Munajat dan Merawat Seni Rudat Karangasem, Bali

Munajat dan Merawat Seni Rudat Karangasem, Bali
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Pada Mulanya Seni Bela Diri

Sejak saya kecil hingga tamat SD tinggal di Bali, tidak asing melihat seni Rudat yang tumbuh di kampung-kampung Islam. Salah satunya seni Rudat di Kampung Kecicang Islam Karangasem mempunyai sejarah yang panjang dan hingga saat ini masih eksis. Seni rudat merupakan hasil akulturasi antara budaya Islam Lombok dengan Timur Tengah yang menampilkan gerakan tari seperti baris-berbaris dengan diiringi lantunan syair Islam dan shalawat yang menyampaikan pesan moral untuk semua warga agar tetap menjaga kerukunan dan toleransi.

Seni Rudat di Kampung Kecicang Islam dibentuk sekitar tahun 1950-an karena peraang orang-orang Lombok. Sementara, sejarah kedatangan orang-orang Islam Lombok peran Kerajaan Karangasem, yakni Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem dan I Gusti Gde Karangasem (1801-1806) yang membawa orang-orang Lombok ke Karangsem, kemudian dijadikan sebagai prajurit dan diberikan tempat tinggal di sekitar kerajaan (Agung, 2001). Kedatangan orang-orang Islam Lombok ke Karangasem, sekaligus menandai masuknya Islam di Karangasem pada tahun 1806 (Agung, 1980, hlm. 41) termasuk di Kampung Kecicang Islam. Muslim Lombok yang tinggal di sekitar kerajaan menjalin hubungan dengan masyarakat Karangasem yang mayoritas beragama Hindu, sehingga membentuk sebuah kehidupan yang harmonis penuh toleransi antara masyarakat Islam dan Hindu. Hubungan yang harmonis ini ditunjukkan dengan diterimanya seni Rudat tampil dalam kegiatan atau upacara umat Hindu terutama di Puri Agung Karangasem.

Seni Rudat salah satu khazanah kebudayaan dari Kampung Kecicang Islam yang sudah diwariskan oleh para sesepuh terdahulu yang pertama kalinya dibentuk sekitar tahun 1950-an. Tuan Ali bin Sanad yang berasal dari Timur Tengah adalah tokoh pendiri Rudat bersama tokoh masyarakat Kampung Kecicang Islam. Tuan Ali Bin Sanad menciptakan lagu atau syair Rudat berbahasa Arab dan awalnya hanya gunakan pada acara-acara hari besar Islam. Pada dasarnya Rudat ialah gerakan pencak silat yang diperagakan oleh orang-orang Islam Lombok dan dipadukan oleh Tuan Ali bin Sanad dengan syiar Islam dan shalawatan kemudian dituangkan ke dalam bentuk seni pertunjukan atau tarian. Berpadunya dua unsur budaya yang berbeda dan membentuk budaya baru dapat disebut akulturasi, sehingga jenis seni Rudat bisa disebut seni akulturasi (Soedarsono, 2011, hlm. 237). Gerakan silat sebagai dasar seni Rudat merupakan sebagai simbol pertahanan atau bela diri, baik secara kekuatan fisik maupun ketahanan budaya di tengah-tengah budaya mayoritas Hindu.

Bentuk dan Tampilan Seni Rudat

Seni Rudat mempunyai gaya tarian yang berbeda dengan seni pertunjukan lainnya, karena tarian yang terdapat dalam Rudat menggunakan gerakan silat dan beberapa gerakan yang menunjukkan makna untuk menjaga pertahanan atau membela diri yang berbentuk sebuah seni tari. Walaupun gerakan silat yang digunakan oleh seni Rudat mirip dengan daerah lain, tetapi di setiap daerah memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing.

Dari segi penampilan Rudat Kampung Kecicang Islam dari zaman ke zaman mengalami perubahan, salah satunya perubahan pada segi busana dan aksesoris Rudat, seperti baju, celana, selempang, dan pet (topi). Awal dibentuknya Rudat oleh Tuan Ali, berseragam dan selempangnya masih sederhana, sementara pet menggunakan peci ala Turki dan seragam yang digunakan sekitar tahun 1950-an sampai 1970. Setelah tahun tahun 1970-an mulai menggunakan seragam lebih baik dan berbahan kain bludru yang sederhana, belum menggunakan perhiasan atau pernak-pernik. Kemudian, seiring perkembangan zaman, tepatnya tahun 1987-an dari seragam dan selempang sudah mulai ada perubahan dengan penambahan sedikit hiasan walaupun masih terlihat sederhana. Perkembangan dengan pemakaian kostum ala prajurit atau militer dan pemimpinnya membawa pedang sehingga menjadi ciri khas dan hingga sekarang masih tetap digunakan.

Pada generasi sekitar tahun 1990-an sampai sekarang, mulai mengalami perubahan dengan menyesuaikan zaman, tetapi masih model yang sama dari segi seragam, selempang, dan pet. Pada tahun 1990-an mulai banyak pembaharuan dengan penambahan emblem, seperti bintang dan pernak-pernik kelihatan rancak dan modern. Sekitar tahun 2005, bagian selempang juga ditaburi dengan hiasan yang mewah ditambah pernak-perniknya yang bervariasi.

Pada tahun tahun 1970-1990-an di bagian pet ditambahi hiasan/pin logo pohon beringin yang menandakan bahwa Rudat dari Kecicang Islam yang mendukung pemerintah saat itu. Sejak era Reformasi sampai saat ini, lambang pada pet yang digunakan diganti dengan simbol burung garuda yang menunjukkan sikap netral dan mendukung NKRI.

Sebagai Sarana Syiar Islam dan Hiburan

Kata Rudat merupakan berasal dari kata bahasa Arab, yaitu Raudhatun, artinya taman atau sebuah keindahan. Keindahan yang tercermin dalam seni Rudat, tidak hanya gerakan-gerakannya dan busananya, tetapi juga syair-syair yang dilantunkannya. Seni Rudat yang mempertemukan dua budaya yang bernafaskan Islam, yakni Rudat juga diiringi dengan shalawat khas Islam dengan menggunakan bahasa Arab dan Melayu (Indonesia).

Pada awalnya kedatangan Tuan Ali bin Sanad sebenarnya bertujuan untuk mensyiarkan agama Islam di Karangasem. Hal ini untuk melakukan dakwah di Bali khususnya Karangasem, karena pada saat itu masyarakat mayoritas masih memeluk agama Hindu, tetapi ketika menyampaikan dakwah, masyarakat dulu sangat menyukai dengan adanya seni tari sebagai hiburan. Rudat saat itu seni hiburan yang digemari oleh masyarakat masyarakat Kecicang Islam maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, Rudat digunakan sebagai sarana syiar Islam melalui lantuan syair-syair Islami dan sholawatan.

Seni Rudat dari Kampung Kecicang Islam dalam perkembangannya menerima tawaran untuk tampil dalam berbagai acara, tidak hanya untuk mempertahankan tradisi secara turun-temurun tampil dalam acara di Puri Agung Karangaasem, tetapi juga tampil dalam acara hari-hari nasional, hari-hari besar Islam, hajatan orang Islam atau orang Hindu di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar Kampung Kecicang Islam Karangasem.

Hari Esok Seni Rudat

Keunikan dan kekhasan seni Rudat di Kampung Kecicang Islam, Karangasem, selain ditujukan sebagai bagian syiar agama Islam, juga berfungsi untuk memeriahkan kegiatan dan menjaga kekeluargaan sehingga menumbuhkan moderasi beragama. Keberadaan Rudat yang sudah lama dibentuk, tentunya masyarakat Kecicang Islam bertanggung jawab untuk melestarikan dan menjaga budaya yang telah turun-temurun agar terhindar dari kepunahan. Selain itu, daya dukung dari pemerintah, dari tingkat desa hingga tingkat Kabupaten Karangasem karena melalui kebijakannya dalam pelestarian tradisi seni khususnya seni Rudat Kampung Kecicang Islam dan bantuan finansial melalui “dana desa” cukup membantu dalam pengembangannya.

Kepedulian generasi muda termasuk saya sangat penting dalam mendukung keberadaan seni Rudat sebagai aset kebudayaan yang mempunyai nilai historis dan estetika dari warisan leluhur. Dengan dukungan semua pemangku kepentingan ini, tidak hanya sebagai munajat seperti yang dilantunkan para panari rudat, tetapi juga turut merawat eksistensi seni Rudat. Dengan kesempatan untuk terus dapat tampil di ruang publik ini, sehingga seni Rudat Kampung Kecicang Islam juga semakin dikenal oleh masyarakat luas dan berdampak atas kelestarian seni rudat itu sendiri.

Referensi

Agung, A.A.G.P. (2001). Peralihan sistem birokrasi dari tradisional ke kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Agung, A.A.G.P. (1980). “Awal Mula Islam di Karangasem,” dalam Tim Peneliti. 1979-1980. Sejarah Masuknya Islam di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia Propinsi Bali.

Heriyawati, Y. (2016). Seni pertunjukan dan ritual. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Rochmaniyah, N. (2020). Perkembangan seni pertunjukan rodat di kampung Islam Kepaon, desa Pemogan, Denpasar Selatan, Denpasar 1980-2018, skripsi belum diterbitkan. Denpasar: Universitas Udayana.

Soedarsono, R.M. (2011). Seni pertunjukan dari perspektif politik, sosial, dan ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumarja, I M. dkk. (2016). Sejarah masuknya Islam dan perkembangan pemukiman Islam di desa Kecicang Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Yogyakarta: Kepel Press

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini