Sajian Makna Antropologis dan Nilai Altruistik Ngabuburit

Sajian Makna Antropologis dan Nilai Altruistik Ngabuburit
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Ramadan adalah momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Inilah bulan yang meminta umat jeda dari aktivitas makan-minum sepanjang kurang lebih 12 jam untuk masuk ke dalam ruang reflektif yang lebih personal dan mendalam.

Di Indonesia, selain terkait dengan religi, tema puasa juga berkaitan dengan sosial ekonomi, norma dan nilai komunal, juga kultural. Sejarah membuktikan bahwa Islam di Nusantara memang mempunyai daya elastisitas luar biasa untuk mampu menyiarkan dakwah positif bagi masyarakat majemuk ini. Hal ini dibuktikan dengan akulturasi budaya lokal dan Islam dalam berbagai aspek diantaranya arsitektur, tata kehidupan hingga ritus-ritus komunal dalam tradisi masyarakat.

Banyak bentuk budaya, perilaku keagamaan serta tradisi lokal yang ikut menjadi bagian ornamental bulan Ramadan. Oleh umat muslim Nusantara, selain sebagai ekspresi komunal, kearifan lokal tersebut menjadi medium berbagi nilai positif di bulan suci ini.

Seturut logika Jean Baudillard (2001), kreativitas simbolis budaya lokal tersebut termodifikasi serta teramu sedemikian rupa dengan nilai-nilai religiusitas sehingga menjadi ornamen penting selama bulan puasa. Salah satunya adalah ngabuburit, sebuah aktivitas tak rutin sebagai kebiasaan atau tradisi yang tak bisa dilepaskan dari bulan Ramadan.

Berbagai macam hal dilakukan orang ketika ngabuburit. Bagi orang-orang yang tinggal di kota, ngabuburit dilakukan dengan jalan-jalan ke taman atau ruang publik lainnya bersama kerabat keluarga atau teman, untuk sekedar menghabiskan waktu sambil menunggu adzan Maghrib. Sebagian orang mengisi waktu dengan berolahraga, membaca, berbelanja hingga persiapan buka bersama di gerai makanan, restoran atau mal.

Tidak jauh berbeda, ngabuburit di desa juga dilakukan warga untuk berjalan-jalan, berburu takjil atau berkeliling daerah untuk menanti adzan Maghrib. Orang-orang, tua-muda, lelaki-perempuan kadang berkumpul di ruang terbuka yang ada, seperti lapangan, taman atau balai desa untuk sekedar ngobrol atau bermain.

Makna Nilai

Darinya, kita bisa menarik makna nilai-nilai yang terkandung dalam fakta budaya tersebut. Pertama, nilai-nilai dakwah dan syiar Islam yang dibalut dengan kreativitas akulturasi budaya. Konteks waktu pelaksanaan ngabuburit yaitu pergantian waktu siang ke malam dalam menanti adzan maghrib menjadi semacam pengingat antara urusan duniawi yang dilakukan manusia pada siang harinya dengan refleksi religius ketika waktu berganti menjadi sholat maghrib, saat untuk menyembah Tuhan. Maghrib menjadi salah satu waktu yang penting dalam konteks ibadah agama Islam.

Kedua, nilai-nilai silaturahmi yang produktif dan maslahah. Pertemuan orang-orang dalam ngabuburit, baik yang kenal maupun tidak, menjadi pergaulan sehat dan bermakna dalam konteks religi dan kultural. Semua orang bertaut dalam ikatan yang sama sebagai orang Islam yang berpuasa dan menanti adzan maghrib, penanda buka puasa tiba. Inilah nilai simbolis representatif hablu minallah, hablu minannas, vertikal-horisontal, maupun mikro dan makrokosmos dalam kehidupan umat Islam khususnya.

Hal ini sangat mungkin melahirkan nilai ketiga, yakni nilai ekonomi kreatif masyarakat. Ngabuburit, yang biasanya juga menggerakkan masyarakat untuk menyediakan menu takjil/berbuka puasa bagi para pejalan, merupakan perwujudan fenomena mikro dari pemberdayaan ekonomi yang bersubstansi budaya dan kemanusiaan.

Ngabuburit bisa dibaca sebagai manifestasi konsep ideologis dari perayaan tradisi dalam bentuk pasar rakyat yang serba murah-meriah, serta kental nuansa keakraban dan kebersamaaan. Ngabuburit adalah fiesta yang memberi kontribusi positif kepada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi rakyat dalam konteks kultural religius.

Dalam konteks ini, seturut Ghufron (2019), makanan (food) tak lagi jadi pembatas identitas yang membedakan kelas sosial. Makanan yang disajikan dalam takjil menjadi ruang spiritualisasi yang dibangun atas dasar humanisme. Modalitas sosial ini menegaskan bahwa dengan cara ini, umat Islam ingin berbagi kesenangan dan kebahagiaan sekaligus ”ngalap berkah puasa” dalam suasana yang egaliter dengan dilandasi kesadaran empatik. Cara ini sekaligus menjadi peneguhan identitas kemusliman seseorang yang terpanggil untuk memanfaatkan puasa Ramadhan sebagai bulan berbagi.

Terlebih dalam masyarakat komoditas penuh persaingan seperti saat ini, seturut Idy Subandi (2021), kata ’berbagi’ dimaknai berbeda oleh setiap orang. Bagi sebagian orang, berbagi mungkin dianggap sebagai kehilangan sesuatu. Tetapi, bagi yang lain sebagai kenikmatan batin. Puasa mengubah persepsi kita mengenai kerja keras dan hasil, juga memperluas persepsi kita mengenai makna menjadi bahagia di dunia. Bahwa hanya orang yang bahagialah yang bisa membahagiakan orang lain. Bahwa apa yang dibagikan kepada orang yang membutuhkan dari hasil kerja keras itulah sesungguhnya kekayaan sejati.

Secara sosiologis, ngabuburit menjadi cara dan pendekatan yang dilakukan umat Islam dalam mengekspresikan kepercayaan spiritualnya (faith), sebagai “ruang bersama” yang menjadi penanda ada perjalinan yang saling bersimetri dalam pergaulan ataupun interaksi sosial keberagamannya. Umat dari berbagai agama dan tradisi bisa bertemu dan melebur rasa sentimen atas berbagai latar belakang sosial, ekonomi, aliran politik hingga agama seperti yang selama ini diamplifikasi melalui politik identitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ngabuburit menjadi bentuk relasi dan penguatan kohesi sosial dalam wujud kegiatan yang mengajarkan umat Islam sikap altruistik, peduli sesama.

Manusia di era ini memang mesti mengembangkan a humanistic sensibility untuk menumbuhkan sentimen empati, seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati ini menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang ”merasa” (sentient), yang saat ini boleh jadi tergerus pola pikir rasional-instrumental ataupun pandangan keagamaan yang dangkal (Steven Pinker dalam Nashir. 2022).

Dengannya, puasa bertransformasi sebagai energi rohaniah yang otentik untuk pencerahan spiritual umat dan bangsa. Apalagi di tengah kehidupan bersama yang sering kali terjadi paradoks, baik dalam praktik kehidupan beragama maupun di ranah publik, kita membutuhkan kehadiran spiritualitas luhur keagamaan. Puasa diharapkan melahirkan pribadi yang lebih religius, beradab, dan berkualitas dalam kehidupan berdimensi sosial dan berketuhanan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OL
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini