Kita Tidak Setegar Mereka

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Kita Tidak Setegar Mereka
info gambar utama

Penulis senior GNFI

Bagi siapapun terutama yang memiliki putra putri dan cucu–cucu tentu akan merasa teriris-iris hatinya, dan pilu yang tiada tara ketika melihat video wanita dan anak-anak kecil bahkan bayi di Gaza Palestina mati syahid karena dibunuh secara biadab tanpa pandang bulu oleh tentara Israel.

Saya juga secara fisik bisa ikut membayangkan penderitaan warga Gaza itu karena saya punya pengalaman pernah di opname di Rumah Sakit di Surabaya karena penyakit yang “life threatening” atau mengancam jiwa saya selama hampir dua bulan.

Saya pertama kali dimasukkan ke ruang ICU sendirian, tubuh saya hanya berbaring dan kedua tangan saya penuh dengan tusukan suntikan-suntikan, yang sebelah kiri dipasang selang untuk memasukkan obat-obat, sebelah kanan dipasang selang untuk memasang ampul tranfusi darah-total sekitar 40 ampul atau pack berturut-turut sejak saya masuk ICU itu.

Tubuh terasa sakit, lemah karena tidak bisa bergerak, tidak bisa buang air kecil atau besar dan keluarga dan handai taulan hanya melihat saya dari balik kaca.

Lalu saya membayangkan kalau dengan kondisi saya seperti itu saya berada di Rumah Sakit di Gaza Palestina dimana setiap detik mendengar dentuman bom-bom Israel, lalu tiba-tiba lampu mati, air tidak ada, makanan tidak ada, bahan bakarpun untuk operasional Rumah Sakit juga tidak ada, karena memang pemerintah dan tentara Israel menghentikan semua pasokan kebutuhan-kebutuhan dasar itu.

Ruangan ICU saya gelap gulita, alat-alat kedokteran yang berada di belakang tempat tidur saya untuk memonitor detak jantung, pernafasan dsb tidak berfungsi karena mati. Demikian pula banyak dokter dan perawat yang merawat saya gugur.

Bisa saya bayangkan bagaimana kondisi dan perasaan saya, tentu bisa diduga saya yang menderita penyakit yang mematikan, tentu akan mati. Naudzubillah, itu hanya gambaran bayangan saya tentang bagaimana kondisi saya di Rumah Sakit di Gaza.

Ada banyak video yang menayangkan beberapa orang di Eropa maupun Amerika Serikat masuk Islam karena melihat kondisi yang memilukan di Gaza itu, namun masyarakatnya meskipun sedih dan menangis akibat anggota keluarganya yang wafat–masih tetap bersykur dan melakukan sujud syukur karena keluarganya yang meninggal dunia itu meninggal dengan status syuhada, mati syahid.

Orang-orang barat itu membaca salah satu surat dalam Al-Quran dimana Allah berfirman bahwa orang-orang yang mati syahid itu tidak mati melainkan hidup disisi Allah. Seorang bapak setelah menangisi satu-satu putranya mati terkena bom Israel–sujud syukur kepada Allah karena sudah mengambil nyawa anaknya untuk berada di sisiNya. Orang-orang barat itu heran dengan ketegaran dan kekuatan warga Gaza itu.

Masyakat dunia juga terpana dengan jawaban yang menarik dari Dr. Hammam sepesialis penyakit dalam dan ginjal yang gugur tanggal 12 Nopember 2023 lalu karena rumahnya hancur setelah dibom Israel, dia gugur beserta ayahnya-ini tentang tanggung jawab seorang dokter tidak akan memikirkan dirinya sendiri tapi pasien-pasiennya.

Ketika Amy Goodman wartawan investigative Amerika Serikat terkemuka bertanya:“Organisasi Kesehatan Dunia berbicara tentang masalah ini memberitahu dokter untuk meninggalkan pasien mereka, memilih hidup Anda sendiri atas pasien Anda. Dapatkah Anda berbicara tentang pilihan itu, karena begitu banyak pasien tidak dapat pergi-misalnya, bayi dalam inkubator?”

Dr. Hammam menjawab: Anda pikir saya kuliah ke fakultas kedokteran dan untuk gelar pascasarjana saya selama total 14 tahun-hanya memikirkan hidup saya dan bukan pasien saya? Saya bertanya kepada Anda, Bu. Apakah Anda pikir ini adalah alasan saya pergi ke Fakultas kedokteran, untuk hanya memikirkan hidup saya? Ini bukan alasan mengapa saya menjadi dokter.”

Saya pribadi tidak bisa berkata apa-apa melihat ketegaran dan kekuatan iman almarhum Dr. Hammam dan warga Palestina di Gaza itu. Padahal menurut PBB setiap 10 menit ada anak dan bayi di Gaza yang meninggal, mereka mati syahid karena terkena bom, atau karena kelaparan, kehausan, tidak dapat pelayanan kesehatan di Rumah Sakit karena listrik mati dan bahan bakar tidak ada.

Ketika artikel ini saya tulis, berbagai media internasional melaporkan bahwa sudah 14.000 lebih warga gaza yang meninggal dunia, 40% nya adalah anak-anak termasuk bayi. Saya hanya merasakan kepedihan yang tiada tara ketika melihat jazad anak-anak dan bayi di Gaza itu, semuanya berwajah ganteng dan cantik, dengan mata yang lebar, bulu mata yang lentik mati secara mengenaskan.

Dan saya tidak setegar warga Gaza Palestina, karena iman saya tidak sekuat mereka.

Bantuan Pendidikan untuk Palestina

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini