Ekonomi Beretika: Perkembangan Preposisi Teori dan Implementasi di Negara Nordic

Ekonomi Beretika: Perkembangan Preposisi Teori dan Implementasi di Negara Nordic
info gambar utama

Amartya Sen memiliki sebuah preposisi mengenai integrasi etik dalam ekonomi dengan basis kajiannya dari perspektif Adam Smith. Menurut Sen, permasalahan dalam ekonomi adalah permasalahan keseimbangan antara engineering dan ethics.

Teori ekonomi modern yang diinisiasi oleh Adam Smith menganggap bahwa moralitas sebagai preferensi perseorangan dan berada di luar ruang lingkup publik. Ekonomi bersifat ilmiah dan kaku serta bebas dari moral (Sen, 1993). Dalam hal prinsip, ekonomi dan moral dapat dipisahkan, tetapi dalam praktiknya seringkali beririsan satu dengan yang lainnya (Naz, 2021).

Perspektif para ahli seperti Adam Smith, John Stuart Mill, Karl Marx, dan Francis Edgeworth terkait dengan masalah etika. Sementara itu, karya William Petty, François Quesnay, David Ricardo, Augustine Cournot, dan Leon Walras berhubungan dengan masalah logistik dan teknik (Levent, 2013).

Pada tahun 1992, Sen mengusulkan preposisi integrasi etika tentang hak dan keadilan dengan ekonomi. Konstruksi preposisi Sen disampaikan dalam (Burbidge, 2016) serta melihat pendapat Aristotelian tentang kebaikan manusia. Selain itu, terdapat pendapat Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments yang lebih holistik daripada “the invinsible hands”, dengan mempertimbangkan kekuatan dari interaksi sosial.

Preposisi ekonomi etika Sen membutuhkan hubungan antara tujuan pasar dengan tujuan manusia. Sen beranggapan, besar atau kecilnya pendapatan memiliki suatu nilai tidak sepenuhnya mencerminkan nilai yang dihargai oleh seseorang dalam hidupnya.

Dalam Naz (2021) disebutkan, Amartya Sen mengkritik pendekatan utilitarianisme tentang kesejahteraan sebagai alat ukur kebahagiaan dan merupakan satu-satunya tujuan dari kehidupan manusia.

Lebih spesifik, Sen (1979) memberikan kritik terhadap 3 (tiga) pilar dari utilitarianisme yang mendasari ekonomi kesejahteraan, seperti tindakan konsekuensialisme, welfarism, dan sum-ranking.

Baca juga: Pemerintah Akan Tarik Pajak Impor Tas-Kosmetik hingga 40 Persen

Tindakan konsekuensialisme yang holistik yang melingkupi moral didukung oleh Sen. Sedangkan dalam welfarism, terdapat risiko bahwa penilaian kesejahteraan dilaksanakan secara subyektif, sehingga rentan terhadap distrosi sistematis (preferensi adaptif). Sementara itu, Sen juga memberikan kritikan atas penggunaan sum-ranking, karena individu memiliki kapabilitas berbeda untuk mengubah sumber daya yang mereka miliki menjadi sesuatu yang berharga. Hal inilah yang akan menyebabkan ketidakmerataan distribusi sumber daya dan kesejahteraan.

Indikator komoditas dan utilitas bukanlah sebuah instrumen pengukuran yang tepat untuk menilai kelayakan hidup seseorang. Indikator yang paling dapat diterapkan adalah pendekatan kapabilitas dan fungsionalitas untuk mengukur apa yang sebenarnya dapat dikerjakan oleh masing-masing individu.

Pendekatan pengukuran kapabiitas dan fungsionalitas masih memiliki tantangan dalam model pengukurannya. Ini terjadi karena banyaknya pilihan normatif yang dapat diambil. Faktor-faktor seperti aspek psikologis individu, perbedaan budaya dan lingkungan, dan variasi kondisi sosial dapat berdampak pada kemampuan seseorang mengakses sumber daya.

Salah satu contoh perbedaan dari sisi praktis adalah dengan pendekatan kapabilitas akan memperlakukan seseorang sebagai agen perubahan yang memiliki nilai dan tujuannya sendiri. Tentu saja ini berbeda dengan pendekatan pembangunan lainnya, di mana orang yang kekurangan secara ekonomi diperlakukan sebagai “penerima bantuan”.

Fokus ekonomi pembangunan menurut Sen harus beralih dari konsumsi material ke peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui peningkatan kapabilitas dan fungsionalitas.

Baca juga: Pesona Kebudayaan Gresik : Warisan yang Abadi

Pendekatan Ekonomi Beretika pada Sistem di Negara-Negara Nordic

Menurut data dari World Bank di dalam the global economy, 4 dari 5 negara Nordic (Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finlandia) mayoritas berada di top 10 negara dalam aspek kontrol korupsi, efektivitas tata kelola pemerintahan, indeks kebahagiaan, rule of law, kualitas kebijakan publik, dan memiliki PDB kapita yang tinggi.

Salah satu inovasi yang disebutkan dalam Iqbal & Todi (2015) menyatakan, sebesar 80% dari pengeluaran layanan kesehatan pada negara-negara Nordic bersumber dari publik dengan sistem perpajakan. Setiap orang berhak mendapatkan layanan medis yang sama. Lalu, di bidang edukasi, tercatat bahwa Norwegia mengeluarkan 15,7% dari total pengeluaran publik untuk edukasi.

Hal ini sejalan dengan Greve et al. (2021) yang menyatakan bahwa karakteristik ekonomi kesejahteraan yang dimiliki oleh negara-negara Nordic dikategorikan sebagai “social democratic”, yang bersifat komprehensif. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya transfer kesejahteraan dan layanan sosial (layanan kesehatan dan perawatan untuk anak dan orang tua), mendukung terciptanya kesetaraan ekonomi dengan cara redistribusi pajak dan gender, serta kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif agar dapat menghasilkan partisipasi pasar tenaga kerja yang tinggi dan antisipasi terjadinya pengangguran.

Adanya krisis pandemi Covid-19 pada tahun 2020 hanya menambah sedikit jumlah pengangguran terbuka dan hanya berdampak sedikit terhadap ekonomi kesejahteran negara-negara Nordic. Jumlah pajak yang dikenakan untuk memberikan pelayanan ini juga sangat tinggi. Swedia tercatat berada pada angka 57%.

Inovasi yang dilakukan oleh negara tersebut cukup signifikan dan cepat mengingat pada tahun 1930-an mereka dikategorikan sebagai negara-negara yang miskin. Kondisi demikian membuat inovasi di negara-negara Nordic cukup menarik karena sistem politik di sana dikategorikan sebagai bentuk demokratis (Iqbal & Todi, 2015), sama seperti sistem di Indonesia.

Dalam aspek perlawanan terhadap korupsi, Alina Mungiu-Pippidi (2013) berpendapat bahwa perspektif yang dikemukakan oleh Pope (2000) tentang pilar integritas seperti legislatif terpilih, eksekutif yang jujur dan kuat, lembaga penegak hukum yang akuntabel, adanya auditor yang menjadi bagian dari parlemen, ombudsman dan ASN yang bebas politisasi justru berdampak pada penciptaan ilusi bahwa dengan adanya keberadaan institusi tersebut, secara otomatis good governance tercipta. Negara-negara Nordic sudah berhasil melakukan inovasi yang dapat dilihat dengan kontrol korupsi yang sangat baik.

Terminologi “Nordic Model” adalah pendekatan yang berbasis pada 3 faktor utama, yakni: budaya politik yang mengusung nilai egaliter dan demokratis, negara sosial, serta kebijakan pasar tenaga kerja dan hubungan kerja dimana terdapat kepercayaan antara perusahaan, pekerja, asosiasi dan pemerintah (Nogueira & Madaleno, 2021).

Baca juga: Si Penyebar Virus Menulis, Meredefinisi Literasi di Indonesia

Saat banyak asosiasi atau serikat buruh/pekerja yang hanya difungsikan sebagai subjek untuk melakukan protes dan permintaan lebih, negara-negara Nordic menganggap bahwa kerjasama adalah “faktor utama”. Ini bertujuan untuk mencari solusi terbaik bagi seluruh pihak berkepentingan, baik pekerja dan pemberi kerja.

Kesuksesan mereka sebenarnya memiliki akar kuat yang ada dalam budaya dan sejarah kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya “social trust” yang sangat kuat pada institusi, politikus, pemerintah dan sistem penegakan hukum. Masyarakat Nordic percaya, apabila ASN bekerja dengan transparan dan integritas tinggi, maka akan membuat efek positif dan kesuksesan ekonomi.

Referensi:

https://www.jstor.org/stable/3857381?typeAccessWorkflow=login

https://econpapers.repec.org/article/kapatlecj/v_3a49_3ay_3a2021_3ai_3a4_3ad_3a10.1007_5fs11293-022-09737-6.htm

https://isahlakidergisi.com/content/6-sayilar/12-6-cilt-2-sayi/m0063/levent-en.pdf

https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1350178X.2016.1157201

https://www.researchgate.net/publication/284113979_The_Nordic_Model_Existence_Emergence_and_Sustainability

https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/spol.12675

https://www.mdpi.com/2071-1050/13/17/9961

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RV
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini