Bahasa Ibu dan Kesadaran (Multi)Kultural

Bahasa Ibu dan Kesadaran (Multi)Kultural
info gambar utama

Indonesia adalah gambaran kekayaan kultural ekspresi seni budaya, termasuk keragaman bahasa yang luar biasa impresif. Namun hasil survei Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek hingga tahun 2021 menyebut ada 8 bahasa dikategorikan punah, 5 bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah), dan 21 bahasa berstatus aman (Aziz, 2021). Seperti di Papua, bahasa Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi), Taworta dan Waritai (Jayapura), Murkim dan Walak (Jayawijaya), Meos–war (Manokwari), Loegenyem (Rajaampat) terancam punah (Kompas, 14/11/2007).

Hal ini tentu saja patut menjadi perhatian bersama. Karena eksistensi bahasa lokal yang mencakup bahasa ibu menjadi penanda eksistensi budaya dan peradaban. Ancaman kepunahan bahasa adalah musibah besar bagi kemanusiaan.

Menyadari pentingnya bahasa ibu bagi kehidupan umat manusia, maka pada 21 Februari 1991 di Paris, UNESCO mencanangkan Hari Bahasa Ibu Internasional guna memajukan keanekaragaman budaya dan bahasa dunia. Dengan momentum ini diharapkan agar setiap individu, lembaga, dan pemerintah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi pelestarian dan kelestarian bahasa ibu.

Aminudin Aziz (2022) menjelaskan bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali didengar dan dikuasai sebagai bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pada masa pertumbuhan kita. Kebanyakan, meski tidak selalu, bahasa ibu juga merupakan bahasa daerah tempat kita tinggal. Maka tidak heran jika kita kerap beranggapan bahwa bahasa ibu sama dengan bahasa daerah. Padahal bisa jadi, bahasa ibu seseorang adalah bahasa nasional atau bahkan bahasa asing.

Indonesia sendiri merupakan negara paling multilingual kedua di dunia setelah Papua Nugini. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2021), Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Lebih dari tiga perempatnya ditemukan di wilayah timur Indonesia, dengan jumlah penutur yang rata-rata sedikit. Akibatnya, ancaman kepunahan bahasa-bahasa tersebut sangat kuat.

Beberapa faktor penyebab kemunduran atau bahkan kepunahan bahasa daerah diantaranya sikap penutur bahasa daerah terhadap bahasanya; migrasi atau mobilitas sosial yang tinggi; adanya perkawinan dengan pasangan yang berbeda bahasa, dan bencana atau musibah yang menyebabkan berkurangnya penutur bahasa daerah.

Namun, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sikap bahasa para penutur bahasa ibu, terutama generasi muda, paling berpengaruh terhadapnya. Mereka menganggap, bahasa ibu kurang bergengsi, hanya romantisme kedaerahan, dan sikap lain yang tak terlalu menunjukkan penghargaan pada bahasa ibu. Mereka lebih senang berbahasa asing, bahkan saat bertutur dalam bahasa Indonesia (Aziz, 2021).

Stereotip

Dalam hal ini seperti telah tercipta stereotip di masyarakat bahwa bahasa ibu (lokal/daerah) identik dengan aneh-tidak normal-oleh-karenanya-tertinggal, katrok, ndeso, atau bahkan sebagai the other (liyan). Konsep other selama ini secara laten dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, modern-etnik, global-lokal.

Seperti pada contoh kasus bahasa Sunda dan Banyumasan yang eksistensinya dalam bahaya. Para penuturnya menurun sampai dengan 20 % per tahun (Kompas, 26 Juni 2012). Bahkan generasi muda penutur bahasa Banyumasan terkesan tidak yakin menggunakan dialek ngapak-ngapak dalam berkomunikasi karena dianggap sebagai sesuatu yang lucu, ndeso, bahkan “tidak normal”. Jelas, hal ini bukan multikulturalisme yang partisipatoris dan emansipatoris, tapi gejala pengukuhan superioritas yang dominan-modern-global atas yang marjinal-etnik-lokal.

Dengannya, bahasa yang sesungguhnya lahir, tumbuh dan bergerak serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah dinamika perjalanan sosio-kultural suatu kelompok masyarakat, beroleh pandangan sebelah mata. Hal itu membuktikan terjadinya ketidakadilan persepsi dan pemaknaan terhadap kekayaan ragam kultural.

Bahasa ibu dibajak oleh banyak kepentingan (politik, ekonomi, logika kebudayaan) yang sesaat dan berjangka pendek. Bahasa sebagai pemersatu bergeser menjadi penuh epimisme dan kosakata yang menyesatkan disesuaikan dengan kepentingan kelompok.

Jika terus-menerus direproduksi, komunikasi yang mendasarinya bisa berubah menjadi perseteruan, bahkan perlawanan. Hal ini tentu saja harus dihentikan karena bisa berakibat disintegrasi kultural hingga kekacauan sosial.

Meminjam logika Ajidarma (2012), dalam hal ini, kita memasuki isu dikotomi kultural: ‘budaya tinggi’ dan ‘budaya populer’, tempat yang satu seperti merendahkan yang lain. Kebudayaan menjadi wahana pembebanan makna yang membuat kebudayaan selalu hadir ideologis, dan juga politis—termasuk proses hegemoni/kuasa dan kekerasan budaya.

Konstruksi Psikologi

Padahal mengutip Surahmat (2014), bahasa tidak dijadikan alat menyerang tapi sebagai pelumas hubungan sosial (social lubricant). Karena menurut Wittgenstein, upaya manusia mengenali diri dan lingkungannya hanya mungkin dilakukan melalui bahasa. Pasalnya, manusia membaca realitas melalui proposisi bermakna dan kemudian membentuk pikiran (thought). Konsep dan pemahaman seseorang terhadap realitas sangat dipengaruhi proposisi-proposisi yang diperolehnya. Secara akumulatif, kumpulan proposisi menentukan pandangan dunia (weltanschauung) seseorang.

Dalam konteks yang lebih luas, sebagai sebuah ekspresi paling awal, bahasa ibu adalah konstruksi psikologi dan bangunan logika yang memiliki fungsi kultural-edukatif kuat membentuk pola pikir dan karakter penuturnya mulai dari usia dini dan masa berkembang. Untuk itu kita perlu melakukan, tidak hanya proteksi, tapi juga revitalisasi bahasa ibu, terutama pada konteks konservasi dan penguatan pengetahuan dan kultural.

Pendekatan mendasar berbasis sekolah bisa menggunakan sistem pengajaran dengan pendekatan transisi bahasa ibu untuk meningkatkan literasi siswa (terutama di daerah) melalui materi pembelajaran tematik atau topik-topik tertentu sesuai kondisi riil kebutuhan dan kemampuan anak didik. Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam kurikulum juga tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses.

Diluar itu, komunitas tutur dengan para pegiat dan maestro bahasa dan sastra di komunitas sastra daerah, bersama membangun ekosistem literasi, edukasi dan ekspresi bahasa ibu. Bisa lewat apresiasi dalam wujud publikasi di media-media massa atau media sosial yang tersedia, yang memang telah menjadi penanda hidup kiwari.

Sebuah bangsa yang plural dengan segala keragaman budayanya mestinya dipandang dan dihargai sebagai sebuah mosaik multikultur dengan aspek-aspek sosiokultural masyarakat, sebagai potensi modal budaya yang patut terus dijaga eksistensinya. Pemahaman semacam ini mutlak diperlukan untuk membangun simpul budaya sehingga sejarah sosial, tradisi dan akar kultural kita bersama dapat terbangun dengan baik. Pemaknaan tentang bahasa ibu kiranya tak lagi sekedar memberikan dasar tentang refleksi teknis ekspresi, tapi juga imaji tentang suatu identitas bersama.

Konservasi bahasa ibu menjadi usaha riil untuk menanamkan kesadaran multikultural dalam masyarakat plural, membantu masyarakat lebih menyadari dan memahami diversity sebagai keniscayaan (kenyataan yang tak dapat ditolak) sehingga membawa pengaruh lahirnya sikap toleran, saling menghormati dan menghargai.

Bahasa ibu adalah cermin pluralitas, bukan dunia dikotomik, apalagi hegemoni. Dengannya kita dapat belajar memahami bahwa "perbedaan bukan hantu" dan "persamaan bukan tujuan". Muaranya adalah kerukunan antar sesama dan mewujudkan masyarakat multikultural yang berbudaya dan beradab.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini