Upaya Ngaben Kolektif untuk Hindari Warga Bali dari Jeratan Utang

Upaya Ngaben Kolektif untuk Hindari Warga Bali dari Jeratan Utang
info gambar utama

Ritual ngaben merupakan hal yang penting bagi masyarakat Bali. Walau ritual itu cukup mahal bagi sebagian masyarakat, tak mengurungkan niat untuk melestarikan. Tidak terkecuali dengan berutang.

Wayan Artawan, lelaki dari Desa Pujungan hendak melakukan ngaben perseorangan bagi tiga keluarganya. Dirinya ketika itu menyiapkan dana sekitar Rp50 juta (tahun 2002) untuk melakukan ritual itu.

Aksi Gede Andika, Tokoh Penggerak Edukasi Bahasa dan Lingkungan dari Bali

Wayang enggan ikut ngaben kolektif bersama keluarganya yang lain. Padahal dirinya hanya mengeluarkan dana tidak lebih dari Rp3 juta. Wayan Artawan sendiri mengakui ada unsur gengsi di situ.

“Pernah keluarga saya terpaksa menjual sawah 1 hektare untuk bisa mengabenkan orang tua,” tuturnya yang dimuat Tempo.

Ngaben kolektif

Tetapi tidak semua warga Bali memaksakan gengsinya. I Wayan Surenta cukup gembira bisa ikut mengabenkan sanak saudaranya yang telah jadi almarhum. Dirinya yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek bersyukur ada ngaben kolektif.

Bersama keluarganya, dia mengabenkan bibi, kakek, adik, nenek, paman yang meninggal dalam jangka lima tahun. Tiap jenazah yang dingaben dikenai biaya sebesar Rp900 ribu. Jadi, keluarganya membayar Rp4,5 juta.

Sama halnya dengan Nengah yang merasa bersyukur dengan adanya ngaben kolektif. Sebab dengan urunan bersama, dia hanya membayar Rp250 ribu. Bahkan bila keluarganya banyak, boleh jadi ada yang tak usah bayar.

Pantai Muntig Siokan Sidakarya, Pantai Cantik di Dekat Pusat Kota Bali

Hal ini memang cukup membantu pasalnya di Desa Pujungan saja, angka kematian relatif tinggi. Dikatakan oleh Kepala Desa I Gde Rimayasa, hampir 100 orang mati selama tiga tahun belakangan.

Karena itulah, rencananya dua tahun sekali desa akan mengadakan ngaben bersama seperti ini. Desa juga siap membantu mereka yang dianggap tidak mampu. Semua biaya ditanggung oleh desa.

Ada yang berutang

Memang semurah-murahnya beban ngaben, bagi beberapa orang kecil tentu masih terasa berat. Terutama yang tidak punya sanak saudara. I Gde Nesa ini tidak punya saudara kandung lagi.

Dirinya sehari-hari adalah penggarap tanah kebun kopi. Mencangkul dari pukul 7 pagi sampai 5 sore, upahnya cuma Rp20 ribu. Itu pun tak bisa diterima setiap hari karena kadang tiga minggu tak dapat pekerjaan.

Namun, dirinya tetap harus melakukan ritual ngaben. Padahal untuk melakukan ritual itu, I Gde Nesa harus mengeluarkan uang Rp900 ribu plus kebutuhan upacara yang bisa mencapai Rp1 juta.

Program TOSS Kabupaten Klungkung Jadi Role Model Pengelolaan Sampah di Berbagai Negara

“Saya malu dengan tetangga kalau tidak mengabenkan orang tua saya. Makannya, saya mengutang kemana-mana,” tuturnya.

Namun dirinya yakin dapat melunasi utang itu. Ketulusannya membuatnya tak mau mengabenkan orang tuanya dengan dibiayai desa. Karena itulah ada yang mengingatkan jangan mendefinisikan ngaben bersama ini dengan nama ngaben ngirit.

“Sebab konotasinya ini ngaben miskin. Tak ada perbedaan antara ngaben yang mewah dan yang sederhana,” kata I Gde Samba, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini