Sedekah Laut Larung Sembonyo: Warisan Budaya Kabupaten Trenggalek yang Syarat Akan Nilai

Sedekah Laut Larung Sembonyo: Warisan Budaya Kabupaten Trenggalek yang Syarat Akan Nilai
info gambar utama

Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu wilayah bagian selatan Provinsi Jawa Timur yang memiliki keindahan alam dan tradisi kebudayaan yang luar biasa. Salah satu diantara tradisi yang paling mencolok dan menarik minat wisatawan adalah Sedekah Laut Larung Sembonyo. Perayaan yang diadakan setiap Senin Kliwon bulan Selo tersebut, merefleksikan hubungan erat antara agama, kebudayaan, dan keindahan alam yang tidak terpisahakan dari kehidupan masyarakat pesisir Kabupaten Trenggalek.

Kisah tentang Larung Sembonyo, tetap menjadi warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan membawa pesan berupa rasa syukur, penghargaan terhadap alam, dan nilai gotong royong.

Sejarah Larung Sembonyo

Berdasarkan catatan sejarah, tradisi Larung Sembonyo berawal dari pernikahan yang dilakukan oleh seorang tumenggung dari Kerajaan Mataram yang bernama Yudha Negara. Selama ekspedisi ke sepanjang wilayah pesisir pantai Pulau Jawa, ia ditemani oleh empat orang saudaranya yaitu Raden Yaudhi, Raden Yaudha, Raden Pringgo Jayeng Hadilaga, dan Raden Prawira Kusuma.

Sepanjang proses penyisiran wilayah baru di pantai selatan jawa, Tumenggung Yudha dihadapkan dengan berbagai macam rintangan. Sehingga ia kemudian memerintahkan saudaranya untuk menetap di setiap wilayah yang mereka singgahi, dengan tujuan membuka kawasan baru. Sedangkan Tumenggung Yudha sendiri melanjutkan perjalanan hingga sampai pada tujaun utama yaitu Pantai Prigi.

Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, akhirnya pasukan Tumenggung Yudha berhasil menapakkan jejak ke wilayah Teluk Prigi. Sesampainya disana, mereka justru disuguhi oleh hutan lebat dan wingit (angker) tanpa ada satupun penduduk. Merasa ada penguasa makhluk ghaib yang menghuni tempat tersebut, Tumenggung Yudha kemudian melakukan semedi atau bertapa.

Proses pertapaan yang panjang akhirnya menghasilkan kesepakatan antara Tumenggung Yudha dengan para makhluk ghaib. Dalam kesepakatan tersebut, Tumenggung Yudha diharuskan untuk menikahi Putri Gambar Inten. Pernikahan mereka berdua dilangsungkan pada Senin Kliwon bulan Selo dalam penanggalan Jawa. Sebagai bentuk rasa syukur karena berhasil membuka wilayah Prigi, Tumenggung Yudha Negara dan Putri Gambar Inten melakukan sedekah laut berupa melarung berbagai macam hasil bumi. Prosesi sakral yang menjadi simbol kekayaan alam dan anugerah Tuhan tersebut dinamakan dengan Larung Sembonyo.

Syarat Akan Makna

Upacara adat Larung Sembonyo biasanya diadakan di Teluk Prigi, Desa Tasik Madu, Kecamatan Watulimo. Sedangkan untuk prosesi adat lainnnya, dilaksanakan di berbagai desa seperti Tasik Madu, Prigi, Margomulyo, Karanggandu, dan Karanggongso. Berbeda dengan acara utama, sedekah laut diluar Teluk Prigi biasa disebut sebagai adat sembonyo, mbucal sembonyo, bersih laut.

Asal muasal kata “sembonyo” sendiri diyakini merupakan nama lain dari mempelai tiruan berupa boneka kecil. Dalam proses larungan, biasanya boneka tersebut diganti dengan adonan tepung beras ketan yang dibentuk layaknya sepasang pengantin. Secara simbolik keduanya didudukkan diatas peralatan satang yaitu alat untuk menjalankan dan mengemudikan perahu, untuk kemudian dilarung.

Tidak hanya boneka “sembonyo”, penggambaran sepasang pengantin juga diduplikasikan sesuai dengan adat pernikahan sebenarnya. Tempat mempelai duduk atau menerima tamu, disimbolisasikan melalui ares batang pisang. Selain itu, ares juga dihiasi dengan bunga kenangan, melati, dan kencari. Karena merefleksikan perkawinan dalam tradisi Jawa, “sembonyo” juga dilengkapi berbagai macam seserahan atau sesaji serta perlengkapan upacara lainnya.

Nilai Kehidupan

Hikayah larung sembonyo merupakan warisan leluhur yang telah ada sejak awal berdirinya kawasan Teluk Prigi. Upaya yang tidak mudah dalam membuka wilayah Prigi sebagai tempat mencari nafkah orang banyak, membuat Tumenggung Yudha merasa bersyukur sekali atas bantuan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, ia kemudian mengadakan syukuran berupa larungan dengan dimeriahkan hiburan tayub.

Sejatinya setiap tradisi yang lahir di Indonesia, selalu membawa nilai kehidupan yang tiada tara. Hal ini juga terdapat dalam filosofi larung sembonyo yang menunjukkan adanya rasa syukur, harapan, dan permohonan, untuk senantiasai diberikan hasil laut dan darat yang melimpah. Selain itu, rangkaian prosesi yang biasanya berlangsung seharian penuh, juga memberikan manfaat bagi pelaku ekonomi sekitar.

Larung Sembonyo dengan segala sakralitas dan kemeriahannya, berhasil menjadi kegiatan prioritas tahunan pemkab Trenggalek yang terus dilestarikan dengan baik. Tentu hal ini juga menjadi pesan tersirat bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk tidak mengabaikan tradisi leluhur yang telah terjaga selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Dengan melestarikan, memeilihara, dan mengembangkan kawan GNFI bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki nilai jual budaya yang menjanjikan.

#kabarbaikindonesia

Sumber:
Artikel Skripsi: Studi Tentang Tradisi Larung Sembonyo di Desa Tasikmadu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek Tahun 2017 (Widyaningrum, Siska, 2017).

https://prokopim.trenggalekkab.go.id/berita/september/201-larung-sembonyo-pantai-prigi-budaya-eksotis-nelayan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini