Menyibak Misteri Kesakralan Kampung Mahmud

Menyibak Misteri Kesakralan Kampung Mahmud
info gambar utama

Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kampung adat yang sampai sekarang masih bertahan, misalnya Kampung Mahmud. Tulisan ini akan memaparkan sekilas tentang Kampung Mahmud berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat dan dilengkapi dengan referensi dari berbagai sumber.

Kampung Adat Mahmud terletak di RW 04 Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung. Pada mulanya, daerah kampung Mahmud berupa delta yang terletak di belokan sungai Citarum. Delta itu berwujud rawa yang labil dengan letak tanah lebih rendah dari daerah sekitarnya. Belokan Sungai Citarum itu kemudian diluruskan dengan cara membangun saluran sungai baru.

Kampung Adat Mahmud tidak bisa dipisahkan kisahnya dengan nama Syekh Abdul Manaf. Diceritakan bahwa Syekh Abdul Manaf inilah yang mendirikan kampung yang berada di dalam lingkaran Sungai Citarum yang tidak jauh dari Stadion Si Jalak Harupat tersebut. Tempat ini layak diulas untuk kita ketahui bersama kerana beberapa alasan.

Kampung Mahmud bernilai religi yang penting karena dipercara sebagai asal muasal berkembangnya agama Islam di Tanah Priangan. Makam Mahmud dewasa ini menjadi tempat wisata religius yang banyak dikunjungi oleh banyak orang, terutama kaum ulama dan santri. Tempat ini juga memiliki tradisi unik dan khas yang tidak dimiliki oleh daerah lain.

Berdasarkan catatan Wikipedia, jumlah penduduk Kampung Mahmud sekitar 1200 orang yang tinggal dalam 1 RW dan terbagi dalam 4 RT. Luas Kampung Mahmud sekitar 4 hektare. Kampung adat ini memiliki ciri khas dalam tata cara berkehidupan yang berpedoman pada agama Islam yang sangat kental.

Organisasi OSIS: Membentuk Pemimpin Masa Depan

Kampung Mahmud didirikan sekitar abad ke-15 oleh Syekh Abdul Manaf. Namun, masyarakat di Tatar Priangan lebih mengenalnya dengan Eyang Dalem Mahmud. Eyang Abdul Manaf masih memiliki garis keturunan dengan Syarif Hidayatullah dari Cirebon. Sang ulama ini diperkirakan hidup antara tahun 1650–1725.

Diceritakan bahwa Syekh Abdul Manaf adalah keturunan Kerajaan Mataram. Ketika pasukan Belanda menguasai wilayah Mataram, Syekh Abdul Manaf pergi dari kerajaan dan mencari persembunyian yang aman dari kejaran pasukan kolonial Belanda. Ditemani kedua muridnya yaitu Syekh Zaenal Arif dan Syekh Abdullah Gedug, berhasil menemukan tempat untuk berlindung.

Tempat itu berada di tepi sungai yang mengalir deras dan terdapat rawa-rawa. Di tempat ini, Syekh Abdul Manaf bertekat untuk berdakwah. Untuk itu, ia berkeinginan mendirikan Pesantren tempat penyiaran Islamnya. Sebelum keinginan itu terjadi, Syek Abdul Manaf melakukan ibadah Haji ke Mekkah.

Saat pulang dari ibadah haji, Syekh Abdul Manaf membawa segumpal tanah dari Mekkah. Lalu, ia menguburkan segumpal tanah itu di rawa-rawa tempat beliau tinggal. Di kemudian hari, rawa-rawa ini diurug dan menjadi sebuah kampung.

Kampung ini dinamai Kampung Mahmud karena berasal dari kata Mahmuddah dari bahasa Arab yang berarti akhlakul mahmudah atau akhlak yang mulia. Dan, Kampung Mahmud ini menjadi ‘Tanah Suci’ bagi umat muslim Priangan.

Di Kampung Mahmud ini Syekh Abdul Manaf menyebarkan ajaran agama Islam. Masyarakat sekitar sangat tertarik dengan caranya berdakwah. Sampai Syekh Abdul Manaf wafat, agama Islam terus berkembang. Bahkan, agama Islam berkembang cukup pesat di daerah ini yang kemudian meluas ke daerah sekitar. Kampung Mahmud bisa dikatakan menjadi pusat atau asal muasal berkembangnya agama Islam di Tanah Priangan.

Kampung Mahmud cukup terkenal. Selain karena sebagai asal perkembangan agama Islam, kampung ini memiliki tradisi yang unik terkait adat istiadat yang dijalankan. Aturan adat yang ditaati seperti tidak boleh membangun gedung (rumah bertembok semen).

Kenapa Skripsi menjadi Momok Menakutkan bagi Mahasiswa?

Rumah yang dibuat tidak boleh menggunakan kaca. Masyarakat tidak diperkenankan membuat sumur. Penduduk tidak diperbolehkan: menabuh bedug, membunyikan gong, memelihara angsa, memelihara kambing atau domba. Beberapa aturan itu harus ditaati dengan tujuan agar kampung ini aman dari serbuan kolonial Belanda. Mengingat saat itu banyak pejuang yang bersembunyi di Kampung Mahmud karena dikejar Belanda.

Selain mentaati aturan adat seperti di atas, warga Kampung Mahmud melakukan berbagai upacara yang berkaitan dengan tata kehidupan yang lain. Pada saat usia kehamilan tujuh bulan dilakukan acara “nujuh bulan” atau upacara “tingkeb”. Lalu upacara setelah kelahiran yaitu selamatan pemberian nama dan upacara “ngubur bali” (mengubur ari-ari atau tembuni).

Berikutnya upacara khitanan untuk anak laki-laki. Ada lagi upacara perkawinan lamaran, akad nikah, dan lain-lain. Jika terjadi kematian akan dilakukan tahlilan selama 7 hari berturut-turut. Masih berhubungan dengan kematian ada upacara tileman yaitu memperingati hari kematian seseorang. Upacara ini dimulai pada hari ketiga (tiluna), hari ketujuh (tujuhna), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (natus), hari keseribu (newu), dan mendak atau tepung taun.

Masyarakat Kampung Mahmud menjunjung nilai etika, keharmonisan, dan keselarasan dalam kehidupan sosialnya. Tata kehidupan yang dijalankan berpedoman pada ajaran agama Islam. Adat istiadat yang ada sejak dahulu di Kampung Mahmud itu masih dipelihara dan dijaga.

Masyarakat Kampung Mahmud mencintai dan menghormati karuhunya. Sebagai bukti kecintaan, penghargaan, dan penghormatan mereka adalah dengan mengikuti dan mematuhi apa yang telah digariskan oleh karuhunya.

Mereka juga memelihara makam Syekh Abdul Manaf dengan baik. Mereka yakin bahwa siapa saja yang berziarah ke makam Syekh Abdul Manaf akan mendapatkan banyak berkah. Oleh karena itu, pada hari besar umat Islam seperti hari Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri, dan bulan Rajab, makam ini selalu ramai diziarahi. Bahkan, peziarah banyak yang datang dari luar Kampung Mahmud.

Aturan adat Kampung Mahmud bertujun untuk menjaga kesakralan wilayah dan budaya yang telah dimilikinya. Misalnya saat berziarah ke Makam Mahmud ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua pengunjung. Ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal.

Tak Cuma Jadi Lalapan, Leunca Bisa Dimanfaatkan sebagai Alat Kontrasepsi

Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Berkaitan dengan hal tersebut Emawi (2009) menjelaskan bahwa secara substansi kearifan lokal dapat berupa aturan mengenai: kelembagaan dan sanksi sosial, ketentuan tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, serta bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya.

Adat-istiadat yang diwariskan karuhun harus tetap dipegang teguh dan dilajankan. Tata cara hidup mereka memiliki prinsip solideritas, kesederhanaan, dan kemandirian. Namun demikian, mereka terbuka terhadap dunia luar.

Keterbukaan masyarakat adat kampung Mahmud terhadap kemajuan teknologi dan globalisasi tentunya membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan tata nilai masyarakatnya. Globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini menjadi tantangan berat bagi masyarakat adat Kampung Mahmud dalam mempertahankan diri sebagai kampung adat dan kampung religi.

Sumber foto:

https://commons.wikimedia.org/w/index.php?search=kampung+mahmud&title=Special:MediaSearch&go=Go&type=image

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini