Membangun Sekolah untuk Masa Depan Joki Cilik di Pacuan Kuda Sumbawa

Membangun Sekolah untuk Masa Depan Joki Cilik di Pacuan Kuda Sumbawa
info gambar utama

Tradisi pacuan kuda tradisional di Sumbawa menjadikan anak lelaki sebagai joki. Lazimnya mereka berasal dari keluarga petani atau peternak. Memiliki anak joki adalah kebanggaan besar bagi para orang tuanya.

Orang tua berharap anak-anaknya yang bisa memenangi pacuan dapat memperbaiki ekonomi keluarga. Masalahnya, joki sering tidak bersekolah. Lokasi arena pacuan yang berpindah-pindah dan waktu pacuan yang panjang membuat mereka sering membolos.

Dalam setahun setidaknya ada empat pacuan kuda, masing-masing waktu minimal tujuh hari. Ini belum termasuk jadwal pertandingan tak tetap. Karena itu banyak joki cilik yang ketinggalan pelajaran, tak naik kelas, bahkan putus sekolah.

Laga Kuda Joki Cilik di Dataran Tinggi Gayo

Karena itu tercetuslah ide mendatangkan guru bagi para joki cilik. Yossy Dwi Eliana, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) menyebut konsep homeschooling ini diterapkan agar lebih dekat dengan komunitas.

Dirinya menyebut sejumlah guru yang memiliki murid joki cilik sempat menegur anak-anak yang selalu membolos. Tetapi orang tua murid terlihat santai dengan teguran itu, bahkan membiarkan anak-anaknya tetap jadi joki cilik.

“Tapi para orang tua menjawab tak mengapa anak tinggal kelas asalkan bisa ikut pacuan kuda,” kata Yossy yang dimuat Tempo.

Sempat dilarang

Homeschooling Joki Cilik Sumbawa berawal pada September 2013 dengan program perdana selama sepuluh hari. Selain para joki, saudara mereka yang masih di bawah umur dan anak pemelihara kuda bisa menjadi murid.

Pelajaran digelar di tenda-tenda dekat arena pacuan. Sekitar 60 anak berumur 5-12 tahun berkumpul di Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa. Di bawah tenda itu mereka belajar layaknya di sekolah.

“Kami belajar selama dua jam, sejak pukul 18.30 hingga 20.30,” kata Syafruddin, salah satu joki cilik.

Laga Kuda Joki Cilik di Dataran Tinggi Gayo

Tugas pengajar agar joki cilik ini bersekolah sebenarnya tak mudah. Para relawan perlu mendatangi tenda tempat pacuan dan menginap di sekitar arena lomba. Mereka juga meminta izin orang tua dan membujuk agar para joki mau bergabung ke kelas.

Sulitnya mendapat izin dari orang tua makin bertambah dengan minimnya jumlah joki yang mau masuk ke tenda belajar. Bagi mereka ajang pacuan kuda justru menjadi kesempatan untuk terbebas dari tugas-tugas sekolah.

“Kegiatan sekolah ini macam bersenang-senang saja, dan akan membuyarkan konsentrasi anak-anak kami saat berpacu,” kata Taufik.

Dapatkan manfaat

Black, salah seorang joki cilik awalnya tak mau mengikuti kegiatan sekolah di arena pacuan. Tetapi setelah mendapat penjelasan bahwa ada game yang akan dimainkan, barulah dia mau. Hal ini juga didukung oleh ayahnya, Taufik.

“Saya paling suka (acara) berkenalan dan bercerita tentang pribadi kami kepada teman sesama joki,” ujar Black.

Menurut Taufik, semenjak anaknya mengikuti sekolah khusus untuk para joki ini, bahasa dan sikap Black jadi lebih santun dan ceria. Setelah beberapa lama, dia setuju mendukung anaknya ikut homeschooling asalkan pelaksanaannya sore hari.

RI Bangun Pacuan Kuda Skala Internasional di Mandalika

Tim pengajar juga berupaya menyerap semua masukan demi murid-murid cilik ini. Setidaknya mereka bisa tetap belajar sehingga dapat mengatasi ketertinggalan pelajaran sewaktu mereka beradu di arena.

“Setelah mengetahui lokasi perlombaan, tim UTS akan mendirikan tenda dan mendatangi setiap orang tua joki untuk membujuk mereka mengirimkan anak-anak ke sekolah,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini