Prinsip Internasional dan Prinsip Kedaulatan Negara Dalam Menyikapi Pencari Suaka Rohingya

Prinsip Internasional dan Prinsip Kedaulatan Negara Dalam Menyikapi Pencari Suaka Rohingya
info gambar utama

Hukum pengungsi internasional membedakan antara pencari suaka dengan pengungsi internasional. Sebagaimana diatur pada Pasal 1 Konvensi Pengungsi Tahun 1951 yang memberikan definisi mengenai pengungsi internasional yaitu, “Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.”

Seseorang dapat dikatakan sebagai pengungsi internasional hanya jika ia telah mendapatkan status pengungsi dari negara pemberi suaka atau UNHCR sebagai subsidiary organ PBB di bidang pengungsi.

Sementara itu definisi mengenai pencari suaka belum diatur dalam instrumen hukum internasional. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa ketika seseorang atau sekelompok orang yang memasuki wilayah negara lain dan memohon kepada pemerintah negara yang bersangkutan untuk memberikan tempat perlindungan. Alasannya adalah karena alasan perikemanusiaan, agama, diskriminasi ras, perbedaan pandangan politik, dan lain sebagainya. Maka, si pemohon dapat disebut sebagai seorang pencari suaka.

Dalam kasus pencari suaka dari Rohingya yang belakangan ini baru saja tiba di Indonesia, hanya UNHCR yang dapat memberikan status sebagai pengungsi internasional. Hal tersebut dikarenakan Indonesia bukan peserta Konvensi Pengungsi Tahun 1951.

Prinsip Hukum Internasional Dalam Menyikapi Pencari Suaka

Prinsip Non-Refoulement

Pada Konvensi Pengungsi Tahun 1951, regulasi ini mengatur bahwa negara yang menjadi tujuan suaka dilarang mengusir atau mengembalikan dengan cara apa pun pengungsi ke perbatasan wilayah. Yang mana nyawa atau kebebasannya akan terancam oleh alasan ras, agama, kebangsaan, milik kelompok sosial tertentu, atau pendapat politiknya.

Prinsip Kedaulatan Negara

Indonesia sebagai negara yang berdaulat tentunya memiliki pertimbangan matang guna menyikapi pencari suaka dari Rohingya. Salah satu unsur dalam menyikapi pencari suaka dari Rohingya tersebut harus memperhatikan kepentingan nasional.

Dalam hal ini, Hikmahanto seorang pakar hukum internasional berpendapat bahwa “Tentunya Indonesia akan melaksanakan mandat Alinea IV Pembukaan UUD 1945, namun harus tetap memperhatikan kemampuan dari segi anggaran”.

Sejatinya pendekatan-pendekatan dengan menampung pengungsi tanpa adanya suatu pembatasan dengan tegas dapat memperluas masalah ini ke Indonesia. Selain itu Indonesia sebagai negara yang bukan peserta Konvensi Pengungsi Tahun 1951, hanya terikat secara moral untuk memberikan suaka.

Di samping itu, negara peserta Konvensi Pengungsi Tahun 1951 seperti Australia memberikan batasan-batasan tegas dalam pemberian suaka. Dalam hal ini Australia hanya menerima pencari suaka yang sudah memiliki status “pengungsi internasional”.

Bertolak dari hal tersebut, maka diperlukan sikap tegas dalam menuntaskan permasalahan pengungsi internasional. Sejatinya permasalahan-permasalahan mengenai pengungsi internasional sangat sulit untuk dituntaskan.

Oleh karena itu, permasalahan ini perlu dituntaskan dari akarnya terlebih dahulu, yaitu menghentikan konflik internal pada negara asalnya yaitu Myanmar. Indonesia yang memiliki peran strategis dalam ASEAN, seharusnya mendorong penyelesaian permasalahan ini dari akarnya.

Instrumen Hukum Internasional Dalam Menyelesaikan Permasalahan Pengungsi Internasional

Sayangnya instrumen hukum internasional tidak dirancang untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi internasional dari akarnya. Instrumen hukum internasional mengenai pengungsi hanya menetapkan standar baku yang berlaku secara internasional dalam memperlakukan pengungsi yang ada atau singgah atau tinggal di negara mereka.

Bertolak dari pendapat bahwa instrumen hukum internasional yang ada saat ini belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi internasional. Maka, diperlukan instrumen hukum internasional baru ataupun penafsiran-penafsiran terhadap instrumen hukum internasional yang sudah ada guna menyelsaikan akar masalah pengungsi di dunia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini