Merawat Kebudayaan Kota Semarang Melalui Walking Tour

Merawat Kebudayaan Kota Semarang Melalui Walking Tour
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

''Semarang sama sekali bukan daerah kering kebudayaan. Sesungguhnya, tidak ada sejengkal tanah pun, di mana di sana ada kehidupan manusia akan kering dari kehidupan kebudayaan.'' (Hersri Setiawan-Sastrawan)

Ketika bicara tentang Semarang, tidak banyak yang menyinggung kota dengan sejarah panjang dan pertumbuhan yang menjanjikan di masa depan ini dari potensi budayanya. Warga Semarang sendiri, tidak terkecuali aku, masih kerap merasa asing dengan identitas budaya yang membentuk kota kami. Semarang memang bagian dari daerah persebaran budaya Jawa, tapi identitas Jawanya tidak sekental Solo atau Yogyakarta yang berbangga menyebut dirinya sebagai episentrum budaya Jawa berkat keraton-keraton yang berdiri di kota mereka. Sementara sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dari segi populasi, budaya metropolitan di Semarang pun belum kentara.

Rumah panggung bergaya Melayu yang berdiri di sebuah kota di Jawa (Dokumen Pribadi).
info gambar

Upaya mengenali kota kemudian mengantarkan sebagian warga Semarang untuk menjadi turis di kota sendiri. Mereka ikut serta dalam program tur yang dikemas untuk menelusuri kota secara mendalam dengan pilihan lokasi yang daya tariknya ada pada kisah tempat tersebut, bisa berupa kampung tua atau pasar tradisional yang tidak melulu sarat estetika atau turistik.

Penyedia kegiatan ini adalah agen wisata Bersukaria yang mengedepakan kekuatan narasi dalam wisata, sesuai motto-nya yang berbunyi ''tur yang bercerita'. Namanya diambil dari lagu 'Bersukaria' ciptaan Bung Karno dengan irama Lenso yang muncul dalam album tahun 1965. Dalam kegiatan tersebut, aku berperan sebagai storyteller, yaitu pemandu sekaligus pendongeng yang membagikan kisah kepada peserta tur tentang tempat yang tengah mereka pijak.

Dimulai dari Layur, pemukiman tua di utara kota yang punya warisan budaya multietnik: Banjar, Melayu, Tionghoa, dan utamanya Arab. Keragaman penghuni Layur membuktikan posisi Semarang sebagai kota pelabuhan telah menarik masyarakat dari berbagai asal untuk menjadikannya rumah sejak dahulu. Layur sejatinya punya peran penting bagi komunitas Arab-Indonesia ketika Sumpah Pemuda Arab (1934), pengakuan tanah air Indonesia oleh pemuda keturunan Arab, diikrarkan di sini. Layur juga merupakan kampung halaman Husein Mutahar, seorang habib yang menggubah lagu 'Hari Merdeka', merancang Paskibraka, dan menyelamatkan bendera pusaka dari Agresi Militer Belanda. Jejak etnis lainya terlihat dari sebuah rumah panggung bergaya Melayu yang telah dihuni keluarga beretnis Banjar selama tiga generasi. Rumah tersebut adalah salah satu yang terakhir karena rob yang dahulu langganan menggenangi Layur membuat banyak rumah panggung ditinggalkan.

Antusiasme dalam mengenali kota lewat tur (Dokumen Pribadi).
info gambar

Tur berlanjut ke Kota Lama, kompleks bangunan Belanda yang jadi saksi akan kejayaan Semarang sebagai salah satu kota terpenting Hindia Belanda dengan Kota Lama sebagai pusatnya. Dahulu daerah ini diramaikan oleh kehadiran ekspatriat yang bekerja di kantor konsuler negara asing, seperti ayah dari aktris Hollywood legendaris Audrey Hepburn. Kini gedung-gedung yang sempat terbengkalai hingga menciptakan kesan kumuh mulai terisi kembali oleh aktivitas warga lokal dan wisatawan yang menyulapnya menjadi kafe, galeri seni, hingga sanggar budaya. Sepelemparan batu dari Kota Lama ada Gedangan, kompleks Katolik yang dahulu menjadi tempat berkarya Soegijapranata. Ia tercatat sebagai uskup Katolik pribumi pertama atau ia menyebutnya 'uskup pertama yang makan soto' dan berjasa mengakomodir dukungan gereja Katolik untuk kemerdekaan dengan slogan ''100 persen Katolik, 100 persen Indonesia''.

Perjalanan mengenali sebuah daerah kemudian tidak lengkap tanpa menikmati kuliner setempat yang merupakan cerminan dari masyarakatnya, seperti halnya kuliner Semarang yang merupakan perpaduan lezat dari berbagai budaya. Kami mampir ke kios lumpia, ikon kuliner kota yang sejatinya adalah penganan asal daratan Cina dengan pengaruh lokal berupa penggunaan rebung. Resep tersebut berasal dari perkawinan ide dari pasangan penjual makanan Tjoa Thay Yoe yang berasal dari Tiongkok dan perempuan Jawa bernama Wasi. Bergenerasi keturunan mereka mempopulerkan lunpia sebagai identitas kota dan membuat industrinya menjamur seperti munculnya kampung pembuat kulit lumpia bernama Bonlancung. Akulturasi juga terlihat pada masakan seperti bakmi Jawa dan nasi goreng babat yang di kota ini wajib menggunakan Mirama, kecap yang turun-temurun diproduksi oleh keluarga Tionghoa di Pecinan.

Lumpia, identitas kuliner dan pembauran kota (Dokumen Pribadi).
info gambar

Bicara tentang seni, Semarang punya putra daerah sebesar Raden Saleh. Terlahir dalam keluarga Bupati Semarang, ia adalah pribumi pertama yang menerapkan seni lukis modern dan karyanya yang banyak berada di luar negeri, bernilai tinggi baik dalam sejarah seni Indonesia maupun dalam nominal harga. Memang tidak ada warisan langsung dari sang pelukis yang dapat disaksikan ketika kami menyambangi pusat kesenian yang mengabadikan namanya tetapi tempat ini menjadi benteng bagi pertunjukan wayang orang terakhir di kota. Seni yang memadukan drama, tari, dan karawitan dalam kemasan cerita wayang ini dibawakan oleh grup Ngesti Pandawa yang sempat menjadi primadona hiburan masyarakat dengan Ki Nartosabdo, seorang maestro dalang dan gending Jawa, sebagai pendirinya.

Selayaknya kisah setiap kota, perkembangan adalah bagian yang tidak terpisahkan sehingga tur mengajak peserta untuk melihat perubahan lanskap dari Sekayu, kampung tua di pusat kota yang telah 'kehilangan' salah satu Rukun Tetangga karena menjadi pusat perbelanjaan modern. Meski perlahan berubah, kehidupan di Sekayu telah diabadikan oleh N.H. Dini, sosok novelis yang karyanya sarat akan suara perempuan dan telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa. Karya-karya tentang masa kecil Dini yang dilalui di Sekayu, dari rumahnya yang masih berdiri hingga kini, telah mengangkat kota ini menjadi latar sastra.

Patung Raden Saleh berdiri gagah di kota kelahirannya (Dokumen pribadi).
info gambar

Sepanjang perjalanan, sering terdengar kekaguman peserta tur tentang kisah-kisah yang baru mereka ketahui. Pengalaman mengenali unsur-unsur budaya yang membentuk kota mereka dalam rupa arsitektur, sejarah, seni, sastra, kuliner, hingga tata cara hidup masyarakat terasa seperti menemukan bagian spesial dalam diri yang sejatinya telah dimiliki sejak lama. Perasaan itu pula yang mendorongku untuk menjadi penutur kisah dari kota yang sesungguhnya tidak kering dari kebudayaan ini. Mungkin tidak ada satu jawaban khusus untuk mendeskripsikan ciri khas budaya Semarang mengingat begitu beragamnya unsur yang ada tetapi pengenalan sederhana lewat jalan-jalan bisa jadi awal dari kepedulian untuk merawat dan mengembangkan budaya kota ini.

Referensi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini