Pengaruh Legenda Saka Tatal dan Sunan Kalijaga Terhadap Kebudayaan Islam di Desa Giripurno

Pengaruh Legenda Saka Tatal dan Sunan Kalijaga Terhadap Kebudayaan Islam di Desa Giripurno
info gambar utama

LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Dari empat saka guru yang menyangga Masjid Agung Demak, ada satu yang paling unik lantaran berasal dari tatal (serpihan kayu) yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Hingga saat ini, kisah saka tatal dan Sunan Kalijaga tersebut menjadi salah satu narasi paling legendaris dalam proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Seturut dengan masifnya perkembangan Islam, cerita itu juga menyebar di berbagai wilayah di Pulau Jawa. Salah satunya di Desa Giripurno, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

Di Desa Giripurno, yang terletak 8 km sebelah barat Candi Borobudur , kisah saka tatal dan Sunan Kalijaga telah mempengaruhi budaya dan tradisi warga masyarakatnya. Sebab mereka meyakini jika Sunan Kalijaga sempat singgah di Giripurno sebelum menemukan tatal yang menjadi bahan saka tersebut. Menurut mereka, perjalanan itu meninggalkan jejak-jejak yang masih dapat ditemui hingga saat ini.

Abdul Jabbar (50), seorang tokoh agama di Desa Giripurno yang akrab disapa Mbah Dul menuturkan ihwal perjalanan Sunan Kalijaga di Desa Giripurno. Menurutnya, jejak pertama perjalanan itu berupa nama Dusun Parakan, wilayah terbawah di Desa Giripurno. Disebut sebagai wilayah terbawah karena letak geografis Desa Giripurno yang berada di Lereng Perbukitan Menoreh. Sunan Kalijaga singgah tempat itu untuk memotong kumis, tepatnya di lokasi yang kini bernama Keramat. Sebagai bentuk penghormatan, warga masyarakat membuat cungkup di tempat tersebut. Sedangkan istilah “singgah” yang dalam bahasa Jawa disebut dengan kata “pinarak” atau bahasa Jawa kuno “parak”, dipercaya sebagai asal kata nama Dusun Parakan.

Mbah Dul melanjutkan, dari Dusun Parakan Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan ke arah barat atau atas. Dua kilometer kemudian, bertepatan dengan waktu sholat Dzuhur, ia telah sampai di wilayah Dusun Pokoh. Di tempat itu ia hendak melaksanakan sholat Dzuhur. Namun, setelah berusaha mencari disana-sini ia tidak menemukan sumber air. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk bertayamum sebagai ganti wudhu baru kemudian menunaikan sholat Dzuhur.

Seusai menunaikan sholat dan hendak melanjutkan perjalanan, Sunan Kalijaga kemudian mencabut tongkat rotan yang sebelumnya ditancapkan di tanah. Dari bekas tancapan tongkat itu, munculah mata air yang memancar. Ia menyebutnya seperti air kencing kambing bandot. Kejadian tersebut kemudian diyakini oleh warga masyarakat sebagai awal mula munculnya mata air yang hingga kini dinamakan Tuk Sebandot. Sedangkan nama Dusun Pokoh diyakini berasal dari kata “kepokoh” yang merupakan bahasa Jawa Pantai Utara (Pantura) yang artinya “terpojok”.

Masih dari cerita Mbah Dul, Sunan Kalijaga menemukan serpihan kayu yang menjadi bahan saka tatal sekitar 1 km ke arah barat dari Tuk Sebandot. Tepatnya di Dusun Sipat (sekarang Dusun Karangsari), Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman. Di tempat itu, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Mbah Sangkrip yang sedang madung (membuat balok dengan alat tradisional wadung). Setelah bertegur sapa, ia kemudian meminta izin untuk meminta tatal wadungannya. Tatal inilah yang kemudian diyakini menjadi bahan pembuatan saka tatal Masjid Agung Demak.

Kisah yang diceritakan Mbah Dul di atas merupakan rangkuman cerita rakyat di Desa Giripurno dan sekitarnya. Kebenaran kisah tersebut tentu dapat diperdebatkan, berkaitan dengan tidak adanya bukti tambahan dalam bentuk tulisan, prasasti maupun saksi hidup. Namun bagi warga masyarakat Desa Giripurno, bukti tersebut seolah tidak diperlukan. Bagi mereka, tradisi lisan yang dituturkan antar generasi telah cukup untuk membenarkan kejadian itu.

Keyakinan akan peristiwa itu menjadi sebab warga masyarakat merasa dekat dengan Sunan Kalijaga meski terbentang jarak ruang dan waktu. Kedekatan mereka terejawantahkan dalam ajaran agama Islam yang dianut sebagian besar warga yang tetap mempertahankan budaya Jawa atau Islam Kejawen. Ajaran-ajaran tersebut diantaranya berupa kenduri, peringatan hari kematian, peringatan bulan-bulan tertentu dan mujahadah.

Bagi warga masyarakat Desa Giripurno Sunan Kalijaga merupakan tokoh istimewa yang memiliki kedekatannya dengan Gusti Allah. Oleh karenanya, dua lokasi yang saya sebutkan sebelumnya yakni Keramat dan Tuk Sebandot dijadikan sebagai lokasi istimewa yang dikeramatkan dan menyebutnya sebagai Petilasan Sunan Kalijaga. Di tempat-tempat itu, warga tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang dianggap tidak sopan seperti membuang hajat, bercanda tawa, memotong pohon tertentu, atau berkata kotor.

Selain keberadaan larangan tersebut, warga masyarakat Desa Giripurno juga meyakini jika doa-doa mereka akan lebih mudah dikabulkan di tempat itu. Oleh karenanya, mereka mengadakan tradisi doa bersama (kenduri) pada waktu-waktu tertentu. Di Keramat, setiap tahun diadakan tradisi Rebo Wekasan setiap hari Rabu terakhir pada bulan Safar oleh warga setempat. Kegiatannya berupa doa berjamaah yang dilanjutkan dengan makan bersama.

Sementara itu, di Petilasan Tuk Sebandot setiap dua tahun sekali juga pada bulan Safar diadakan haul Sunan Kalijaga yang dikenal dengan nama Saparan Sebandot. Meski secara administrasi Tuk Sebandot berada di Dusun Gayam, namun tradisi ini dilaksanakan oleh warga masyarakat Dusun Pokoh, Dusun Jombor dan Dusun Gayam yang merupakan merupakan pemekaran Dusun Pokoh.

Saparan Sebandot merupakan tradisi yang menjadi momen untuk menceritakan ulang kisah perjalanan Sunan Kalijaga di Desa Giripurno, seperti pada pelaksanaan terakhir pada hari Kamis Wage, 31 Agustus 2023 yang lalu. Dalam kesempatan tersebut, Juru Kunci Tuk Sebandot Mulyoto (60) yang akrab disapa Mbah Kyai Mulyoto menjelaskan ihwal perjalanan Sunan Kalijaga hingga ke Tuk Sebandot. Selanjutnya ia meminta warga masyarakat untuk meluruskan maksud dan tujuan kegiatan itu agar menganggapnya hanya sebatas doa berjamaah yang disertai sedekah, bukan memberi persembahan kepada pepohonan di tempat itu.

Penjelasan itu bukan tanpa sebab, karena dalam pelaksanaannya beberapa ekor kambing akan disembelih di lokasi Tuk Sebandot. Warga masyarakat juga akan berbondong-bondong membawa ancak berisi ambeng dan ingkung ke tempat itu. Mereka juga ngalapberkah dengan memanfaatkan air Tuk Sebandot baik di tempat maupun dibawa pulang. Sebagai tokoh agama, ia tidak ingin warga masyarakat keluar dari syariat Islam yang diperjuangkan oleh Sunan Kalijaga.

Saparan Sebandot juga menjadi momen untuk saling berbagi dan saling menguatkan tali persaudaraan sesuai dengan makna filosofis yang terkandung dalam saka tatal ciptaan Sunan Kalijaga. Tatal yang sesungguhnya hanya limbah berbentuk kecil, pada akhirnya mampu menopang beban yang sama dengan yang terbuat dari bahan yang lebih sempurna setelah disatukan.

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Sunan Kalijaga memang hanya singgah kurang dari sehari di Desa Giripurno. Namun dalam waktu yang singkat itu, ia telah memberikan pengajaran sebagai jalan hidup bagi segenap warga masyarakatnya. Dengan demikian, saka tatal ciptaannya tidak hanya menopang Masjid Agung Demak, namun di tempat yang jauh seperti di Desa Giripurno dan sekitarnya, saka itu mampu menopang perkembangan agama Islam hingga ia telah tiada.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

M
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini