Perlumbungan Kerja Kolektif Sumbar di Festival Pusako

Perlumbungan Kerja Kolektif Sumbar di Festival Pusako
info gambar utama

16.552 pengunjung Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 memenuhi Fabriek Blok Padang pada 11-15 Oktober 2023. Gedung bekas pabrik seng seluas 1,3 hektare itu disulap oleh tim Festival Pusako menjadi ruang temu antarkhalayak. Setiap sudut ruang diaktivasi dan dirajut dengan semangat bertumbuh bersama.

Sekitar 500-an orang dari 70 lebih komunitas terlibat aktif pada festival ini. Mereka adalah jangkar yang merangkul jejaringnya untuk bertaut pada peristiwa kolektif Festival Pusako. Capaian itu wujud nyata kerja kolektif di Sumatera Barat (Sumbar).

Mahatma Muhammad, Direktur Artistik Festival Pusako menyebut gelaran ini merupakan ruang temu para pewaris pusako untuk merawat, mengembangkan dan memperkaya nilai-nilai warisan budaya bersama.

Festival ini bagian dari kuratorial nasional Handoko Hendroyono tentang ‘Gerakan Kalcer, Jenama Berdaya’ di PKN 2023. PKN adalah ajang tahunan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan merupakan resolusi dari Kongres Kebudayaan 2018.

PKN 2023 bertema “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan” merupakan manifestasi dari konsep lumbung dan praktik gotong-royong di Indonesia. Kerja perlumbungan menekankan pada pengelolaan bersama, kolaborasi, partisipasi masyarakat dan keberlanjutannya.

Lumbung merupa penyimpanan hasil pertanian, seringkali ditemukan berbentuk rumah panggung dan berdinding anyaman bambu. Dalam masyarakat agraris seperti Indonesia, lumbung memegang peranan sangat penting: perwujudan praktik menanam bersama yang hasilnya disimpan dan digunakan setiap kali dibutuhkan. Sehingga perlumbungan tak lagi dilihat bentuknya, tapi lebih pada fungsi keberlanjutannya.

Tidak heran jika Menteri Dikbudristek Nadiem Makarim pada pembukaan PKN 2023 menegaskan, “Kita mewarisi gagasan lumbung padi dan gotong royong sebagai satu bangsa yang besar dan terus bersatu di tengah keragaman budaya dan tradisi serta perkembangan zaman.”

Praktik perlumbungan di Sumbar sangat beragam. Pada masyarakat Minangkabau dikenal rangkiang yang berfungsimenyimpan hasil panen untuk berbagai kebutuhan. Bangunan ini menyerupai miniatur rumah adat tradisional masyarakat Minangkabau yaitu rumah gadang. Rangkiang biasanya terletak di depan rumah gadang.

Turu Lagai Mentawai
info gambar

Di Mentawai, perlumbungan dikenal dengan nama Tinungglu, yakni kebun campur yang berisi berbagai tanaman termasuk bahan pangan. Tinungglu biasanya terletak tidak jauh dari Uma, rumah adat tradisional masyarakat Mentawai. Etnik lainnya di Sumbar pun memiliki praktik perlumbungan beragam yang secara umum dimaknai sebagai bentuk kerja kolektif, solidaritas, dan keberlanjutan.

Aksi Perlumbungan Festival Pusako

Perlumbungan dalam Festival Pusako tak sekadar berbentuk benda, tetapi pengetahuan dari pengalaman yang berkelanjutan. Kata pusako berasal dari bahasa Minang artinya pusaka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “pusaka” berarti warisan.

Maka, pusako dalam festival ini adalah warisan nilai-nilai dari kekayaan ekspresi lisan dan seni tradisi yang beragam di bumi Sumbar. Nilai tersebut yang melandasi setiap karya penampilan maupun instalasi.

festival pusako
info gambar

Pertunjukan seni kolaborasi multietnik, musik tradisi dan eksperimen, pameran foto, kelas masak, diskusi serta bedah film, instalasi seni rupa, art therapy, pameran karya seni rupa, mural, ruang arsip 3 dimensi Warisan Budaya Tak Benda Ombilin Sawahlunto (WTBOS), lapak baca, workshop seni rupa, demo memasak, gerai jenama berdaya, konser musik, dongeng ventrilokuis, dan lainnya menjadi sajian ragam potensi kreatif dan seni budaya dalam Festival Pusako.

Kerja kolaborasi antarkomunitas menjadi praktik berbagi pengetahuan dan pengalaman satu dengan yang lain. Rayen, komponis musik eksperimental yang berkolaborasi dengan Omkara untuk karya The Power of Dulang sekaligus mengisi musik pendamping untuk penampilan barongsai dan turu Mentawai.

“Ini kali pertama saya berkolaborasi dengan musik juga tarian tradisi. Awalnya saya punya kekhawatiran saat latihan, apakah nanti tidak cocok atau yang lainnya. Namun ternyata semua bisa didialogkan. Kita bisa berkolaborasi tanpa menghilangkan ciri dari masing-masing penampil. Proses ini memberi pengetahuan baru bagi saya tentang barongsai dan turu Mentawai,” papar Rayen.

pameran foto kuliner India
info gambar

Hanita Anwar, instruktur kelas masak Kuliner India-Padang menyebutkan bahwa ini kali pertama keluarga besar Muhammadan diundang memperkenalkan makanan tradisi mereka. Tak hanya itu, narasi perjumpaan dan kekariban India-Padang pun muncul dalam pameran foto essay “Gastronomi dan Kalcer”. Masyarakat India telah mendiami kota Padang sejak abad ke-18. “Kami senang sekali bisa dilibatkan sejauh ini. Sebab kami bagian dari kebudayaan Sumatera Barat,” ungkap Hanita.

Masyarakat Tionghoa-Padang mendapat ruang yang juga lebih luang. Mereka dalam festival berlaku sebagai kurator, foto dan narasi ragam kulinernya dipamerkan, membuka gerai jenama, hingga menampilkan atraksi barongsai. Pertautan antara penyelenggara, penampil, dan pengunjung menjadi proses belajar dan bekerja bersama. Mereka ‘mengalami’ perjumpaan untuk merayakan dan mengenang peristiwa bersama. Festival ini sejatinya ruang pergumulan autobiografi dari setiap orang untuk menemukan dirinya sebagai pewaris pusako.

Dalam ruang itu setiap orang dari ragam usia, etnis, komunitas, pelaku dan pegiat budaya, praktisi, akademisi dan lainnya merayakan perjumpaan serta proses belajar dan bekerja bersama.

Hal yang menarik dan menjadi kesadaran bersama, betapa perjumpaan pada peristiwa ini mampu melahirkan insiatif baru dan bentuk-bentuk kolaborasi setelahnya: proses perlumbungan panen dan bagi.

Tak pelak, Festival Pusako memproduksi bunga rampai berjudul: Ruang Temu yang berisikan profil dan tulisan gagasan karya dari penyelenggara maupun partisipan. Buku ini merupakan bentuk apresiasi, pengetahuan, dan upaya untuk merawat memori kolektif bagi generasi selanjutnya.

Pergelaran ini, bahkan, mendorong perkembangan ekonomi kreatif. Ada 10 gerai jenama berisi produk kerajinan seni yang merupakan olahan hasil alam. Banyak di antara mereka jualannya ‘laris manis’.

“Penjualan meningkat drastis. Kami harus tutup lebih cepat dari jadwal karena semua produk terjual,” kata Alvon, owner jenama Limbah Alam yang memproduksi gelang etnik dari sisa tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian.

Mahatma Muhammad, Direktur Artistik Festival Pusako menyebutkan, ”Kami berupaya menentang hilang pusako dek pancarian; kerja bersama sebagai wujud warih nan bajawek, pusako nan ditolong,” tegas Mahatma. Ia menolak untuk mengabaikan pewarisan budaya beserta nilai-nilainya. Setiap pewaris berkewajiban memelihara dan memperkaya harta pusakanya.

“Tim Festival Pusako menyepakati seluruh aset yang didapat selama pergelaran dihibahkan menjadi aset kolektif Sumbar. Kami menunjuk 2 orang sebagai penanggung jawab aset. Ke depan, aset ini dikelola secara kolektif dan dipinjamkan secara cuma-cuma untuk mendukung kegiatan-kegiatan komunitas di Sumbar, “ sambung Mahatma.

Hasil perlumbungan Festival Pusako dalam rangkaian PKN 2023 sangatlah kaya dan dirayakan bersama melalui partisipasi dan interaksi bermakna kelompok multietnik; mencipta pengetahuan kerja kolaborasi lintas etnik, bidang seni, serta disiplin ilmu lainnya; serta produk pengetahuan berupa bunga rampai dan perkakas festival yang dihibahkan menjadi aset kolektif.

Hasil perlumbungan ini pun berkelanjutan dan diharapkan mampu berkontribusi dalam memajukan kebudayan Indonesia, khususnya Sumbar.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini