Melestarikan Kebudayaan Lewat Novel-Novel Horror

Melestarikan Kebudayaan Lewat Novel-Novel Horror
info gambar utama

#LombaArtikelIPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Saya lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang berbeda. Ayah saya dari keluarga Jawa di Yogyakarta, sedangkan ibu memiliki darah Dayak Punan tetapi lahir di lingkungan Tionghoa Singkawang, Kalimantan Barat. Awalnya, cukup sulit bagi saya untuk menentukan identititas diri, terutama karena kami menggunakan bahasa Indonesia di rumah, sedangkan bahasa Dayak dan Tionghoa juga cukup akrab di dalam kehidupan kami. Bahasa Jawa kemudian saya pelajari ketika saya harus melanjutkan pendidikan menengah atas saya di Jogja.

Di Jogja lah saya disadarkan bahwa saya berasal dari latar belakang budaya yang kaya. Alih-alih merasa bingung dengan jati diri, saya malah memeluk semua latar belakang berbeda saya tersebut menjadi sebuah identitas keindonesiaan saya dan bangga akan itu.

Telah sekian lama saya terlibat dalam aktifitas tulis-menulis, baik dalam bidang fiksi seperti novel dan cerita pendek, maupun non-fiksi (sebagaimana saya kerap tulis melalui beragam blog dan website). Tanpa saya sadar, tulisan-tulisan saya kerap menyasar semua yang berhubungan dengan budaya Indonesia. Tidak terkecuali novel-novel saya yang sudah dicetak oleh beberapa penerbit, maupun melalui beragam platform aplikasi baca.

Novel-novel saya yang mayoritas ditulis bergaya horor, selalu menampilkan latar belakang budaya yang kental, seperti legenda dan mitologi, sejarah, seni dan bahasa. Misalnya, ketiga novel saya yang dicetak oleh penerbit Guepedia, yaitu ‘Mereka Menyebutnya Gatotkaca”, “Sebuah Desa Bernama ‘Obong’”, dan “Catur Angkara” menggunakan ide cerita yang melibatkan kisah pewayangan, legenda-sejarah Calonarang, termasuk memasukkan unsur-unsur urban legend mengenai mahluk-mahluk atau ilmu-ilmu gaib yang dikenal di dalam budaya Jawa, Bali, sampai Dayak dan Melayu.

Novel-novel yang saya tulis melalui online plaform seperti NovelToon yang berjudul “Nala”, atau melalui Wattpad yang berjudul “Pancajiwa”, ternyata mengundang banyak sekali komentar dari pembaca. Banyak sekali pembaca yang kemudian bertanya dan membahas beragam hal diluar jalan cerita atau penokohan. Mereka bertanya tentang konsep-konsep budaya yang menjadi latar belakang cerita di novel-novel saya. Keingintahuan mereka begitu besar, sehingga para pembaca juga ikut berbagi cerita mengenai budaya, kebiasaan bahkan ritual di tempat mereka masing-masing.

Penggunaan bahasa Jawa kuno, mantra dalam bahasa Bali dan Dayak Iban serta Dayak Mualang membuat para pembaca mencoba mencari persamaan dan artinya di bahasa-bahasa ibu mereka sendiri. Hal ini kemudian menyadarkan saya bahwa karya-karya saya tersebut menciptakan semacam interaksi budaya diantara penulis dan pembaca.

Menurut Nurdien Harry Kistanto dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, dalam tulisannya yang berjudul “Tentang Konsep Kebudayaan”, menjelaskan bahwa kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda lainnya. Kebudayaan dihubugkan dengan kegiatan manusia yang mampu bekerja, merasakan, memikirkan, memprakarsai serta menciptakan. Kebudayaan adalah hasil proses rasa, karya dan cipta manusia. unsur-unsur kebudayaan termasuk di dalamnya adalah sistem organisasi kemasyarakatan, sistem religi dan upacara keagamaan, sistem mata pencaharian, sistem ilmu pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan, bahasa dan kesenian.

Dengan pemaparan definisi atau penjelasan mengenai budaya serta unsur-unsur budaya tersebut, sebagai seorang penulis, saya sadar bahwa saya juga sedang melakukan sebuah upaya untuk melestarikan kebudayaan. Karya-karya saya, selain bersifat informatif, juga nyatanya membangun semacam interaksi budaya. Saya melibatkan bahasa yang membalut filsafat serta pola pikir para tokoh yang ada di dalam novel-novel saya tersebut. Selain itu, tulisan saya bukan sekadar menampilkan unsur-unsur horor menakutkan, melainkan juga pola pikir masyarakat yang menjadi latar belakang cerita. Misalnya, selain menampilkan sisi sejarah dan budaya masyarakat Dayak Mualang di Kalimantan Barat, saya juga menunjukkan perspektif orang-orang Dayak terhadap alam, ritual dan kebiasaan adat, bahasa dan juga filosofi kehidupan mereka. Sebagai hasilnya, kolom komentar di novel-novel tersebut menjadi ajang diskusi budaya. Banyak yang juga membahas kemiripan pola pikir suatu kelompok masyarakat dan budayanya dengan pola pikir serta budaya dari darimana mereka berasal.

Dengan karya-karya tersebut, saya merasa telah membuat arus informasi tentang budaya yang dibalut karya fiksi horor tetap mengalir dan terjaga. Saya sebagai si penulis dan para pembaca sama-sama berefleksi melalui tokoh dan latar belakang budayanya. Kami juga bisa sama-sama terus menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya tersebut. Dengan begitu, upaya saya untuk melestarikan kebudayaan akan berjalan di dalam ladang tulis-menulis, serta budaya berpikir dan berbahasa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini