Kisah Orang Sawang, Pengelana Lautan yang Tersisa dari Bangka Belitung

Kisah Orang Sawang, Pengelana Lautan yang Tersisa dari Bangka Belitung
info gambar utama

Orang Sawang di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sumatra adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas masyarakat Nusantara yang berorientasi pada ekosistem kelautan atau bahari.

Seorang pengarang, Sobron Aidit menceritakan pengalamannya saat bersentuhan dengan orang Sawang, pada masa-masa awal kemerdekaan. Beberapa di antara suku laut itu bahkan menjadi temannya semasa SD.

“Di kampung kami, Belitung, ada sebuah suku (yang) kami namai Sekak. Istilah umumnya Suku Laut. Sekak selalu berdiam di tepi laut, di sekitar pantai, sungai, dan muara. Bertempat tinggal dalam perahu. Walaupun punya rumah biasanya rumah panggung yang tinggi di atas air,” tulisnya yang dimuat Kompas.

Lantunan Syair Orang Sawang untuk Harmonisasi dengan Para Penghuni Laut

Sebutan Sekak atau Orang Sekak sesungguhnya bersifat sangat merendahkan. Hal ini inheren dengan istilah suku terasing atau suku terpencil yang sempat dilekatkan oleh pemerintah Orde Baru untuk menyebut kelompok masyarakat marjinal.

Apalagi banyak yang menjadikannya sebagai ejekan semacam pameo “seperti orang Sekaklah kau ini”. Hal ini untuk menyebut individu yang berperilaku negatif. Karena itulah mereka lebih suka disebut sebagai orang laut.

“Kami lebih suka disebut Orang Sawang. Jadi, panggil saja kami orang Sawang,” kata Batman, salah satu tetua adat Orang Sawang.

Masyarakat Bahari

Orang Sawang merupakan bagian dari komunitas besar masyarakat Nusantara yang hidup sehari-hari dengan berorientasi ekosistem kelautan, seperti orang Samal, Bajau atau Bajo yang bermukim di berbagai belahan lain Nusantara.

Bahasa yang mereka gunakan memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Melayu. Hanya saja, setiap kata dan kalimat dilafalkan lebih cepat, bahkan terkadang seperti gumaman, sehingga sulit dipahami.

Suku Sekak dan Warisan Falsafah Agar Tidak Serakah ketika Melaut

Warna kulit mereka lebih gelap dibandingkan dengan masyarakat Bangka dan Belitung pada umumnya. Postur tubuh kaum prianya tegap dan kekar, dengan rambut kebanyakan ikal atau keriting layaknya orang Aborigin dari Australia.

“Dibandingkan orang Melayu, penampilan mereka sangat berbeda. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti sikat,” tulis novelis Andrea Hirata.

Selalu mengembara

Orang Sawang biasanya hidup berkelompok dalam satuan-satuan kecil, terdiri atas beberapa keluarga inti, dan menetap sementara di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu dengan mendirikan gubuk-gubuk bertiang yang disebut sapao.

Walaupun pemerintah sudah berupaya memukimkam mereka, kebiasaan hidup berpindah dan mengembara ke tempat lain sulit dihilangkan. Mereka biasanya akan pindah di kawasan perairan Pulau Bangka dan Belitung, paling jauh ke pesisir pantai Kalimantan Barat.

Rumah-rumah yang disediakan pemerintah sebutlah seperti permukiman orang Sawang di pinggiran Dusun Kumbung di Pulau Lepar, Bangka Selatan tak ubahnya tempat singgah di sela-sela musim pengelanaan.

Peran Kearifan Lokal Bantu Suku Laut Menghadapi Krisis Iklim

Salim Yan Albert Hoogstad, pemerhati budaya dan tradisi masyarakat Belitung mengungkapkan dalam setahun siklus pengembaraannya, kelompok-kelompok itu biasanya menjalani rute perjalanan yang tetap.

“Mereka biasanya berhenti di tempat-tempat persinggahan tetap yang dipilih sesuai dengan perubahan musim dan pergeseran arah angin,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini