Dongeng Emak (Reak, Riak dan Nostalgia)

Dongeng Emak (Reak, Riak dan Nostalgia)
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023#PekanKebudayaanNasional2023#IndonesiaMelumbunguntukmelambung


Sore itu seorang anak kecil dengan pakaian lusuh berwarna kuning tengah menangis, meraung-raung, memutari seluruh rumahnya yang sempit dan sedikit kumuh. Ia menarik kain batik milik Emaknya yang sudah tak jelas berwarna apa, entah coklat, biru atau bahkan kuning. Anak itu melempar keras sebuah angklung tua dengan perasaan kesal. Ia hendak menangis lagi tapi urung saat emak meninggalkannya seorang diri. Padahal ia hanya ingin meminta ponsel seperti teman-teman sebayanya dan orang-orang tua di kampung ini.

Ia tak suka dijejali dengan angklung, topeng tua yang butut atau bahkan peralatan yang ia tak tahu namanya. Dan emak tak pernah bosan menceritakan hal yang sama berulang kali, hingga ia hafal diluar kepalanya yang kecil. Seolah sedang meracuni si anak yang bebal sebab tak mau mendengar.

Emak berbicara tentang satu nama dan itu ia ulang saat mereka akan tidur atau bahkan saat ia menangis meminta mainan. Reak adalah yang sering kali emak ceritakan, kadang mata emak akan berembun, kadang menyipit marah, sebuah kesenian khas masyarakat Cianjur yang memperpadukan kesenian reog, angklung, kendang pencak, dan topeng. Konon, kesenian ini lahir sekitar abad ke-12 yang dibawa pedagang Sumedang saat bermukim di Cianjur, reak bukan hanya sekedar hiburan, ia memiliki peran penting dalam menyiarkan agama Islam pada kala itu. Memberi sebuah petuah yang tak menggurui dalam seni visual yang realistis. Tapi kepala kecilnya menolak segala alibi emak tentang seni, katanya reak lahir sebab cinta sama seperti dirinya ada di dunia.

Memang apa hubungannya? Anak itu tak mengenal reak, ia tak berkawan dengan reak yang sering dibangga-banggakan emaknya. Tapi emak yang kukuh akan terus bercerita banyak hal, tentang reak yang akan di mainkan saat ada acara khitanan, emak bilang anak-anak yang sudah dikhitan akan melupakan rasa sakitnya saat melihat reak ditampilkan. Tapi jelas anak itu tak mau peduli, umurnya belum lima tahun dan belum juga di khitan jadi menurutnya emak hanya memberikan alasan saja agar ia tak meminta dibelikan ponsel.

Satu waktu emaknya mengajari bermain angklung, atau memaksanya memakai topeng butut itu sambil memintanya bergoyang, dan itu terjadi bahkan hingga ia masuk sekolah.

Teman-temannya punya ponsel dan tertawa, sedangkan ia hanya diam dibangku tanpa kemana-mana. Pernah sekali ia meminta, tapi emak akan marah-marah, katanya untuk apa menonton orang joget-joget dengan baju belum selesai dijahit, emak bilang untuk apa tertawa pada tontonan yang tak memberikan pengajaran apapun. Hanya menonton mereka yang bertengkar atau sedang memamerkan harta kekayaan, bukan sebuah tayangan yang bagus apalagi untuk anak-anak dengan keadaan serba kekurangan.

Kata Emak jauh sebelum manusia mengenal peradaban baru dimana setiap orang berlomba-lomba menjadi seperti boneka, memotretnya, kemudian mengunggahnya di setiap media sosial, tak sedikit dari mereka bahkan menceritakan kebohongan dan keburukan orang lain. Dimana rasa malu sudah tak lagi ditemukan.

Dulu, orang tak akan menolak untuk melihat pertunjukan seni, dulu mereka dengan suka rela merawat tradisi, menggemari pada setiap seni yang menjunjung tinggi pekerti, menyulamnya hingga bisa terus dinikmati. Tapi, kini mereka atau kita semua bahkan melupakan banyak tradisi, menghilangkan segala seni yang sengaja leluhur wariskan agar tetap ada, nyatanya kesenian itu bahkan punah ditangan pewarisnya sendiri.

Di bumi Pasundan, negeri dimana lahirnya para dewi, sudah banyak sekali kesenian yang terpaksa mundur lalu lenyap dimakan waktu. Berapa banyak kesenian yang kini hanya tinggal namanya saja? Lebih menyebalkan lagi saat generasi baru tak tahu menahu tentang segala seni dan tradisi miliknya sendiri. Mereka lebih menggemari budaya orang lain yang jauh dari nilai leluhur, memisahkan diri dari seni yang sesungguhnya mengajarkan banyak arti.

Reak adalah satu dari sekian banyak kesenian yang dipaksa mundur dan tergantikan sebab dunia digital yang menggurita, menggantikan peran sebagai sarana hiburan untuk anak-anak, reak bahkan tak dikenali ditempat ia dilahirkan. Kesenian yang mungkin hanya beberapa saja yang mengenalinya. Sebagian besar mereka memilih mengikuti peradaban baru yang terlihat lebih menyenangkan, sebagian lagi mungkin tak ingin peduli.

Hingga bertahun-tahun lalu anak itu tahu bila reak bukan hanya sekedar kesenian untuk emak, reak adalah getaran yang membawa emak pada nostalgia. Reak membawa emak mengenal bapak atau mungkin wanita diluar sana yang juga jatuh cinta sebab seni dan pemerannya, emak bilang kala itu pertujukan seni menjadi tempat mencari pendamping hidup, bukan melalui ponsel dan tertipu visual kemudian, ada banyak dongeng tentang kehidupan dan kemanusiaan dalam seni yang kini kehilangan peminatnya.

Kemudian waktu membawa emak pada anaknya yang pembangkang, bebal dan tak suka diberitahu persis seperti generasi baru yang merasa kuno atau kadangkala malu akan budayanya sendiri. Reak menjadi satu-satunya hal yang dapat emak kenang tentang bapak yang sudah mati bahkan saat anaknya belum melihat bumi. Reak menjadi bukti bila bukan hanya keseniannya yang hilang, seni itu membawa serta orang-orang didalamnya untuk lenyap bersama-sama.

Sama seperti bapak yang mencintai reak hingga akhir usia, maka emak akan mengenang bapak sekaligus reak hingga tubuhnya tua dan renta. Bertahun-tahun tak membuat kenangan itu hilang sekalipun emak melupakan kenangan tentang anaknya yang selalu ada.

Dan terkadang seni akan tetap hidup untuk waktu yang lama didalam pikiran serta hati orang-orang yang mencintainya tak peduli seberapa jauh dunia membawanya pergi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini