Jemparingan, Olahraga Panahan Khas Keraton Yogyakarta

Jemparingan, Olahraga Panahan Khas Keraton Yogyakarta
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Tak heran bila hanya sedikit masyarakat Indonesia di luar Jawa Tengah yang mengetahui Jemparingan, olahraga panahan khas Yogyakarta yang telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram.

Berbeda dengan olahraga panahan pada umumnya yang dilakukan dengan berdiri, Jemparingan dilakukan dengan duduk bersila. Mari mengenal lebih lanjut olahraga khas nan berwibawa ini.

Latar Belakang Jemparingan

Telah ada sejak Kerajaan Mataram, Jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta diperkenalkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, raja pertama Yogyakarta yang dikenal sebagai Pengeran Mangkubumi sekaligus pendiri Keraton Yogyakarta. Beliau mendorong pengikutnya (masyarakat Yogyakarta) untuk mempelajari Jemparingan sebagai bentuk penerapan watak kesatria.

Watak kesatria adalah empat nilai acuan yang dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi rakyatnya, yakni: sawiji (konsentrasi), greget (semangat), sengguh (rasa percaya diri), dan ora mingkuh (bertanggung jawab).

Semula hanya permainan di kalangan keluarga kerajaan dan dijadikan sebagai perlombaan di kalangan prajurit, Jemparingan makin dikenal dan dimainkan oleh kalangan rakyat biasa seiiring berjalannya waktu.

Filosofi dan Peralatan Jemparingan

Berasal dari kata jemparing yang berarti 'anak panah', Jemparingan memiliki busur yang disebut gandewadan sasaran silinder menggantung yang disebut wong-wongan atau bandulan.

Bandulan silinder, biasa memiliki panjang kurang lebih 30 cm dengan diameter 3-5 cm, diberi warna secara horizontal untuk menggambarkan bagian tubuh orang yang sedang berdiri. Sekitar 5 cm bagian paling atas diberi warna merah untuk melambangkan sirah (kepala).

Di bawahnya diberi warna kuning atau jingga setebal 1 cm untuk melambangkan jangga (leher). Sisa bagian silinder diberi warna putih untuk melambangkan awak yang berarti 'badan' dalam bahasa Jawa.

Sebagai pelengkap, sebuah bola kecil diikat di bawah sasaran dengan seutas tali dan pemanah yang mengenai bola ini akan mendapat pengurangan poin. Tak lupa, lonceng diikat pada bagian atas sasaran untuk menandakan bila sasaran berhasil terpanah.

Selain harus duduk bersila, pemanah Jemparingan juga tidak membidik dengan mata karena busur diposisikan secara horizontal di hadapan perut. Ditambah dengan tiupan angin dan ayunan tali, Jemparingan tergolong sebagai olahraga yang membutuhkan konsentrasi tinggi.

Gaya memanah yang tidak biasa ini dikaitkan dengan filosofi Mataram, pamenthanging gandewa pamenthanging cipta. Menurut Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, filosofi ini berarti 'membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik'. Frasa ini memiliki pesan agar manusia berkonsentrasi dan berjuang sepenuh hati agar cita-citanya dapat terwujud.

Jemparingan di Era Modern: Perkembangan dan Kekhawatiran

Meskipun kerap kali diliput dan diberitakan melalui media, olahraga Jemparingan tidak jauh didengar oleh masyarakat luar Jawa. Pada era masa dimana generasi Millennials dan generasi Z pada puncak keemasan ini, kekhawatiran mulai muncul bilamana tidak ada lagi anak muda yang menaruh perhatian pada Jemparingan.

Beberapa bulan belakangan, kekhawatiran ini mulai hilang saat muncul beberapa video yang memperkenalkan Jemparingan lewat sosial media. Banyak anak muda mulai tertarik dengan gaya berpakaian lawas (zaman dahulu) dan membuat konten saat melakukan Jemparingan.

Kawan muda yang membaca ini tidak perlu khawatir apabila ingin mencoba Jemparingan. Seiring berjalannya waktu dan untuk memudahkan pemula, Jemparingan mulai mengadaptasi gaya memanah pada umumnya (busur dekat dada dan bidikan dengan mata).

Jemparingan dapat ditemukan hampir di berbagai sudut daerah Yogyakarta dan Surakarta dengan kisaran biaya yang terjangkau. Setiap hari Selasa sore, Jemparingan rutin diadakan di lingkungan Keraton Yogyakarta, tepatnya di Plataran Kamandungan Kidul, sebelah Alun-Alun Selatan.

Bagi kalian yang tinggal di daerah Jabodetabek dan ingin merasakan cara bermain Jemparingan, dapat langsung datang ke Jemparingan Tangsel, salah satu klub panahan daerah Tangerang Selatan.

Seperti ada pepatah Jawa mengatakan, jaman iku owah gingsir (zaman itu dinamis dan akan selalu berubah). Meskipun zaman akan selalu berkembang dan berubah, jangan sampai kebudayaan Indonesia meluntur. Yuk, bermain Jemparingan!

Referensi Utama:

https://www.kratonjogja.id/kagungan-dalem/14-jemparingan-gaya-mataram/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini