Tradisi Molabot Tumpe, Cermin Persaudaraan dari Panen Burung Maleo di Banggai

Tradisi Molabot Tumpe, Cermin Persaudaraan dari Panen Burung Maleo di Banggai
info gambar utama

Masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah memiliki tradisi tahunan yang unik. Pasalnya tradisi ini tidak hanya berlangsung di satu daerah saja. Tradisi ini bisa menghubungkan dua daerah yang berbeda melalui wilayah perairan.

Molabot Tumpe merupakan ritual adat tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat di dua kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai dan Kerajaan Matindok (Batul). Tradisi ini memiliki arti yang sangat penting.

Bone Bolango, Tempat Berenang Bersama Hiu Paus dan Jadi Orang Tua Asuh Maleo

Tumpe/Tumbe dalam bahasa Banggai mengandung arti sesuatu yang pertama atau awal, sedangkan Molabot mengandung arti penyambut. Upacara ini merupakan penyerahan dan penerimaan telur pertama burung maleo dari Kerajaan Batui kepada Kerajaan Banggai.

Tradisi yang diperkirakan telah berlangsung pada era kepemimpinan Raja Maulana Prins Mandapar (Mbumbu Doi Godong) sekitar tahun 1600. Hingga sekarang tradisi itu masih dilestarikan oleh masyarakat.

Awal mula

Dicatat dalam sejarah, tradisi ini berawal dari kedatangan seorang lelaki dari Kerajaan Jawa yang disebut Mbumbu Doi Jawa (Pemuda dari Jawa) bernama Adi Cokro atau Adi Soko. Dirinya berniat untuk memperdalam ilmu agamanya di Banggai.

Di sinilah Adi Soko diangkat menjadi raja Kerajaan Banggai. Adi Soko menikah dengan Raja Matindok yang bernama Sitti Aminah dan dikaruniai anak bernama Abu Kasim. Kelahiran Abu Kasim diberi hadiah oleh sang kakek Raja Matindok, yaitu sepasang burung maleo.

Adi Soko kemudian kembali pulang ke Jawa, tetapi anak dan istrinya tidak turut dibawa. Adi Soko hanya membawa sepasang maleo yang diberikan oleh Raja Matindok. Kepulangan Adi Soko ke Jawa menimbulkan kekosongan.

Apa itu Fauna Peralihan? Simak Ciri, Contoh, dan Habitatnya

Mengatasi hal ini, para petinggi Kerajaan Banggai memilih Abu Kasim. Tetapi Abu Kasim menolak untuk menjadi raja dan pergi ke Jawa untuk merayu ayahnya. Tetapi Adi Soko menolak dan memerintahkan agar anak dari pernikahan lain, Mandapar untuk naik tahta.

Adi Soko juga memberikan burung maleo yang di Jawa tak berkembang biak. Abu Kasim pun menitipkan sepasang burung maleo itu kepada keluarganya di Kerajaan Banggai dengan pesan agar telur pertama burung ini diserahkan ke Kerajaan Banggai.

Dirawat hingga kini

Amanat leluhur inilah yang terus dijaga oleh masyarakat adat Banggai dari tahun ke tahun. Warga Batui bahkan dilarang memakan telur burung maleo sebelum telur pertama dipersembahkan ke Kerajaan Banggai jadi cerminan ikatan persaudaraan.

Dalam upacara Molabot Tumpe, puluhan hingga ratusan telur burung maleo yang ukurannya 5-8 kali lebih besar dari telur ayam, dibawa dari rumah adat Batui di Kabupaten Banggai menuju Keraton Kerajaan Banggai di Kabupaten Banggai Laut.

Di masa lalu, pengiriman telur yang menggunakan perahu ini. Dilakukan oleh 3 orang tua-tua adat serta 4 orang pendayung dan juru kemudi kapal. Tapi dengan semakin besarnya ukuran perahu di masa sekarang, jumlah pembawa telur pun makin banyak.

Maleo Senkawor: Ciri dan Fakta Unik Fauna Tipe Peralihan Asal Sulawesi

Nantinya telur yang tiba di Kerajaan Banggai akan dibagi-bagikan kepada keluarga Kerajaan yang berhak. Ada juga telur yang disimpan untuk menggantikan telur lama yang sudah berusia satu tahun.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini