Dari Mengajar, Banyak Belajar

Dari Mengajar, Banyak Belajar
info gambar utama

Menjadi bagian dari mahasiswa Kampus Mengajar merupakan salah satu pengalaman mengajar yang paling berimpak di sepanjang hidupku. Tempo bulan lalu, tepatnya bulan Februari hingga Juni 2023, kesibukanku yang semula hanya kuliah beralih ke kesibukan yang sebenarnya tidak aku impikan sama sekali sebelumnya. Membayangkan kegiatan tersebut saja sudah membuat pikiranku saling bergumul dalam otakku. Mengajar, “biang keladi” dari overthinking-ku.

Euforia yang Tidak Abadi

Benar yang orang-orang ungkapkan bahwa kesenangan hanyalah sementara. Euforia yang kurasakan dari mendapat kabar bahwa aku lolos pada program Kampus Mengajar Angkatan 5 hanya berlangsung selama tiga hari saja. Di balik kesenangan itu, ternyata ada tantangan yang setia menungguku untuk terjun ke lubangnya. Rupanya, aku ditantang untuk bisa hidup mandiri jauh dari keluarga, rajin pulang pergi sejauh 75 km, dan tentunya aku ditantang untuk bisa mengajar.

Menerima itu Bukan Persoalan yang Mudah

Awalnya, orang tuaku sangat keberatan dengan jarak yang harus kutempuh untuk sampai ke lokasi pengajaran, yakni di sebuah sekolah dasar yang bertempat di perbatasan antara Gunung Kidul dengan Pacitan. Aku juga sudah berusaha untuk berkoordinasi dengan Koordinator Perguruan Tinggi, Pak Banu, untuk meminta solusi terkait jarak penugasan. Aku sempat mengungkapkan bahwa aku ingin mengundurkan diri dari program ini, tetapi Pak Banu seolah sayang dengan kesempatan emas yang aku dapatkan ini. Dengan kepala dingin, aku berhasil mengalahkan egoku yang menyuruhku untuk melepas kesempatan ini. Solusi yang aku tempuh ialah mengekos bersama dengan rekan satu kelompokku. Untuk transportasi, aku akan pulang dan pergi dengannya. Namun, tiap hari Jumat, aku akan pulang ke rumah untuk menyetok ulang bahan makanan yang akan aku bawa di kos. Lalu, Senin pagi buta, aku sudah harus berangkat lagi dan sampai di sekolah sebelum pukul 07.00 pagi.

Tantangan Baru Mulai 'Menghantui'

Aku mulai mengesampingkan soal akomodasi yang sudah terselesaikan secara matang, sebab masalah yang riil mulai muncul seiring dengan hari-hari penugasan. Sebagai mahasiswa yang tidak memiliki renjana di bidang pedagogik, pikiran negatif kerap menyertaiku saat itu. Pikiran negatif yang mendominasi adalah tentang frekuensi unjuk kerjaku terhadap kelompok ini.

Salah satu foto ketika saya sedang membantu guru menginput nilai.
info gambar

Keseharianku saat penugasan hanya berfokus di belakang layar, seperti membantu administrasi
bersama guru. Aku merasa tidak satisfied dengan partisipasiku di belakang layar karena
programnya sendiri bertitel ”mengajar”. Pada pengalaman pertama aku mencoba untuk unjuk
eksistensi dengan cara mengajar di kelas, temanku tetap menyertaiku. Namun, sampai pelajaran
berakhir, yang memegang peran utama sebagai pengajar tetaplah temanku. Dari situ aku mulai
berpikir bahwa tempatku memang bukan di sini.

Suasana pada kegiatan belajar mengajar di kelas 6 SD Negeri Petir 1 saat itu cukup ramai.
info gambar

Pernah suatu ketika aku masuk di kelas tinggi, yaitu kelas 6 untuk mengajar topik ejaan.
Namun yang kuterima bukanlah antusiasme dari siswa-siswi di situ, melainkan perlakuan dan
ucapan tidak sopan yang mereka lontarkan. Memang mereka mengucapkannya secara tidak
langsung dan berbisik dengan temannya, tetapi aku dapat dengan jelas mendengar apa yang
mereka katakan. Sebagai manusia yang dengan mudah terbawa emosi dengan perlakuan orang,
akhirnya aku hanya memberikan tugas hingga jam pelajaran itu selesai. Setelah kejadian itu, aku
tetap memaksa diriku untuk mau turun mengajar ke kelas-kelas. Namun, perkembangannya tetap
nihil. Aku masih belum berani untuk mengajar sendiri. Aku lebih banyak memberi tugas dan
memberikan hak penuh bagi siswa untuk bertanya secara face-to-face denganku.

Akhir dari Pengalaman Mengajar: Masing-Masing Punya Skills Tersendiri

Hasil majalah dinding oleh kelas 3 SD Negeri Petir 1.
info gambar

Pikiran negatif terus menghantuiku. Aku takut tidak dapat menyelesaikan komitmenku untuk mengabdi pada program Kampus Mengajar ini. Hingga suatu hari, aku menumpahkan air mataku di depan teman-teman kelompokku karena aku sudah merasa sangat kewalahan. Aku menceritakan segala kegundahan yang aku rasakan selama penugasan. Wejangan dari teman- teman kelompokku cukup menenangkan pikiran dan perasaanku saat itu. Mereka bisa mengerti keadaanku. Pesan dari mereka yang sangat melegakan hati adalah memang program ini tujuannya mengajar, tetapi tidak ada salahnya untuk bekerja di aspek lain karena sekolah tidak hanya perihal mengajar.

Dari Kampus Mengajar ini, aku menemukan pengalaman hidup paling berharga, meskipun jauh dari tujuan hidupku. Aku memang sama sekali tidak memiliki niatan untuk menjadi seorang pengajar, tetapi pengalaman mengajar ini cukup bisa membuatku belajar. Aku mendapat pelajaran untuk bisa mengidentifikasi pola interaksi antara aku, guru, dan juga murid. Aku juga bisa menaksir taraf kemampuanku dalam hal mengajar. Begitu juga pada saat orang lain tidak ada yang bisa dijadikan bahu sandaran, aku bisa mengolah emosiku sendiri. Kemampuan beradaptasiku juga semakin terasah dari sini karena aku harus bisa menyesuaikan diri di tempat- tempat baru, yakni sekolah penugasan dan juga kompleks tempat diriku mengekos.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NZ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini