Mata Air Oeluan di Timor Tengah Utara: Wahana Relasi Kultural dalam Represi Pembangunan

Mata Air Oeluan di Timor Tengah Utara:  Wahana Relasi Kultural dalam Represi Pembangunan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023

#PekanKebudayaanNasional2023

#IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Sejak awal peradaban manusia di muka bumi, air merupakan episentrum kehidupan. Tak ayal, seorang filsuf era Yunani klasik, Thales (620-546 SM) mengonstatir air sebagai sebab musabab kehidupan. Suatu kawasan akan menjadi habitat hidup terbaik bila memiliki persediaan air yang baik. Pengunggulan terhadap air ini telah memeberi kesan istimewa bagi orang Latin dalam sebuah diktum, in aqua sanitas yang berati di dalam air ada kesehatan.

Mata air yang berlimpah ialah berkat sebaliknya air bah berdampak bencana. Dalam merenungkan kehidupan dari logika air ini memberikan kesan bahwasanya air adalah ikhtiar alamiah antara kebahagiaan dan dukacita. Keadaan kontras demikian bisa segera menjadi nyata ketika memaknai arti mata air dan air mata.

Berkat mata air menjadi bagian integral dalam kehidupan harian masyarakat adat Oeluan. Keterikatan masyarakat secara ekologis dan emosional telah berlangsung sejak zaman nenek moyang. Dari permenungan masyarakat adat Oeluan di Desa Bijeli memercayai bahwasanya hutan sebagai nenek moyang atau leluhur mereka. Kepercayaan yang sudah berurat akar tersebut koheren dengan makna etimologis, Oe’luan yang berarti Air dari Nenek Luan (Konon didedikasikan untuk nama seorang nenek di dekat mata air yang tidak pernah kering tersebut).

Kebeadaan mata air Oeluan mendukung tumbuh subur pepohonan di sekitar. Oleh karena itu, Desa Bijeli diberkahi kekayaan alam khas yaitu hutan, dengan mata air Oeluan berlokasi persis di dalamnya. Relasi kultural masyarakat adat Oeluan terbentuk sejak kehidupan para leluhur yang mengultuskan sumber mata air di dalam hutan sebagai simbol kesakralan

Adapaun secara struktur penguasaan hutan untuk kepentingan merayakan ritual-ritual adat, terdapat dua suku, yaitu Fernandes dan Radrigis. Konon kehadiran kedua suku tersebut di mata air Oeluan akan mengundang para penunggu di situ untuk menampilkan diri dalam rupa ular besar, belut, dan lain sebagainya.

Binatang-binatang yang disimbolkan sebagai penjaga hutan merupakan wujud nyata dari para leluhur ketika berkomunikasi. Olehnya, ritual biasanya dilakukan sebagai sarana komunikasi dengan tujuan yaitu syukur, permohonan, hingga tolak bala apabila ada masalah. Bentuk nyata ritual dilakukan pada saat menyongong musim tanam hingga pasca-panen.

Penguatan Pembangunan Meredupkan Tradisi

Kehidupan harian masyarakat Oeluan dengan tradisinya meredup seiring ide penguasaan hutan untuk produksi pariwisata berikut nilai tambahnya. Pembanguanan ekowisata Hutan Oeluan telah memisahkan masyarakat adat dengan alam sebagai suatu elemen kehidupan yang holistik.

Pembangunan yang salah ini menyebabkan desakralisasi martabat masyarakat adat. Masyarakat adat kehilangan sarana simboliknya yaitu mata air sebagai media menjalin hubungan yang baik dengan para leluhur. Tindakan eksploitasi isi hutan akhirnya mendisfungsikan hutan terhadap proses alami kehidupan.

Penantian dialog oleh masyarakat adat dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak kunjung terealisasi. Malah proses pengresmian hutan ekowisata Oeluan tertanggal 28 Mei 2021 dilakukan secara sepihak dan terkesan diam-diam. Kenyataan ini menyisakan ketidakadilan sebab bagaimana mungkin negara yang lantang meneriakan jargon keadilan sosial disaat yang sama malah melenyapkan ruang hidup dan budaya masyarakat setempat.

Adapun di dalam kawasan ekowisata Hutan Oeluan terdapat; 7 unit rumah pohon, 2 kolam pemandian buatan, 1 unit flying fox, 2 aula serbaguna untuk pertemuan, 2 wahana sepeda gantung, 6 lapak pariwisata, spot-spot foto, dan lintasan sepeda. Sedangkan rata-rata pengunjung ekowisata Hutan Oeluan per tanggal 1 Januari 2022 mencapai 20-100 orang. Walhasil dari data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Timor Tengah Utara di atas menunjukan bahwasanya kebijakan pembangunan dan pengembangan ekowisata Hutan Oeluan oleh pemerintah berbanding lurus dengan masalah deforestasi dan desakralisasi.

Relasi kultural dengan leluhur sekejap mata beralih menjadi relasi antagonis dengan pemerintah karena upaya reifikasi komoditas hutan untuk laku di pasar pariwisata. Problem pun bermunculan yaitu rumah pohon yang dibangun dengan paku yang menembus batang pohon, dan penebangan dahan-dahan pohon yang dianggap tidak sesuai dengan aristektur perancangan pariwisata. Walakin yang paling krusial ialah pembangunan pemandian buatan dengan mengalihkan aliran sumber mata air Oeluan pun menyebabkan 57 hektar sawah beralih fungsi menjadi kebun.

Rekonstruksi Kebijakan, Rekonsiliasi Kultural

Tema penyadaran dan pembebebasan dari kebijakan pembangunan yang sepihak dan hegemonik ialah melalui pemulihan terhadap kesadaran masyarakat adat yang terbelenggu, mulai dari keluarga untuk mewujudkan kesadaran krits-kultural. Kesadaran kritis-kultural menjadi pelopor untuk membongkar selubung pembangunan ideologis yang merepresi masyarakat adat Oeluan.

Di era primadona pembangunan, masyarakat yang tersegregasi telah kehilangan kearifan kultural dan rasa kebersamaan. Hal tersebut diasosiasikan dengan kaburnya solidaritas, kewajiban sosial, tradisi, dan etis-religius yang telah sedang dihidupi. Melalui opsi term kebijakan yang emansipatoris dan partisipatif-kultural mampu mempromosikan inklusivitas dan melestarikan institusi yang berdiri di antara individu dan negara: keluarga; kaum muda; lembaga agama; kelompok kultural; lingkungan; komunitas, etc.

Lebih lanjut rekonsiliasi kultural ialah mengembalikan masyarakat adat dimana orang-orangnya melalui kolektivitas sosial difasilitasi untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Masyarakat adat menjadi masyarakat yang mengetahui dirinya sendiri dan menggunakan pengetahuan itu untuk mengubah dirinya dan ruang publik agar lebih mampu mentransformasi dirinya sesuai dengan nilai-nilai kulturalnya sendiri tanpa teralienasi pembangunan.

Situasi ini pada akhrinya menghantar kita untuk bermenung dan berdialog dengan pikiran dari seorang metafisikus keseharian dari Meßkirch, Jerman, Martin Heidegger (1889-1976) bahwasannya di dalam hidup eksitensial ini ialah kebersamaan dalam mengalami alam dan budaya. Manusia berjalan, bertumbuh, dan terlibat (sorge) seiring dengan budaya, bukan merusak lingkungan dengan dalih pembangunan. Keterlibatan manusia dengan budaya inilah yang kita bisa anggap sebagai suatu cara eksitensial agar manusia tidak teralienasi menjadi manusia biadab (homo brutalis) dalam represi rezim pembangunan dan pertumbuhan di aras republik ini.

Sumber Bacaan:

Aspinal, Edward dan Berenschot, Ward. Democracy for Sale .Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020.

Ataupah Hendrik. Ekologi dan Masyarakat: Kajian dan Refleksi Atoin Meto di Timor Barat, NTT. Surabaya: CV Sejahtera Mandiri Teknik Indonesia, 2020.

Dako, F. X., Purwanto, R. H., Faida, L. R. W., & Sumardi, S. Firewood and Carpentry Wood Contribution to the Communities of Mutis Timau Protected Forest, Timor Island. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 24(3), 166-166. 2018. https://doi.org/10.7226/jtfm.24.3.166

Dunn, Willian N. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003.

Ekora NTT.com. (2020) https://ekorantt.com/2020/02/12/ancaman-rumah-pohon-di-hutan-oeluan/

Hanum, Fauziah, dkk. “Strategi Pengembangan Potensi Ekowisata di Desa Malatisuka,” JUMPA Vol 8 No 1 (Juli 2021).

Kartodihardjo, Hariadi. “Defisit Modal Sosial dalam Food Estate,” Kompas, 17 Februari 2023.

Kellner, Douglas. The New Left and The 1960s. Canada: Routledge, 2005.

Keraf A Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. 2006

Murray Li, Tania. The Will to Improve. Tanggerang: Marjin Kiri, 2021.

Parsons, Wayne. Public Policy. Jakarta: Kencana, 2005.

Poespowardojo, Soerjanto dan Seran, Alexander. Diskursus Teori-Teori Kritis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2021.

Rahayu, Ruth. “Praxis Gerakan Feminis di Indonesia: Dinamika Aksi Politik dan Produksi Pengetahuan,” Jurnal Perempuan Vol 27, No. 2 (Agustus 2022).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

EK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini