Harmoni dalam Budaya Subak di Bali

Harmoni dalam Budaya Subak di Bali
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sejak kecil, saya hidup berdampingan dengan suguhan pemandangan sawah yang terbentang hijau dan berundak-undak. Saya pun sering bermain di sungai yang mengalir segar dan jernih melewati tiap petak sawah dan terlibat dalam tradisi untuk mendoakan agar sawah selalu hijau dengan hasil yang melimpah. Namun, cukup lama untuk saya mulai menyadari ada budaya yang berharga dan istimewa di balik semua itu.

Pada 2012, UNESCO mengakui sistem Subak di Bali sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). UNESCO menganggap bahwa Subak memenuhi syarat untuk menjadi WBD dengan adanya filosofi, lanskap, dan Pura Subak yang unik. Ketiganya menyatu untuk menjalankan sistem Subak yang berkeadilan, berbudaya, dan berkelanjutan.

Sawah Terasering di Bali | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Masyarakat Bali mengelola Subak sebagai sistem pengairan dengan nuansa sosial, pertanian, dan keagamaan. Untuk mendapatkan air dan hasil pangan yang baik, para petani bergerak secara harmonis dengan semangat gotong royong. Selain itu, rangkaian ritual dalam menjalankan sistem irigasi Subak juga menambah keunikan tersendiri.

Bali yang memiliki jalur gunung berapi dan berada di wilayah beriklim tropis merupakan perpaduan yang pas untuk menghasilkan tanah subur untuk budidaya tanaman. Namun, dilihat dari sejarahnya, jalur gunung membentuk medan yang ekstrem untuk melakukan aktivitas pertanian. Kemudian, sekitar abad ke-11, para pendiri Subak menggunakan kearifan lokal dalam membentuk sistem irigasi tradisional. Mulailah dibangun kanal-kanal irigasi yang mampu mengairi lahan datar maupun miring dalam bentuk terasering.

Selama ribuan tahun lamanya, masyarakat Bali mempertahankan Subak untuk mengelola air dan mendistribusikannya secara merata. Selain itu, pemeliharaan sumber maupun saluran air terus dilakukan yang tak terlepas dengan berbagai ritual keagamaan. Maka dari itu, kita akan melihat adanya Pura di tengah-tengah sawah dan tugu atau biasa disebut pelinggih di setiap petak sawah untuk melakukan ritual keagamaan dalam skala kelompok dan individu. Adapun yang disebut dengan bale timbang, yakni bangunan kecil yang akan menjadi tempat berkumpul para petani untuk mendiskusikan tentang sawah mereka.

Pelinggih di Tengah Sawah | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Sistem Subak dan Pertanian Berkelanjutan

Implementasi dari sistem subak tak terlepas dari suatu ajaran filosofis yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali, yakni Tri Hita Karana. Filosofi tersebut mengajarkan manusia untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan lingkungannya atau alam (Palemahan). Berbagai ritual keagaamaan, Pura, maupun sikap masyarakat dalam mensucikan air sebagai bagian dari ciptaan Tuhan merupakan wujud dari Parahyangan. Organisasi dan aktivitas gotong royong di dalam subak menunjukkan aspek Pawongan. Pemanfaatan sumber daya alam, seperti air, yang dilakukan secara proporsional dan penggunaan jaringan irigasi yang umumnya menggunakan bahan lokal merupakan wujud dari Palemahan.

Masyarakat Bali pun tidak terlepas dari peraturan adat (awig-awig) yang juga berlaku dalam sistem Subak. Awig-awig tersebut mampu mengikat petani untuk selalu taat pada aturan Subak. Adanya aturan yang mampu mengikat petani berdampak pada pengelolaan sumber daya air yang teratur. Selain itu, sistem Subak membantu terbentuknya ketahanan pangan dan hayati dengan adanya lumbung untuk menyimpan cadangan pangan dan penggunaan pupuk organik.

Lumbung di Dalam Rumah Adat Bali | Foto: Dokumentasi Pribadi
info gambar

Berbagai praktik konservasi sumber daya alam di dalam sistem Subak tersebut merupakan penyokong dari terbentuknya pertanian berkelanjutan di Bali. Oleh karena itu, kelestarian subak sangat penting untuk dijaga karena dengannya, masyarakat Bali mampu bergerak secara harmonis untuk mendapatkan hasil dari alam, menjaganya, dan mengapresiasi ciptaan-Nya. Namun, perubahan zaman kian membawa dampak tersendiri yang perlu kita waspadai untuk melindungi eksistensi Subak.

Ancaman yang Mengintai Subak di Bali

Saya masih ingat cerita Bapak beberapa tahun lalu tentang ‘jalur hijau’ yang ada di area persawahan dekat rumah. Dulu, saya sering bersepeda di kawasan itu, melewati jalan beraspal dengan hamparan sawah hijau di sisi kanan dan kiri. Kata Bapak, area itu adalah ‘jalur hijau’, jadi seharusnya tidak ada pembangunan di sana. Namun, kini petak-petak sawah di dekat jalan beraspal itu sudah berubah menjadi bangunan-bangunan baru.

Lahan sawah kian menyusut, pembangunan di hulu dekat sumber air menghambat aliran irigasi, dan pekerjaan sebagai petani makin tidak menarik bagi generasi muda. Faktor-faktor tersebut adalah beberapa sinyal yang mengancam kelestarian warisan budaya Subak. Selain itu, UNESCO melalui laporan State of Conservation terbarunya menuliskan beberapa faktor yang berdampak pada Subak. Hal itu meliputi perubahan cara hidup tradisional dan sistem pengetahuan, sistem pemerintahan, identitas, kohesi sosial, perubahan populasi dan komunitas lokal, konversi lahan, sistem manajemen/rencana manajemen, dan penilaian masyarakat terhadap warisan.

Meskipun sudah berdiri selama ribuan tahun dan diwariskan secara turun-temurun, sistem Subak makin tergerus eksistensinya karena perubahan zaman dan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, mempertahankan Subak sebagai warisan budaya memerlukan peran dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat.

Bersama Melestarikan Subak

Beberapa bagian persawahan di sekitar kampung halaman saya memang sudah tak mampu membendung kepungan pembangunan, tetapi beruntungnya banyak pula petak sawah yang masih lestari. Selain itu, tradisi yang begitu kental masih terjaga. Berbagai ritual dilaksanakan, mulai dari sebelum melakukan aktivitas di sawah hingga pada saat panen.

Kampung halaman saya yang masih melestarikan sistem subak ini berada di Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar. Ritual-ritual keagamaan tidak hanya dilakukan oleh petani, tapi ada juga yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Terdapat tradisi unik yang hanya ada di Desa Pejeng Kangin, namanya mapajuit. Tujuan dari mapajuit adalah untuk mendoakan padi agar sehat dan terhindar dari serangan hama. Diadakan sekali setiap tahunnya, tradisi mapajuit ini diikuti oleh anak-anak hingga lansia yang akan berjalan beriringan dari satu Pura ke Pura lainnya. Perempuan yang terlibat akan menyunggi banten, sedangkan kaum laki-laki akan membawa cabang daun jaka yang disebut berokan sebagai simbol ekor sapi dalam membajak sawah.

Mapajuit adalah salah satu contoh kegiatan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat serta mampu menjadi sarana untuk menurunkan tradisi dalam sistem Subak dari satu generasi ke generasi lainnya. Namun, melihat banyaknya faktor yang mengancam eksistensi Subak, tentunya diperlukan pendekatan-pendekatan lainnya dalam melestarikan Subak. Selain masyarakat yang tetap menjalankan berbagai tradisi dan ritualnya, juga dukungan pemerintah dalam membentuk sistem yang mampu memperkuat pemberdayaan Subak. Hal itu penting untuk menjaga rasa kedaulatan masyarakat atas tanah mereka sendiri dan membuat Subak makin resilien dari berbagai tekanan yang akan datang. Bersama, kita lestarikan Subak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NT
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini