Museum sampah internasional Pulo Aceh

Museum sampah internasional Pulo Aceh
info gambar utama

Pertengahan Oktober lalu, tepatnya tanggal 16 Oktober 2023,setelah persiapan sedemikian rupa di daratan Aceh,tepatnya di Banda Aceh. Bersama GUD RnD dan STUFFO dari Jakarta, Kanot Bu Ekosistem, sebuah komunitas seni di Banda Aceh, akhirnya menapakkan kaki di Pulo Aceh. Sebuah gugusan pulau yang berada di barat Pulau Sumatera dan bersisian dengan Pulau Sabang.

Pulo Aceh masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar. Pulo Aceh terbagi menjadi dua pulau besar yaitu Pulo Nasi dan Pulo Breuh (Pulau Beras). Di Pulo Breuh terdapat salah satu mercu suar peninggalan Belanda yaitu, Willem Torrens yang dibangun kolonial pada tahun 1874 sebagai suar bagi kapal yang berlayar melintasi Selat Malaka.

Pulo Aceh yang berhadapan lansung dengan Samudera Hindia kemudian menjadi tempat mendarat sampah-sampah yang dihanyutkan laut dari negara sekitar Selat Malaka. Saat pengumpulan sampah untuk bahan workshop Operasi Plastik bersama warga lokal, pemuda dan pelajar dari SMU 2 Pulo Breuh, kami mendapatkan banyak sampah botol air mineral dan produk kemasan dari negara Malaysia, Thailand, Singapura, India dan bahkan dari Cina. Sementara produk dari daratan Eropa didominasi oleh botol minuman keras. Untuk botol minuman keras, besar kemungkinan dibuang oleh awak kapal dari jalur internasional pelayaran Selat Malaka.

Selama residensi sepekan dengan warga lokal di sana, dari bahan sampah plastik yang kami pungut di sepanjang garis pantai Lambaro, desa Gugop kecamatan Pulo Breuh, kami mengadakan workshop Operasi Plastik. Yaitu sebuah workshop yang memberdayakan sampah plastik menjadi barang bernilai guna seperti tas bahu, dompet dan kotak pensil.

Residensi dan Workshop yang dilakukan GUD RND dan STUFFO dari Jakarta yang berkolaborasi dengan Kanot Bu dari Banda Aceh juga melibatkan lembaga lokal Pulo Breuh yaitu LEPA (Lembaga Ekowisata Pulo Aceh). Workshop berlansung di area milik LEPA yang berada di Pasi (pantai) Lambaro, desa Gugop, Pulo Breuh. Pasi atau pantai ini lansung bertatap muka dengan Samudera Hindia yang ketika senja datang, kita dapat dengan lega menyaksikan matahari terbenam tanpa dihalangi oleh obyek apa pun selain samar-samar ombak bergulung-gulung dari kejauhan.

Residensi dan workshop ini dilakukan untuk kebutuhan rangkaian perhelatan Pekan Kebudayaan Nasional di Jakarta pada 20 Oktober 2023 dalam kuratorial "Berliterasi Alam dan Budaya".

Di sela-sela rehat workshop di malam-malam cerah ditingkahi deburan ombak yang tiada henti, dan angin Samudera Hindia yang kering, diskusi berlansung disertai kopi lokal yang nikmat. Kami mendiskusikan tentang banyaknya sampah yang telah dipungut hingga menumpuk dan melebihi dari kebutuhan workshop dan tak mungkin dibakar. Karena, kalau sampah-sampah itu dibakar akan sangat mengganggu pemukiman warga dengan asapnya yang tak aman bagi indera penciuman. Tak ada cara lain selain membiarkannya berserakan di garis pantai atau dimuseumkan dalam satu ruangan atau bak penampungan sampah.

Namun, kawan-kawan mempunyai ide untuk menginisiasi sebuah museum sampah yang diberi nama, Museum of International Trash.

Maka dicari cara agar sampah itu tak disatukan dalam satu bak penampungan. Akan tetapi dibuatkan 5 bak penampungan dari paranet yang mewakili 5 benua tempat negara pembuang sampah itu berasal.

Rencananya, setelah segala sesuatu menyangkut Museum sampah internasional itu berjalan, akan diadakan konferensi pers di Jakarta pada 23 Oktober 2023 bertempat di Galeri Nasional tempat pameran karya kolaborasi STUFFO, GUDRnD, LEPA dan Kanot Bu berlansung. Konferensi pers ini adalah inisiatif berbagi pengetahuan kepada publik Indonesia yang pulau-nya menjadi tempat singgah sampah internasional dan belum mendapat tanggapan positif dari negara pembuang.

Walau demikian, mengunjungi Pulo Aceh yang letaknya 2 jam perjalanan dengan boat konvensional, ternyata selain menyimpan panorama laut yang eksotik, juga menyembunyikan permasalahan sampah yang melibatkan komunitas internasional dan itu jarang sekali muncul dan bernarasi di hadapan publik terutama di Aceh.

Sampah di salah satu pantai di Pulo Aceh
info gambar

Pada kunjungan sebelum-sebelumnya, saya mengira sampah yang berserakan di sepanjang pantai eksotik Pulau Aceh, adalah sampah yang dibuang oleh masyarakat setempat. Tanpa secara rinci memperhatikan, saya menyimpulkan betapa jorok warga setempat. Ternyata, kesimpulan saya sama sekali tidak benar. Warga lebih suka membakar sampah rumah tangganya sembari memperhatikan api memamah plastik kemasan produk.

Berada di jalur pelayaran internasional juga memperparah jumlah sampah dalam laut. Tiap hari, ada ratusan kapal hilir-mudik mengangkut barang kebutuhan. Dan awak kapal tak semua sadar untuk tak membuang sampah dalam laut.

Namun, laut tetaplah laut. Ia tak akan membiarkan apa pun mengapung terlalu lama di atasnya. Laut senantiasa bekerja dengan ombaknya mengantar sampah hingga ke daratan. Ciptaan Tuhan paling bersih di bumi adalah laut. Dan mungkin, kitalah manusia yang mengotorinya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini