Membingkai Budaya dalam Tulisan Kekinian

Membingkai Budaya dalam Tulisan Kekinian
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Mudah untuknya memuliakan

Sebab Penghulu beriring bundo kanduang pasti mampu selaraskan mahligai

Perempuannya, penyeimbang buana

Potongan bait ini dipetik dari puisi saya berjudul Marapulai dan Perempuannya. Ada yang berbeda, karena terselip bahasa Minang di dalamnya. Siapa bilang budaya itu kuno, ketinggalan zaman? Dengan sentuhan berbeda, budaya sangat bisa dikemas dengan gaya kekinian.

Inilah yang saya dan ratusan penulis upayakan sejak tahun 2022, berpayung komunitas Elang Nuswantara yang diampu oleh Kirana Kejora. Di setiap karya, kekayaan budaya dan alam Indonesia dibaurkan dalam cerita fiksi, diselipkan dalam bait-bait puisi kontemporer, serta dirangkum dalam alur kisah catatan perjalanan (travel notes). Mulai dari cagar budaya, bahasa daerah, tarian, kesenian, makanan, hingga kebiasaan tertentu. Sehingga pembaca lebih mudah mengenal warisan negeri ini melalui bacaan ringan dan menghibur.

Kita akan Menjadi Leluhur

Cerpen berjudul Kasih Sasuku Sapayuang mengangkat larangan pernikahan sesuku di Minang | Foto: Dokumentasi Pribadi

Sungguh membanggakan ketika aktivitas menulis yang saya senangi, menjadi jembatan untuk melestarikan budaya. Bukan tumbuh begitu saja, ada cerita di balik semangat saya mempertahankan apa yang seharusnya dijaga.

Awal menulis bersama Elang Nuswantara, saya kira tak akan menemukan kendala. Cerpen pertama saya mengangkat larangan pernikahan sesuku di Minang. Sangat percaya diri, bahkan memperkirakan akan selesai dalam sehari. Ternyata ketika benar-benar mulai menulis, saya kebingungan. Banyak hal terkait larangan pernikahan sesuku yang tidak saya tahu, mulai dari tingkat keeratan pertalian darah dari suku-suku yang ada, penghulu dari setiap suku, hingga asal daerah suku tersebut.

Titik di mana saya sadar bahwa saya tidak sepaham itu dengan budaya sendiri. Malu? Jelas! Sudah puluhan tahun saya tinggal di ranah Minang. Apalagi anak-anak saya masih meneruskan suku ibunya. Bagaimana akan mewarisi budaya bila saya yang harusnya menjadi tali penyambung malah bingung? Memang betul apa yang selama ini masif diisukan, budaya kita mulai terkikis modernisasi. Karena jujur, menemukan sumber yang memiliki pengetahuan dalam soal ini sangat sulit.

Bila budaya yang kita miliki saat ini adalah warisan leluhur, sangat egois bila warisan itu dibiarkan hilang, lalu kita menjadi leluhur yang tidak mewarisi apa-apa.

Inilah yang membuat jatuh cinta. Riset selama menulis menggurat banyak pelajaran. Budaya kita jauh lebih istimewa dari sekadar keberagaman, karena bukan hanya keindahan dan keunikan saja yang bisa dinikmati, hujanan makna mendalam yang tersimpan di setiap unsurnya tak kalah bernilai sebagai bekal hidup. Terkuak begitu saja ketika kita mau membuka mata dan melihat lebih dekat.

Seperti di tulisan kedua saya dalam buku antologi bersama Melanglang Jagat Buana, bertemakan catatan perjalanan ke cagar budaya atau tempat-tempat berunsur budaya. Istana Pagaruyung yang saya ceritakan. Lantai pertama istananya yang begitu lapang, tak bersekat, padahal ada area masing-masing dengan fungsi berbeda, menyuguhkan filosofi kehidupan. Aturan-aturan yang secara fisik tidak terlihat, bukan berarti dapat semaunya diabaikan dan disangsikan. Namun, bukan pula mengotak-ngotakkan dan memancing perbedaan. Semua mematuhi dan saling menghormati, selaras dan seimbang. Kalau kita di zaman sekarang bisa berlaku seperti itu, aturan-aturan yang dibuat pasti akan mencapai fungsi maksimalnya.

Jadi bukan hanya pembaca saja yang bertambah literasinya, saya sebagai penulis pun juga banyak belajar. Bahagianya lagi, anggota lintas generasi Elang Nuswantara, mulai dari milenial yang seusia saya, yang berusia 60 tahunan lebih, hingga yang termuda masih duduk di bangku SMP, kalau bertemu, obrolan kami pun seperti sesi berbagi yang juga erat dengan kebudayaan. Saya pun bisa menulis artikel ini berkat ilmu-ilmu yang terus mengalir dari satu raga ke raga yang lain selama bergabung di sini.

Diterbangkan ratusan karya penulis Elang Nuswantara dengan budaya dan kearifan lokal berbeda. Membaca buku akan seperti menjelajah dari Aceh sampai Papua. Saya sendiri berkontribusi dalam 5 buku. Di 4 buku setia mengangkat budaya Minangkabau, di 1 buku bertema konservasi alam. Kenapa membahas alam juga? Karena budaya dan alam adalah satu kesatuan untuk hidup yang berkelanjutan.

Dunia pun mengakui. Konferensi Mondiacult 2022 di Meksiko, yang merupakan Konferensi Dunia UNESCO tentang Kebijakan Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan, menjadikan kebudayaan sebagai pilar keempat dalam Sustainable Development Goals (SGDs). Mengutip dari kemlu.go.id, hasil konferensi menyatakan bahwa budaya merupakan satu-satunya energi untuk mempersatukan dunia dalam membentuk masa depan yang lebih keberlanjutan.

Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) tahun 2023 ini juga bertemakan "Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan". Ketika kita berbicara soal melestarikan budaya, pasti ada upaya untuk menjaga bumi. Harmoni, tidak ada satu pun budaya kita yang bertentangan dengan alam.

Meski saya hanya bisa mengikuti dari unggahan media sosial, perayaan PKN kali ini sangat meriah dengan suguhan berbagai budaya dan kearifan lokal. Bayangkan, bila setiap orang yang hadir menuliskannya entah di media favorit yang mana, sudah berapa budaya yang terabadikan. Karena bagi saya, menulis bukan saja mengabadikan nama, tapi juga mengabadikan apa yang diangkat dalam tulisannya.

Semesta Membuka Jalan

Parade Peluncuran 6 Buku Elang Nuswantara, 14 Oktober 2023 lalu di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia | Foto: Dokumentasi Pribadi

Pendekatan melalui karya tulis kekinian ini ternyata disambut antusias. Baik penulis, maupun pembaca, sama-sama merasakan indahnya mempelajari budaya. Dalam dua tahun berdirinya, Elang Nuswantara sukses melahirkan puluhan buku dan diluncurkan megah di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga turut memberi dukungan.

Selangkah niat baik menjaga budaya, dibayar berlipat dukungan semesta. Melestarikan budaya adalah tanggung jawab, yang ketika dituntaskan, pasti akan berlimpah hal baik yang mengikuti.

Modernisasi Tak Selalu Buruk

Sebenarnya, modernisasi bisa dimanfaatkan untuk melestarikan kebudayaan. Alih-alih terus fokus dengan dampak buruknya, alangkah lebih baik menjadikannya penyokong untuk meresapkan literasi budaya pada kaum muda.

Seperti saya kemarin, riset budaya ternyata bisa dilakukan secara virtual. Hasil tulisan yang kekinian, berhasil menggerakkan diri untuk mengenal budaya dengan cara yang tak kalah kekinian. Melalui video streaming, saya bisa mendengarkan musik, melihat gerak tarian, dan juga nyanyian daerah. Memanfaatkan foto 360 derajat dari Google Maps, saya bisa melihat langsung cagar budaya dan kondisi sekelilingnya. Berselancar membaca artikel digital dari sumber tepercaya, juga memberi deretan referensi. Tanpa ke mana-mana, saya bisa mengenali budaya yang diinginkan. Menarik, bukan?

Membangkitkan literasi budaya tidak mesti menempuh jalan yang sama. Karya tulis hanya salah satunya saja. Apalagi di zaman digital sekarang, lebih banyak lagi cara untuk menyebarluaskan informasi hingga ke berbagai belahan bumi. Bila kita semua dapat bekerja sama, sangat mungkin menumbuhkan masyarakat menyeluruh yang literat budaya.

Ingatlah, apa yang kita warisi, adalah apa yang kita upayakan saat ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini