Semangat Anak Muda Jaga Eksistensi Penghayat Parmalim di Sumut

Semangat Anak Muda Jaga Eksistensi Penghayat Parmalim di Sumut
info gambar utama

Para penghayat Parmalim di Sumatra Utara menjalani kehidupan dengan kebersahajaan, welas asih, dan semangat menaati peraturan. Kepercayaan asli kaum Batak ini selama berabad-abad menghadapi tantangan peradaban.

Kepercayaan Parmalim hingga kini terus diwariskan ke generasi berikutnya. Di jalan hening, mereka setia merawat warisan nilai leluhur dan moyangnya. Seperti dilakukan oleh delapan remaja yang memasuki pelataran Bale Pasogit, rumah ibadah Parmalim.

Sumut Ekspor Tepung dari Larva Lalat, Dipakai Buat Apa?

Mengenakan baju serba putih bersarung mandar (sarung batak) dan ulos melintang di badan, 12 kelompok remaja, termasuk yang diikuti Pitua menarikan tortor (manortor) di hadapan tetua Parmalim.

“Untuk lomba ini, kami berlatih gerak dan pantun selama tiga minggu. Saingannya bagus-bagus. Tapi kalah dan menang enggak penting, yang lebih penting bisa ikut meramaikan acara dan belajar manortor yang benar,” ujar Pitua yang dimuat Kompas.

Kelompok-kelompok remaja penari tortor itu merupakan wakil desa atau komunitas penghayat Parmalim di lokasi mereka menetap. Sedikitnya 500 orang dari seluruh Indonesia akan berkumpul dalam acara ini.

Kaum muda

Hal yang menarik adalah penghayat Parmalim diisi oleh mayoritas anak muda dan anak-anak. Ini pemandangan cukup langka di kelompok penghayat keyakinan lokal tradisional di tengah arus deras modernitas.

Menurut Monang Naipospos, juru bicara komunitas penghayat Parmalim, kaum muda sengaja disediakan ruang berkreasi untuk menumbuhkan kecintaan mereka kepada komunitas asal nenek moyang.

Ketika menginjak usia remaja, mereka juga mulai diberi tanggung jawab dalam berbagai kegiatan adat, misalnya menyiapkan makanan bagi penghayat selama menunaikan ritual yang biasanya berlangsung beberapa hari.

Mengunjungi Binjai, Kota Pohon yang Jadi Tempat Rehat Favorit Pedagang

Sopian Silalahi, pengikut Parmalim yang juga mahasiswa Jurusan Bahasa Jerman, Universitas Medan menyatakan sejak kecil dia sudah sering diajak orang tuanya mengikuti upacara di Desa Huta Tinggi.

Menginjak usia remaja, dia mulai memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan budaya asli Batak dalam ritual Parmalim. Tak hanya melebur dalam situs, Sopian juga mengamalkan keyakinan Parmalim dalam kehidupan sehari-hari.

“Saya risih dengan teman-teman kampus yang merasa bangga jika melanggar rambu lalu lintas. Bagi kami, itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan,” katanya.

Semangat Sisimangaraja

Ihutan Parmalim, Raja Manokkok Naipospos mengatakan dalam sejarah generasi muda memegang peran penting dalam perjuangan kaum Parmalim yang menyembah Debata Mulajadi Nabolon sebagai Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.

Itu dimulai dari perlawanan Sisingamangaraja XII, raja muda Batak yang juga pemeluk Ugamo Malim untuk melindungi adat istiadat dari pengaruh Barat dan kaum Padri dari Sumatra Barat.

Menanti Stadion Baru di Sumut, Penerus Sejarah PON Setelah Stadion Teladan

Setelah Sisingamangaraja mangkat pada 1907, pengikut Parmalim yang dipimpin Raja Mulia Naipospos membangun sekolah Parmalim, semacam asrama bagi generasi muda. Di sini, selain nilai-nilai dan tradisi Batak, mereka diajari berhitung hingga bahasa asing.’

Tetapi sekolah itu kemudian ditutup pada tajun 1945, seiring Indonesia merdeka. Kini jalan terjal masih menghadang para penganut Parmalim yang berjumlah 6.000 di penjuru Nusantara. Mereka seolah terpinggirkan secara administrasi pemerintah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini