Menerangi Hidup dari Kegelapan: Kisah Sang Pelita di Ujung Desa Bacu-Bacu

Menerangi Hidup dari Kegelapan: Kisah Sang Pelita di Ujung Desa Bacu-Bacu
info gambar utama

Pada tahun 2008 silam, saat liburan pergantian semester yang dinanti-nanti oleh mahasiswa manapun. Begitu juga dengan Harianto Albarr, yang saat itu masih menjadi mahasiswa semester tiga Jurusan Kimia di Universitas Negeri Makassar. Namun, bagi Harianto, liburan itu menjadi awal perjalanannya menerangi kehidupan di Desa Bacu-Bacu, kampung halamannya.

Ampiri adalah sebuah dusun terpencil di lereng bukit Coppo Tile, Desa Bacu Bacu, Kabupaten Barru, yang dihuni sekitar 1.500 warga. Butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan bila berkendara motor ataupun mobil dari arah Kota Makassar untuk sampai di sana. Menyusuri jalanan terjal yang tak sepenuhnya beraspal dan berliku. Kalau pengemudi kurang terampil, roda kendaraan rawan selip atau terpeleset bebatuan.

Selain sulit dijangkau, di sana belum ada akses listrik negara sehingga jangankan jaringan internet, sumber penerangan saat gelap pun tidak dapat terpenuhi. Pelita adalah satu-satunya sumber penerangan di Ampiri, Desa Bacu-Bacu kala itu. Ampiri jauh dari hiruk pikuk kota, namun berbagai potensi dan kekayaan hayati tersembunyi di balik kegelapannya.

Ya, di desa inilah, Harianto memulainya dengan modal semangat untuk berbuat dan berbakti pada kampung halaman. Hari tergerak untuk membuat pembangkit listrik setelah menyadari bahwa salah satu faktor yang menghambat kemajuan di desanya adalah ketiadaan sumber listrik. Karena pengetahuan yang terbatas dan tidak memiliki latar pendidikan tentang listrik, Hari pun belajar otodidak.

Hari mulai mempelajari berbagai teknik pembuatan pembangkit listrik melalui laman berbagi video YouTube dan sejumlah literatur. Melihat peluang pemanfaatan aliran sungai di desanya, Hari mencetuskan ide untuk membuat kincir air sebagai pembangkit listrik.

Bermodalkan Rp. 4 juta dan memanfaatkan bahan seadanya, Hari memulai proyek kecil-kecilannya bersama salah satu temannya yang ahli di bidang kelistrikan dan dibantu juga oleh warga sekitar. Kala itu pertama kali Desa Bacu-Bacu diterangi cahaya lampu, walaupun hasilnya kecil, tidak sampai 1.000 Watt dan hanya berhasil menyalakan lampu-lampu mereka berkekuatan 5 Watt. Namun, pembangkit listrik sederhana itu sudah bisa menerangi desanya saat malam hari.

Awalnya, banyak warga yang meremehkan dan tidak percaya, tapi tak memadamkan semangat Hari untuk terus berusaha menerangi desanya. Melewati percobaan berkali-kali, dari membuat kincir dari kayu, kincir dari besi hingga akhirnya di tahun 2012 mulai membuat turbin.

Berkat bantuan CSR dan Kementerian ESDM, instalasi listrik tak lagi menggunakan kincir air. Energi dari aliran Sungai Ampiri diubah menjadi listrik menggunakan turbin. Listrik yang dihasilkan hingga 100 Kwh sudah bisa menjangkau seluruh rumah yang berjumlah sekitar 120 unit di Ampiri.

Tahun 2008 menjadi akhir dari kegelapan di Ampiri, Desa Bacu-Bacu. Hari telah berhasil mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Ampiri menjadi tonggak sejarah proyek mikrohidro, mikrohidro adalah sebutan pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Mikrohidro dipilih karena sumber energinya mudah ditemukan di Indonesia sebagai daerah tropis yang memiliki hutan luas dengan aliran sungai sepanjang tahun.

Usaha pemuda asli Ampiri ini belumlah selesai, sebelumnya ia menghadapi keraguan dari warga. Tapi setelah pembangkit listrik tenaga mikrohidro ada, Hari masih harus berusaha untuk memperkenalkan mikrohidro pada warga. Perlu usaha keras untuk memberi pemahaman pada warga agar mau berpartisipasi dalam pemeliharaan dan pengelolaan secara bersama. Akhirnya, Hari membentuk kelompok perwakilan warga untuk mengelola penggunaan pembangkit listrik agar tetap menyala.

Hari tak hanya sekadar memecah gelap, tapi juga menyalakan semangat. Keberhasilan Hari membawa listrik dengan energi alternatif, membuka akses informasi dan hiburan melalui televisi. Anak-anak tak lagi kesulitan belajar di malam hari dan petani pun leluasa mengolah hasil panennya.

Sebagai salah satu penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2012 untuk bidang teknologi, Hari sudah memperkenalkan hasil karyanya berupa energi alternatif terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) hingga keluar daerah.

Bersama teman-temannya dari Mandiri Pro Nusantara, Hari mencurahkan perhatian ke daerah-daerah terpencil yang belum tersentuh listrik, dengan bantuan sumber dana pembangunannya dari CSR perusahaan dan donatur yang peduli.

Kini, bukan hanya desanya yang terang. Ada sekitar 30an desa yang tersebar di berbagai daerah telah menggunakan tenaga mikrohidro buatan Hari. Tidak hanya di Sulawesi Selatan, ada juga daerah lain seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.

Karena aksinya, sederet prestasi diraihnya, ia berhasil menerima penghargaan bidang inovasi energi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada September 2017 lalu. Hari berharap, cara yang diterapkan di desanya juga dapat bermanfaat pada puluhan ribu desa di seluruh Indonesia yang belum teraliri listrik.

Setiap orang adalah guru. Karena mereka mengajarkan hal baik.—Harianto Albarr

#kabarbaiksatuindonesia

#KitaSATUIndonesia

Referensi:

Instagram @hariantoalbarr

https://youtu.be/ZdmwfCcfyXs?si=76Pi352NwpJYYSfM

https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/pencetus-terang-desa/

https://m.kbr.id/saga/05-2018/harianto_albarr___mantri_listrik_dari_desa_bacu_bacu_/96156.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini