Semilir Angin dari Maestro Ludruk Surabaya

Semilir Angin dari Maestro Ludruk Surabaya
info gambar utama

Tidak ada gledek apalagi hujan, tiba-tiba Ning Tini datang memarahi Munawar yang baru saja pulang. Di hadapan suaminya yang sudah tak bergigi, perempuan bernama lengkap Kastini itu melaporkan bahwa kain sewek bawahan kebayanya hilang di jemuran.

Setelah sempat kowah-kowoh karena kebingungan, Munawar segera melakukan investigasi. Dari hasil penelusuran informasi, nama Sapari muncul sebagai tersangka. Alasannya, siang itu Sapari sempat datang hendak bertamu.

Singkat cerita, Munawar melakukan upaya restorative justice dengan melaporkan kejadian itu ke Pak Lurah Basman. Akhirnya mereka bersama-sama segera ke rumah Sapari untuk melakukan pengusutan lebih lanjut.

Di rumah Sapari, alih-alih mau menyelidiki, mereka akhirnya malah ikut bancakan nasi tumpeng komplit dengan urap-urap dan panggang ayam bareng Sapari dan Kartolo. Dalihnya Pak Lurah, menolak rezeki itu nggak apik.

Usai bancakan, barulah kasus hilangnya sewek menjadi terang. Sapari mengaku bahwa dialah pelaku pencurian seweknya Ning Tini. Hanya saja, muncul masalah baru karena dia juga menyeret nama Kartolo, Munawar dan Pak Lurah sendiri. Gara-garanya, mereka bertiga makan nasi tumpeng dari uang hasil kejahatannya Sapari.

Karena tidak bisa mengelak dan tidak mampu membayar pengacara, Kartolo, Munawar dan Pak Lurah Basman dengan suka rela ikut Sapari menyerahkan diri ke pihak berwajib. Case closed.

Kisah di atas memang hanyalah sebuah lakon ludruk Kartolo cs yang direkam dalam bentuk kaset. Dulu, di zaman radio transistor masih laku keras, cerita seperti “Tumpeng Maut” ini termasuk hiburan warga Jawa Timur sebelum tidur malam.

Meski dikemas dalam konsep guyonan khas Suroboyoan, ada peringatan (warning) serius yang ingin disampaikan. Sangat mungkin, saat Kartolo cs rekaman kaset cerita ludruk “Tumpeng Maut” itu, mereka belum mengenal istilah tindak pidana pencucian uang. Para pendengarnya mungkin juga tidak menduga kalau cerita itu ternyata tidak sekadar buat lucu-lucuan.

Seperti halnya “Tumpeng Maut”, penyisipan pesan, nasihat ataupun peringatan melalui parikan ataupun jalannya lelakon ludruk juga ada pada judul-judul lainnya. Sebutlah Genthong Mengkurep, Kuro Kandas, Welut Ndas Ireng, dan banyak lagi. Semuanya disampaikan dengan cara sederhana yang dibalut kejenakaan.

Penggunaan ludruk sebagai media hiburan sekaligus penyampai pesan sejatinya bukan hal baru. Jauh sebelum Cak Kartolo mulai membuat parikan dan kemudian membentuk grup bersama Ning Tini, Cak Munawar (alm), Cak Sapari (alm), Cak Sokran (alm) dan Cak Basman (alm), kesenian ludruk bahkan sudah dijadikan sarana perlawanan terhadap penjajahan bangsa lain.

Di zaman penjajahan yang menutup ruang berdemokrasi, mengkritik pihak berkuasa ibarat ngidam pati. Pada masa tanpa freedom of speech, keberanian bersuara berarti kesiapan untuk dibuang, dipenjarakan atau bahkan dimatikan.

Suasana seperti itu bukannya tidak dipahami oleh seniman seperti Gondo Durasim. Tetapi buatnya, panggung bukan sekadar area pertunjukan. Panggung adalah tempatnya menjadikan seni sebagai media untuk menyuarakan keresahan banyak orang.

Tentu ada risiko di balik keberaniannya. Gara-gara kandang burung dara, dia akhirnya kehilangan nyawa. Dia dilenyapkan karena pesannya dianggap membahayakan.

Kelugasannya mengkritik kekuasaan imperialis sangat jelas teruntai dalam parikannya yang melegenda, “Pegupon omahe doro. Melok Nippon urip tambah soro.” (Pegupon kandangnya burung dara, ikut Jepang hidup semakin sengsara). Parikan ini disampaikan agar bangsa Indonesia tidak terlena dengan propaganda Jepang bernama 3A yaitu Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Cahaya Asia. Gak bahaya ta?

Awalnya Jepang memang tidak tahu makna parikan Cak Durasim. Namun seiring waktu, Jepang akhirnya tahu bahwa kidungan Cak Durasim “menyerang” Jepang dan dianggap membahayakan. Saat pentas di Mojorejo, Jombang, Cak Durasim ditangkap dan mendapat penyiksaan oleh tentara Jepang. Tanggal 7 Agustus 1944 sang seniman besar itupun meninggal.

Seiring pergantian waktu dan generasi, seniman-seniman ludruk itu berpulang satu persatu. Cepat atau lambat, pentas ludruk pasti akan ditinggalkan juga oleh maestro-maestro yang kini usianya sudah tidak muda lagi. Bila itu terjadi, siapa penerusnya?

Tak bisa dipungkiri, tidaklah mudah mengikuti jejak mereka yang tidak sekadar menghibur demi mendapat uang recehan. Figur seperti Cak Durasim ataupun Cak Kartolo adalah seniman cerdas yang memiliki kemampuan “membaca” gejala-gejala sosial di sekitarnya. Mereka juga memiliki keberanian bersuara. Tanpa kecerdasan dan keberanian, ludruk hanyalah sebuah pertunjukan yang hampa dari nilai-nilai kebaikan.

Kabar baiknya, Cak Kartolo bersama Ning Tini, istrinya, masih berkenan tampil ludrukan bersama seniman-seniman muda, termasuk putrinya sendiri. Selain memenuhi undangan manggung dari berbagai pihak, mereka mencoba untuk menunjukkan bahwa seni ludruk masih belum habis dengan membuat pementasan yang diunggah ke kanal YouTubenya. Tentu ini menjadi angin segar agar ludruk terus eksis dan merepresentasikan identitas arek-arek Surabaya yang berani dan cerdas seperti cerita Tumpeng Maut dan parikan pagupon omahe dara.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini