Bertanya, Sebuah Budaya yang Kurang Ramah di Masyarakat?

Bertanya, Sebuah Budaya yang Kurang Ramah di Masyarakat?
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Budaya bertanya di Indonesia masih terbilang rendah. Statement ini memang tidak ada angka statistiknya. Namun, kita bisa melihat dengan mudah di keseharian, di mana masyarakat punya suatu pandangan bahwa bertanya bisa dianggap memalukan atau menakutkan.

Padahal, kita sendiri mengenal sebuah peribahasa lawas, “Malu bertanya, sesat di jalan”. Artinya adalah jika malu bertanya, kita akan rugi sendiri karena permasalahan tidak menemukan sendiri jalan keluarnya.

Realitanya, kita berkomunikasi satu sama lain di dunia ini dengan adanya aktivitas tanya-menjawab. Ambil saja salah satu, mem-browsing informasi di internet. Untuk mendapatkan data yang diinginkan, kita akan ‘bertanya’ kepada mesin pencarian dalam bentuk mengetikkan kata kunci. Dari sana, mesin peramban akan menampilkan berbagai portal yang menyediakan informasi yang dicari.

Lantas, apa bedanya dengan bertanya kepada guru secara langsung? Apa bedanya bertanya arah kepada orang yang kita temui di jalan? Bukankah di dunia ini, kita tidak diciptakan untuk berkomunikasi hanya dengan robot dan komputer?

Sejarah Orang Indonesia Malu Bertanya

Ada sebuah cerita—yang entah benar atau tidak—dikisahkan oleh orang tua. Sifat orang Indonesia yang takut bertanya adalah ‘warisan’ kelam dari penjajahan Belanda. Karena kita pribumi, biar di tanah air sendiri, tidak semua rakyat punya akses pendidikan yang layak. Kalau pun bisa, duduk di barisan depan atau sekedar bertanya pada guru bukan hal yang mudah dilakukan.

Maka karakteristik ini kemudian menjadi kebiasaan, menjadi budaya, menjadi normalisasi untuk generasi selanjutnya.

Di dunia pendidikan, bertanya melahirkan beberapa stigma yang negatif. Sebagian pendidik mungkin akan beranggapan bahwa siswa yang bertanya hal yang sudah dijelaskan, artinya ia tidak memperhatikan pelajaran.

Bagi sesama murid, teman yang bertanya akan dikira suka mencari perhatian guru atau sengaja memperpanjang durasi mereka belajar.

Sedangkan di rumah, anak yang tidak memahami pelajaran yang diajarkan, bisa menjadi suatu kesalahan di mata kedua orang tuanya karena dianggap tidak mau bertanya.

Betapa mengerikannya stigma yang dilahirkan dari sebuah aktivitas bernama “bertanya”.

Sayangnya, ketakutan bertanya tidak hanya ada di lingkup sekolah, tetapi juga dalam aktivitas lainnya. Berapa banyak Kawan GNFI menjumpai orang di jalan bertanya kepada kalian tentang arah jalan? Kemungkinan sangat sedikit, sebab ada teknologi bernama peta digital yang lebih dahulu dipilih sebagai pemandu perjalanan.

Seseorang pasti akan menjumpai setidaknya dua orang dalam hidupnya, yang mana tidak punya keberanian untuk bertanya dan memilih ditemani untuk menyelesaikan sesuatu di instansi.

Belum lagi dengan mereka yang tantangannya lebih sulit. Ada perbedaan bahasa, adat istiadat, hingga norma-norma sosial yang berlaku.

Bagaimanapun kita berupaya untuk mengatasi kecemasan untuk bertanya, nyatanya masih banyak yang enggan melakukan itu. Banyak yang lebih suka mencari aman, mencari sendiri informasi yang dibutuhkan, meskipun mungkin risiko ketidaktahuan dapat makin tinggi, makin mudah tersesat.

Bertanya menjadi Budaya yang Tidak Ramah, Sampai Kapan?

Tidak ada yang bisa memastikan kapan akan ada revolusi berani bertanya di masyarakat, selain dari diri sendiri mau untuk memulai pertama kali. Bertanya bukanlah sebuah keahlian yang memerlukan syarat khusus. Tidak juga wajib mempunyai public speaking yang bagus.

Kita hanya memerlukan keberanian dan kesadaran diri bahwa informasi yang akan didapatkan adalah kebutuhan kita, untuk kebaikan kita sendiri.

Maka, tulisan ini dibuat tidak sebagai pengingat diri, bahwa di antara ribuan bahkan jutaan keanekaragaman budaya yang indah di tanah air, maka kebiasaan bertanya layak untuk menjadi pembiasaan lagi.

Bertanyalah, maka kamu mengenal dunia!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AJ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini