Penghormatan terhadap "Hula-hula": Budaya khas dalam Suku Batak Toba

Penghormatan terhadap "Hula-hula": Budaya khas dalam Suku Batak Toba
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Batak Toba (selanjutnya Toba) merupakan satu dari enam subetnik Batak (Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Dairi, Toba) yang memiliki pandangan hidup yang cukup terang tentang kebudayaan.

Salah satu pandangan hidup suku Toba yang masih bertahan, bahkan sangat dihargai hingga generasi sekarang adalah "penghormatan terhadap hula-hula". Sebab, pandangan hidup ini dapat dikatakan sebagai hal sakral dalam sistem kekerabatan antarmasyarakat Toba.

Pandangan ini hendak penulis deskripsikan secara singkat dalam tulisan ini, sebagai budaya khas dari Toba, dari seorang Toba.

Dalihan na tolu (DNT)

Ilustrasi dalihan na tolu | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Dalam budaya Toba, ada tiga kelompok sistem kekerabatan yaitu hula-hula, dongan sabutuha, dan boru. Sistem kekerabatan ini dikenal dengan sebutan dalihan na tolu, yang dalam bahasa Indonesia lebih kurang berarti: "tungku nan tiga kaki".

Dilansir dari detiksumut, ketiga kaki tungku mewakili pihak hula-hula, dongan sabutuha, dan boru. Secara sederhana, hula-hula merupakan keluarga dari pihak istri. Dongan sabutuha adalah teman satu marga (klan). Boru adalah keluarga dari pihak menantu lelaki.

Philip Lumban Tobing dalam bukunya The Structure of The Toba-Belief in the High God (1956) menuliskan bahwa sistem kekerabatan tersebut memiliki hubungan dengan kosmologi tradisional orang Toba.

Dituliskan bahwa hula-hula, dongan sabutuha, dan boru masing-masing merupakan representasi dari banua ginjang (dunia atas), banua tonga (tengah), dan banua toru (bawah). Dalam diri mereka masing-masing, hadir pula pribadi dewata, yaitu Debata Batara Guru (hula-hula), Soripada (dongan sabutuha), dan Mangalabulan (boru).

Sikap hormat terhadap hula-hula

Dalam DNT, ada ungkapan somba marhula-hula (hormat terhadap pihak hula-hula).

M. A. Marbun dan I. M. T. Hutapea dalam Kamus Budaya Batak Toba (1987) menguraikan pihak hula-hula secara lebih luas dari keterangan di atas (detiksumut).

Ilustrasi somba marhula-hula | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Pihak hula-hula mencakup keluarga dari pihak istri atau mertua dan semua saudara-saudarinya; tulang atau mertua dari pihak bapak beserta abang dan adiknya; bona tulang atau simatua ni ompu atau mertua kakek beserta abang dan adiknya serta keturunannya laki-laki; bona ni ari yaitu mertua dari ayah kakek beserta abang dan adiknya serta keturunan laki-laki; dan mertua dari putera yang telah berumah tangga beserta abang, adik, saudara, dan keturunan laki-laki.

Ungkapan somba marhula-hula didasarkan pada penghayatan bahwa Debata Batara Guru adalah sumber kekuatan adikodrati, kehidupan, berkat, kebahagiaan, dan tempat meminta nasihat.

Ketika ada anggota masyarakat yang mengalami kesulitan dan duka, mereka pergi kepada hula-hula untuk memohon berkat, terutama berkat untuk memiliki keturunan.

Sebab, keluarga Batak Toba dipandang tidak sempurna jika tidak dikaruniai anak. Dari pihak boru yakni menantu pria dan keluarganya dengan hormat memohonkan maaf, jika ada kesalahan yang dilakukan terhadap hula-hula.

Maka, muncullah ungkapan, yaitu: "Hula-hula i do debata na tarida" (hula-hula adalah dewata yang tampak) dan "Molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula" (kalau ingin memiliki banyak keturunan, hormatlah pada hula-hula).

Berkat dan restu yang diterima dari hula-hula diyakini memiliki pengaruh besar dan benar dalam kehidupan masyarakat Toba. Bahkan, rasa hormat seorang masyarakat Toba akan lebih tinggi terhadap hula-hula daripada orang tua sendiri.

Pihak hula-hula juga dipandang sebagai golongan atau pihak pemberi istri. Kebenaran falsafah itu masih hidup, bahkan eksis hingga kini.

Tentu, agar dapat mengetahui posisi atau sistem kekerabatan, seorang suku Toba perlu tahu dan saling memberitahu marga. Ini menjadi acuan bagi pencarian titik temu, terutama dalam menghormati marga hula-hula.

J. C. Vergouwen dalam The Social Organisation and Customary Law of the Toba Batak of Northern Sumatra (1985) menilai bahwa setiap orang Toba biasa memiliki minat yang menonjol terhadap martutur-tutur (menelusuri mata rantai silsilah kekerabatan jika berjumpa).

Hal ini ditekankan dalam peribahasa Toba: "Tinitip sanggar bahen huru-huran, djolo sinungkun marga asa binoto partuturan” (untuk membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah, untuk tahu hubungan kekerabatan, orang harus menanyakan marga).

Berkat dari hula-hula

Dalam hidup sehari-hari, berkat dari hula-hula dapat diterima atau disalurkan dengan perantaraan beberapa benda (simbolis).

Ulos menjadi lambang kasih sayang dan kehangatan bagi tubuh dan jiwa. Ulos yang diberikan hula-hula kepada pihak boru dapat menjadi simbol berkat juga untuk jumlah keturunan dan umur yang panjang.

Pemberian ulos oleh hula-hula (simbolis berkat) | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Selain itu, ada ulos na so ra buruk (ulos yang tidak pernah tua) seperti sebidang sawah, uang, sepetak rumah, hewan atau binatang, dan sebagainya.

Ada pula pemberian boras si pir ni tondi (beras untuk menguatkan roh). Beras ini diberikan di atas simanjujung (kepala) pihak boru, sebagai tanda doa dan berkat agar terhindar dari nasib buruk.

Boras si pir ni tondi dari hula-hula | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Satu lagi adalah pemberian dengke (ikan). Bagi orang Toba, dengke adalah simbol kelimpahan. Orang yang menyantap diyakini akan mendapat hidup yang limpah berkat.

Pemberian dengke (biasanya ikan mas) oleh hula-hula kepada boru menjadi lambang pencurahan berkat melimpah. Terutama, jika dengke yang diberikan memiliki banyak telur. Ini pun menjadi lambang berkat untuk keturunan yang banyak bagi pihak boru.

Penutup

Sombamarhula-hula tidak dapat "luntur" dari kehidupan sehari-hari masyarakat Toba, sebab pandangan tersebut sungguh sakral dan memiliki efek sosial bagi pihak yang tidak menghormatinya.

Penulis sungguh menghargai warisan budaya ini. Penulis memiliki pihak hula-hula dan sekaligus menjadi pihak hula-hula bagi orang lain.

Budaya ini berlaku, baik dalam pergaulan hidup biasa maupun acara adat masyarakat Toba (perkawinan, duka cita, dan sebagainya). Setiap orang tentu akan pernah menjadi hula-hula, tergantung pada penelusuran marga (partuturon), sekalipun ia masih anak kecil.

Untuk itu, warisan pemahaman dari orang tua dan lingkungan terhadap generasi muda sangat penting dalam melestarikan pemahaman budaya ini. Demikian cerita kebudayaan dari daerah Batak Toba yang dapat disajikan oleh penulis dalam rangka perayaan Pekan Kebudayaan Nasional 2023.

Semoga bermanfaat!

Referensi tulisan

[1] https://www.detik.com/sumut/budaya/d-6553070/mengenal-dalihan-na-tolu-dari-budaya-batak

[2] Lumban Tobing, Philip. 1956. The Structure of The Toba-BatakBelief in the High God. Amsterdam: Jacob van Campen.

[3] Marbun, M. A. dan I. M. T. Hutapea. 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka.

[4] Vergouwen, J. C. 1985. ”Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba”. Judul asli: The Social Organisation and Customary Law of the Toba Batak of Northern Sumatra. Diterjemahkan oleh Redaksi PA. Jakarta: Pustaka Azet.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini