dan relasinya ke jangkauan yang lebih luas sehingga mereka mendapat profit yang lebih besar.

Meski emisi karbon yang dihasilkan cukup kecil di tiap industri kecil, tetapi jika setiap industri tergerak untuk menjalaninya, maka sedikit demi sedikit program ini dapat terlaksana dan perekonomian dapat stabil karena setiap instansi mampu mengeluarkan pendapatan seiring dengan menjaga lingkungan.

Selain itu, pada tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp350 triliun dari transaksi jual beli sertifikat emisi karbon.

Bahkan, data Kementerian Lingkungan Hukum dan Kehutanan tahun 2015 menyebutkan bahwa 37 dari total 215 proyek carbon credits telah berhasil menurunkan emisi sebesar 10.097, 175 ton karbon dioksida dan 329,483 ton karbon dioksida dari perdagangan karbon bilateral dengan Jepang. Kerja sama ini menghasilkan investasi sebesar US$150 juta atau Rp2,1 triliun.

Oleh karena itu, keuntungan ini tidak hanya berpihak pada lingkungan, tetapi perekonomian yang semakin stabil. Stabilnya ekonomi, memungkinankan negara untuk terus percaya diri dalam menciptakan teknologi dengan energi terbarukan yang kemudian dapat melancarkan program perhentian pemanasan global.

Alasan kedua adalah proyek carbon credits yang dilangsungkan dalam negeri itu sendiri cenderung memiliki manfaat lingkungan yang lebih besar dan resiko “kebocoran” yang lebih kecil, seperti halnya mendorong emisi karbon di luar batas proyek. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 14 juta hektar yang dapat menyerap sekitar 2,2 miliar ton karbon dioksida (CO2) dari udara setiap tahun.

Selain perkebunan kelapa sawit, Indonesia masih belum kalah dengan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Selain itu, Indonesia memiliki hutan mangrove dengan luas mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon.

Dari data tersebut, artinya Indonesia mampu menyerap gas emisi karbon kurang lebih sebesar 113,18 gigaton dan jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga USD5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun. Apabila bisnis ini terus dilangsungkan antara industri-industri yang ada di Indonesia, tentu pertahanan dan perkenomian bersiklus dengan stabil dan tidak ada aspek yang dirugikan.

Di sisi lain, banyak masyarakat yang masih menentang proyek ini karena ketidaksiapan mereka dalam memantau perkembangan dan biaya yang dikeluarkan cenderung lebih mahal daripada proyek skala besar. Namun, pemerintah terus berupaya melalui Peraturan Presiden terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Selain itu, pasar karbon juga memberikan insentif bagi perusahaan dan pengusaha yang terlibat dalam kegiatan inovasi. Salah satu contohnya, Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penambahan kapasitas terpasang PLTS atap pada 2025 dapat mencapai 3,6 gigawatt (GW). Setiap tahunnya, nilai potensi penerimaan PLN dari penjualan nilai ekonomi karbon dan tarif layanan khusus energi baru terbarukan (EBT) mencapai Rp1,54 triliun. Faktanya hampir seluruh kegiatan manusia berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Lembaga Sertifikasi Proyek Karbon

Perdagangan karbon merupakan wadah solusi untuk mencangkan rendah karbon secara masif, efektif dan bernilai ekonomi. Indonesia dapat berperan dan menjadi poros ekonomi rendah karbon, karena memiliki potensi lahan dan serapan karbon yang cukup tinggi. Misi Indonesia untuk mencapai pengurangan emisi karbon dapat tercapai apabila perdagangan karbon yang terorganisir dimulai sejak dini.

Namun, faktor geografis Indonesia yang sulit untuk menjangkau daerah yang jauh dari pemantauan pusat menjadi kendala terbesar dalam melangsungkan program ini. Pemerintah tetap harus memantau dan melakukan suplai kebutuhan tiap industri dalam proses pasar karbon ini, sehingga biaya operasional memang harus disiapkan secara matang di setiap industri di Indonesia.

Oleh karena itu, sudah saatnya wilayah-wilayah di pusat daerah harus segara melangsungkan program ini terlebih dahulu dengan konsisten agar pendapatan yang diterima dapat digunakan untuk menunjang program ini di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Dengan begitu, seiring berjalannya waktu, tiap instansi bekerja sama dalam mengurangi emisi karbon guna mencapai iklim yang sehat.

Jadi, bagaimana menurut Kawan GNFI? Apakah pasar karbon termasuk solusi paling efektif dalam pengendalian perubahan iklim?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini