Sejarah Wayang Timplong

Sejarah Wayang Timplong
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Cerita mengenai Prasasti Anjuk Ladang dan asal-usul Wayang Timplong di Kabupaten Nganjuk adalah potongan sejarah yang menarik. Prasasti Anjuk Ladang menjadi bukti penting dalam mengungkapkan hubungan antara sejarah, budaya, dan seni di Nganjuk.

Prasasti Anjuk Ladang di Situs Candi Lor adalah sebuah catatan sejarah yang memberikan informasi tentang peristiwa penting di daerah Nganjuk, Jawa Timur. Prasasti ini mencatat peristiwa pada tahun 937 M ketika Raja Mataram-Hindu bernama Mpu Sindok memberikan ucapan terima kasih kepada rakyat Desa Anjuk Ladang.

Ucapan terima kasih diberikan karena rakyat Desa Anjuk Ladang kala itu, telah membantu menghadapi serangan pasukan Kerajaan Sriwijaya. Sebagai penghargaan, Mpu Sindok memberikan hadiah berupa tugu kemenangan dan sima, yang merupakan status desa bebas pajak atau daerah perdikan. Hadiah ini diberikan pada 10 April 937 M dalam kalender Masehi. Tanggal ini kemudian dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Nganjuk.

Dalam bidang seni budaya, Nganjuk juga memiliki warisan seni rakyat yang kaya. Beberapa kesenian rakyat yang pernah tumbuh subur dan digandrungi oleh warga Nganjuk termasuk Jaranan Pogog, Tayub, dan Wayang Timplong. Wayang Timplong adalah bagian dari ritual dan seni pertunjukan yang memiliki akar sejarah khusus.

Menurut penelitian Anjar Mukti Wibowo dan Prisqa Putra Ardany dalam karyanya yang berjudul "Sejarah Kesenian Wayang Timplong Kabupaten Nganjuk" (2013), Wayang Timplong pertama kali diciptakan sekitar tahun 1910 oleh Mbah Bancol. Mbah Bancol memilih untuk membuat wayang dari kayu pohon waru, mentaos atau pinus yang dibuat pipih.

Dalam pertunjukan Wayang Timplong, sang dalang biasanya memainkan kisah-kisah panji dan babad seperti Babat Kediri, Anjuk Ladang, Panji Asmoro Bangun, Panji Laras, Damarwulan, dan banyak lainnya. Seperti seni wayang lainnya, Wayang Timplong juga berfungsi sebagai alat menyampaikan nilai-nilai sosial dan budaya kepada masyarakat melalui cerita-cerita yang dipertunjukkan.

Kesenian Wayang Timplong identik dengan Mbah Bancol, sebagai pencipta sekaligus dalang pertama. Beliau memainkan peran kunci dalam melestarikan dan mewariskan seni ini kepada generasi berikutnya. Berikut adalah tahapan dan proses pewarisan yang terjadi dalam seni Wayang Timplong:

  1. Mbah Bancol

Pencipta sekaligus dalang pertama Wayang Timplong. Mbah Bancol adalah seorang pendatang dari Grobogan, Jawa Tengah. Ia menetap di Desa Jetis, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk. Mbah Bancol menciptakan Wayang Timplong karena terinspirasi oleh Wayang Krucil dan keinginannya untuk menciptakan sesuatu yang berbeda.

  1. Darto Dono

Kemampuan mendalang Wayang Timplong yang dimiliki oleh Mbah Bancol kemudian diwariskan kepada Darto Dono.

  1. Ki Karto Jiwul

Darto Dono selanjutnya mewariskan keahliannya kepada putranya, Ki Karto Jiwul.

  1. Ki Tawar

Ki Karto Jiwul selanjutnya mewariskan seni mendalang Wayang Timplong kepada Ki Tawar. Selanjutnya regenerasi dari Ki Maelan hingga Ki Djikan bukan lagi berdasarkan garis keturunan, karena mereka adalah pemain gamelan yang dilibatkan oleh Ki Tawar.

Perubahan pola pewarisan Wayang Timplong menunjukkan perubahan dalam proses pewarisan seni.

Jika awalnya pewarisan dilakukan berdasarkan garis keturunan, seiring berjalannya waktu, banyak dalang Wayang Timplong muncul di luar Desa Jetis dan bergabung dalam kesenian ini. Pewarisan tidak lagi terbatas pada keluarga, sehingga seni ini dapat dilestarikan oleh berbagai individu dari berbagai daerah di Kabupaten Nganjuk.

Musik iringan pertunjukan Wayang Timplong awalnya sederhana, terdiri dari instrumen seperti gambang, ketuk kenong, kempul, dan kendang, menghasilkan suara yang didominasi oleh bunyi "Plong, plong, plong." Oleh karena itu, seni ini dinamai Wayang Timplong. Namun, seiring berjalannya waktu, alat musik ini digantikan oleh sebuah set gamelan yang terdiri dari Gambang, gendhang, kenong, dan Gong.

Selain itu, pada tahun 2000, ada penambahan seorang sinden dalam pertunjukan Wayang Timplong untuk mengakomodasi perubahan zaman dan memungkinkan kesenian ini bertahan di tengah gempuran kesenian modern. Selain sebagai hiburan, Wayang Timplong juga mulai memiliki peran sebagai kesenian ritual.

Keberhasilan pelestarian Wayang Timplong juga bergantung pada partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah. Seni ini tetap aktif dan dipertunjukkan dalam berbagai acara, seperti perayaan bersih desa, ruwatan, dan acara-acara lainnya di Kabupaten Nganjuk. Seni Wayang Timplong juga pernah berhasil mempromosikan diri ke daerah lain, seperti Surabaya dan Kediri, untuk mewakili pertukaran seni tradisional.

Perubahan dalam alat musik, penambahan sinden, dan peran seni sebagai hiburan dan ritual merupakan adaptasi penting untuk memastikan kesenian Wayang Timplong tetap relevan dan hidup di tengah perkembangan zaman. Dengan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah, seni ini dapat terus berkembang. Pada akhirnya dapat melestarikan kekayaan budaya tradisional Kabupaten Nganjuk.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini