Masmundari dalam Penindasan Berlapis: Seniman Perempuan, Lansia, Kriya dan Seni Rakyat

Masmundari dalam Penindasan Berlapis: Seniman Perempuan, Lansia, Kriya dan Seni Rakyat
info gambar utama

Dalam ranah sejarah seni rupa, sangat penting untuk mengakui berbagai penindasan yang dihadapi oleh berbagai kelompok marginal. Esai ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang penindasan yang dialami oleh seniman perempuan di bidang seni kriya Indonesia. Dengan mengeksplorasi tema-tema yang saling berkaitan ini, kawan GNFI dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok marginal dan bagaimana menyikapinya.

Seniman perempuan secara historis menghadapi banyak rintangan yang menghalangi pengakuan dan kesuksesan mereka di dunia seni. Sejak lama masyarakat patriarki melanggengkan diskriminasi berbasis gender, sehingga membatasi kesempatan bagi perempuan untuk menunjukkan bakat artistik mereka. Terlepas dari kontribusi mereka yang sangat besar, seniman perempuan sering kali berjuang untuk mendapatkan representasi yang setara di museum, galeri, dan buku-buku pelajaran sejarah seni. Seniman perempuan di dunia sudah lama berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan kesempatan yang sama di dunia seni. Secara historis, masyarakat patriarkis telah menempatkan perempuan di ranah domestik, membatasi akses mereka terhadap pelatihan artistik dan kesempatan pameran. Seniman perempuan tidak pernah memiliki reputasi yang sama dengan laki-laki, apalagi seniman perempuan yang sudah tua. Banyak awam menilai perempuan terlambat berkarir (termasuk terjun ke dunia seni) karena harus menyelesaikan kewajiban utamanya terlebih dahulu, yaitu pernikahan atau keluarga. Persepsi ini memengaruhi kesempatan dan pengakuan seniman perempuan. Diskriminasi sistemik ini mengabadikan narasi dominasi pria di dunia seni, yang membayangi kontribusi seniman perempuan. Fenomena ini mencerminkan bias gender yang masih ada di industri seni, yang menghambat visibilitas dan perkembangan karier seniman perempuan.

Salah satu contoh penting dari seniman perempuan yang menghadapi penindasan adalah Masmundari (1904-2005) dari Gresik, Jawa Timur. Masmundari di usia senja mendedikasikan diri untuk membuat Damar Kurung. Sebuah kesenian rakyat berupa kriya lentera tradisional. Perjalanan kesenian Masmundari dari seorang pengrajin hingga menjadi pelukis seringkali dibayangi oleh rekan-rekan prianya. Prestasinya kerapkali dihubungkan dengan kerabat, mentor maupun promotor prianya. Penghapusan sistemik terhadap seniman perempuan ini tidak hanya melemahkan kreativitas mereka, tetapi juga meneruskan ketidaksetaraan gender dalam dunia seni. Penindasan yang dialami Masmundari semakin diperparah dengan adanya interseksionalitas: sebagai perempuan, sebagai lansia, sekaligus sebagai kelompok marginal di Gresik. Tuntutan mentor dan promotor cenderung merendahkan pengalaman Masmundari sebagai seniman lansia, yang menyebabkan keterbatasan akses Masmundari terhadap berbagai sumber daya. Penindasan ini terlihat jelas manakala mentor dan promotor yang awalnya mendukung Masmundari, kemudian melarikan diri bersama dengan uang hasil penjualan karya Masmundari secara tidak bertanggung jawab. Masmundari yang lemah fisiknya karena usia tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut keadilan. Perlakuan yang semena-mena terhadap lansia seringkali mengarah pada anggapan bahwa mereka kurang mampu atau kurang cakap dalam bertindak, yang mengakibatkan terbatasnya prospek pekerjaan dan hilangnya kontrol atas keputusan diri sendiri. Hal ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan finansial, tetapi juga merusak tujuan hidup mereka. Seperti yang dialami Masmundari paska kasus penggelapan uang penjualan karyanya, Masmundari terjebak dalam lilitan hutang rentenir dan membuat kesehatannya merosot tajam.

Damar Kurung sebagai wujud seni kriya dan seni rakyat sering dikaitkan dengan praktik-praktik tradisional yang dinilai lebih rendah dibandingkan dengan fine art. Pengabaian terhadap seni ini melanggengkan diskriminasi seniman yang bekerja dalam ranah tradisi. Bentuk seni kriya ini sering dianggap ‘kerajinan tangan’ yang rendah dan kasar, tidak memiliki prestise dan pengakuan yang tinggi sebagaimana fine art serta seringkali diasosiasikan dengan nilai-nilai femininitas, domestikitas, dan tidak profesional. Ketimpangan ini berasal dari tradisi seni Barat yang mengagungkan ekspresi artistik seniman dan mengucilkan segala rupa ekspresi artistik non-Barat. Seni kriya dalam kesenian rakyat sering kali dikecualikan dari institusi seni arus utama dan narasi sejarah seni. Bias ini melanggengkan devaluasi keterampilan kerajinan dan komunitas yang menjunjung tinggi praktik-praktik tradisional. Akibatnya, banyak seniman dan pengrajin menghadapi kesulitan ekonomi, apalagi ditambah fenomena globalisasi dan produksi massal yang mengikis pasar kerajinan tradisional, sehingga mengancam keberlangsungan hidup komunitasnya. Damar Kurung sebagai kerajinan lentera tradisional mengalami degradasi signifikan manakala teknologi lampu listrik mendominasi hidup manusia. Tak hanya eksistensi Damar Kurung yang terancam, kehidupan Masmundari dan keluarganya pun turut terancam karena pemenuhan kebutuhan hidup bergantung pada hasil penjualan Damar Kurung. Oleh karena itu, Masmundari melakukan inovasi agar Damar Kurung tetap bertahan, yaitu dengan mengubah orientasi Damar Kurung dari kriya menjadi seni kontemporer dua dimensi.

Menyingkap penindasan berlapis yang dihadapi oleh Masmundari sebagai seniman perempuan lansia di bidang seni kriya dan seni rakyat menunjukkan betapa kompleks hubungan gender, usia, dan bias budaya dalam membentuk pengalaman seniman untuk menghasilkan suatu karya seni. Membahas perjuangan yang dilakukan Masmundari memungkinkan kawan GNFI untuk mempertanyakan dan mengkritisi struktur kekuasaan yang ada di lembaga dan industri seni. Dengan menyadari dan mengakui keberadaan sistem-sistem yang menindas ini, kawan GNFI dapat berkontribusi untuk menciptakan komunitas seni yang lebih inklusif dan adil. Amat disyukuri dan patut dipuji bahwa masyarakat, komunitas, perusahaan swasta dan pemerintah Kabupaten Gresik sampai hari ini berkomitmen bekerja sama untuk melestarikan Damar Kurung dan mengakui eksistensi Masmundari. Terlebih Damar Kurung saat ini diakui sebagai warisan budaya tak benda Nasional Republik Indonesia. Upaya pengarsipan, dokumentasi, edukasi maupun festival dan pameran yang sudah dan akan dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat Gresik mempunyai kesadaran merawat warisan masa lalu sebagai bekal membangun identitas kultural di masa mendatang. Bahwa kerja kreatif dan pengarsipan membutuhkan kerja sama lintas generasi dan gender. Dengan demikian, menjadi penting untuk berupaya mengangkat suara dan pengalaman kelompok-kelompok yang terpinggirkan, memastikan bahwa kontribusi mereka diakui dan dirayakan. Memberdayakan seniman perempuan, memerangi ageism, dan menghargai signifikansi budaya dari seni kriya dan seni rakyat adalah langkah-langkah penting dalam membongkar hambatan yang mengekalkan penindasan.

(Penulis adalah dosen Desain Komunikasi Visual, Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif, Universitas Kristen Petra Surabaya. Saat ini sedang menempuh studi di Program Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini