Hingar Bingar Rambu Solo, Saat Suku Toraja Antar Arwah ke Puya

Hingar Bingar Rambu Solo, Saat Suku Toraja Antar Arwah ke Puya
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Bagi orang Toraja, kematian tak selamanya harus dianggap sebagai kedukaan dan rasa pilu tiada akhir. Kematian justru menjadi cara mereka untuk bisa kembali ke tempat kelahiran yang konon diyakini berasal di langit sana.

Puya. Tempat tujuan abadi setelah kematian yang dipercayai oleh orang Toraja.

Istilah Toraja sendiri berasal dari bahasa Bugis bermakna to riaja atau orang-orang yang berdiam di negeri atas, seperti dilansir Wikipedia. Sebagai salah satu suku tertua di Indonesia, suku Toraja memegang erat kepercayaan animisme mereka yang disebut sebagai Aluk To Dolo. Ajaran luhur Aluk To Dolo ini menyebutkan kalau moyang Toraja adalah manusia langit yang dibuat langsung oleh Puang Matua (Sang Dewa Pencipta) dari bahan emas murni.

Dan untuk bisa mencapai puya atau yang mungkin oleh masyarakat awam seperti kita disebut sebagai akhirat maupun surga, jiwa-jiwa orang Toraja ini akan menunggangi arwah tedong (kerbau) yang mereka sembelih dalam ritual Rambu Solo.

Ya, sebuah ritual untuk si almarhum yang digelar dengan penuh hiruk-pikuk.

Memanggil semua sanak keluarga untuk berkumpul di tongkonan dalam sebuah upacara yang bisa berlangsung selama berhari-hari dan menelan dana miliaran rupiah. Sebuah perayaan kematian turun-temurun yang membuktikan betapa luhurnya budaya Toraja selama ratusan tahun lamanya.

Rambu Solo, Pesta Serba Hitam dengan Kerbau Serba Mahal

Rambu Solo mendiang Damaris Pasa
info gambar

Menempuh perjalanan darat semalaman dari Makassar, aku akhirnya tiba di Rantepao, ibukota Toraja Utara pada Oktober 2021 silam. Di tempat inilah aku akan menghadiri rangkaian Rambu Solo untuk mendiang Damaris Pasa.

Ya, rangkaian Rambu Solo.

Disebut demikian karena ritual kematian agung suku Toraja ini membutuhkan waktu selama tiga sampai tujuh hari lamanya. Bahkan itu tidak menghitung dari hari si almarhum/almarhumah meninggal dunia.

Tahapan ini sendiri dimulai dengan ma’dio yakni memandikan jenazah oleh keluarga terdekat. Kemudian tubuh mayat akan disuntik menggunakan formalin supaya tak mengeluarkan bau busuk. Mayat itu biasanya diletakkan di sebuah kamar utama pada tongkonan (rumah adat Toraja. Sebelum Rambu Solo digelar, keluarga mendiang akan memperlakukan jenazah itu selayaknya orang sakit yakni tetap disediakan makanan dan minuman.

Tahapan berikutnya adalah pertemuan keluarga besar atau sirampun. Dalam sirampun, akan dibahas perihal ahli waris sekaligus tingkat upacara rambu Solo termasuk tempat pelaksanaan, waktu hingga hewan yang disediakan yaitu tedong dan babi. Hal ini sangatlah penting karena semakin tinggi kasta sosial mendiang, mempengaruhi jumlah dan jenis tedong yang bakal digunakan.

Tak heran saat aku singgah di Pasar Bolu Rantepao, setidaknya ada 10 jenis tedong yang tersedia dengan harga sangat beragam. Mulai dari tedong saleko, bonga, boko’, balian, pudu’, todi’, tekken langi’, sokko, sambao’, hingga bulan. Kasta tertinggi untuk tedong-tedong itu adalah jenis saleko dengan ciri khas warna dasar putih dan belang hitam. Memiliki bola mata putih dan tanduk berwarna kuning gading, harga seekor tedong saleko bisa mencapai satu miliar rupiah, seperti dilansir Tribunnews.

Tedong-tedong di Pasar Bolu Rantepao
info gambar

Jika sirampun sudah beres, rangkaian persiapan Rambu Solo berikutnya adalah melantang yakni persiapan pembuatan lantang (pondok-pondok) di sekitar tongkonan. Ditutup dengan ma’pasadia pengkarangan, keluarga mendiang artinya sudah siap untuk melangsungkan Rambu Solo karena seluruh peralatan yang dibutuhkan siap untuk dipakai, termasuk keberadaan tau-tau (patung orang meninggal) bagi mereka dengan kasta sosial tinggi.

Rambu Solo akan dimulai dengan ma’pasurruk yakni mengarak tedong sebanyak tiga kali di sekitar lokasi perayaan. Berturut-turut setelah itu adalah mangriu’ yakni menarik batu simbuang ke lapangan upacara untuk mengikat tedong. Dalam kegiatan mangriu’, ada puluhan hingga ratusan orang yang terlibat. Baru setelah itu batu simbuang akan ditanam di tengah-tengah lapangan sehingga disebut sebagai menhir dalam kegiatan mesimbuang.

Tedong bonga di Rambu Solo Damaris Pasa
info gambar

Tidak semua keluarga Toraja yang menggelar Rambu Solo bisa melakukan mesimbuang karena ritual ini membutuhkan penyembelihan 24 ekor kerbau. Setelah gelaran ini selesai, berganti pada ma’pasa tedong di mana kerbau-kerbau akan dikumpulkan. Rangkaian puncak pertama Rambu Solo ini ditutup dengan ma’pellao alang saat jenazah dipindahkan dari tongkonan tempatnya disemayamkan sebelumnya ke lumbung selama tiga hari, seperti dilansir Berakhir Pekan.

Dalam Rambu Solo mendiang Damaris Pasa yang kuhadiri, aku tiba saat ma’pasa tedong dimulai.

Prinsip Orang Toraja: Hidup Untuk Mati, Mati Untuk Hidup

Ritual Ma'badong saat Rambu Solo | Foto: Ade Lukmanul Hakim/Shutterstock
info gambar

Puncak kedua upacara Rambu Solo dibuka dengan ma’pasonglo yakni memindahkan jenazah dari lumbung ke rante (lapangan) disertai penyembelihan tedong langsung di lehernya. Ciri khas lain dalam ma’pasonglo adalah saat kain merah berukuran sangat panjang dibentangkan oleh pihak keluarga. Setelah ma’pasonglo usai, dimulailah prosesi penerimaan tamu alias allo katongkonan.

Menurutku di sinilah Rambu Solo menjadi sangat menarik karena ada banyak ritual adat seperti sambutan tari ma’randing, ma’badong, pa’marakka’, gora-gora tongkon dan ma’lambuk pare. Khusus untuk ma’badong, suasana sakral benar-benar terasa karena itu merupakan tarian tanpa iringan musik di mana para penari yang seluruhnya laki-laki akan mendendangkan kidung pujian kepada mendiang.

Di sinilah nilai spiritual, nilai sosial hingga hubungan antar kelompok suku Toraja terasa begitu kental termasuk penghormatan kepada leluhur.

Jika seluruh upacara seni Rambu Solo sudah dilangsungkan, maka tahapan berikutnya adalah pemotongan tedong dan babi sesuai kesepakatan keluarga lewat ma’tinggoro tedong. Barulah kemudian ritual agung ini akan ditutup dengan makaburu’ yakni menguburkan mayat. Berbeda dengan lazimnya pemakaman di pulau Jawa yang kutahu, kuburan orang Toraja mayoritas tidak disemayamkan di tanah tetapi di liang-liang batu seperti di lo'ko mata Batutumonga atau gua batu Londa maupun di Desa Kete Kesu.

Makam batu lo'ko mata Batutumonga
info gambar

“Ada alasan kenapa Rambu Solo tidak bisa dilangsungkan cepat. Karena setiap perayaan di Toraja terutama upacara kematian harus dibicarakan dalam konteks keluarga dengan waktu cukup lama. Rambu Solo adalah persembahan dari yang hidup untuk mereka yang meninggal. Sedangkan mereka yang meninggal juga sejatinya tak mau menghabiskan tanah karena itu warisan untuk yang masih hidup. Untuk itulah kebanyakan orang Toraja tidak dikubur di dalam tanah,” jelas Daud Pangarunan, salah satu perwakilan keluarga mendiang Damaris Pasa.

Aku terdiam mendengarnya.

Toraja memang layak disebut sebagai tanah magis. Tempat di mana kematian mengajarkan makna mendalam soal kehidupan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

AJ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini