Mengapa Mahasiswa Menjadi Seekor Bebek? Kenalilah Duck Syndrome!

Mengapa Mahasiswa Menjadi Seekor Bebek? Kenalilah Duck Syndrome!
info gambar utama

Menjadi seorang mahasiswa tentu bukanlah suatu persoalan yang mudah untuk setiap individu. Segala tantangan hingga kesulitan ataupun permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dibandingkan dengan kehidupan di sekolah menengah atas yang telah dilaluinya.

Sistem kegiatan belajar yang sangat berbeda, tuntutan akademik yang kian membesar, hingga tuntutan membangun pertemanan ataupun relasi yang lebih luas untuk masa depan menjadi beberapa hal pemicu terjadinya kewalahan dalam menjalani kehidupan perkuliahan. Meskipun dirundung oleh kewalahan, seseorang terkadang tetap berusaha untuk menutupinya dengan menunjukkan ketenangan dirinya.

Duck syndrome pertama kali dikemukakan oleh Stanford University. Istilah ini diambil dengan mengibaratkan seekor bebek yang sedang berenang di suatu perairan. Pada saat Kawan GNFI melihat seekor bebek yang tengah berenang, Kawan akan melihat bahwa bebek tersebut begitu santai dan tenang. Namun, Kawan GNFI keliru akan hal tersebut.

Pada kenyataannya, bebek tersebut sedang berjuang keras untuk terus menggerakkan kedua kakinya di bawah permukaan air untuk membuat dirinya terus bergerak maju dan menjaga tubuhnya untuk tidak tenggelam. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa bebek menjadi simbol dalam menggambarkan seorang mahasiswa yang selalu menunjukkan sikap tenang dan terkendali.

Namun, di sisi lainnya ia sedang mengalami kewalahan akibat tekanan dalam menghadapi segala persoalan yang ada ataupun kesulitan secara emosional yang dihadapinya.

Meskipun terdengar seperti tidak akan terlihat bagaimana gejala dari duck syndrome pada seseorang, namun Kawan GNFI tetap harus mengetahui apa saja gejala-gejala yang mungkin akan dialami sebagai peringatan untuk diri Kawan. Gejala-gejala tersebut meliputi kebiasaan dalam membandingkan diri sendiri dengan orang lain di sekitar, mengalami kesulitan dalam menjaga konsentrasi, mudah mengalami perasaan khawatir terhadap suatu hal, sering mengalami kegelisahan yang berlebihan, hingga mengalami gangguan tidur, dan gangguan pada pola makan.

Ada suatu masa di mana Kawan GNFI akan merasa bahwa diri Kawan selalu dan terus-menerus diamati ataupun diuji oleh seseorang, sehingga pada akhirnya Kawan GNFI akan melakukan suatu kecenderungan untuk bisa memberikan serta menunjukkan kemampuan diri Kawan secara maksimal. Hal tersebut turut menjadi salah satu gejala dari duck syndrome pada diri sendiri.

Duck syndrome merupakan suatu konsep informal, maka faktor risiko yang terkait dengannya belum tentu memiliki dasar ilmiah. Namun, ada beberapa tanda yang menjelaskan mengapa mahasiswa mengalami gejala psikotik yang terkait dengan duck syndrome di lingkungan perkuliahan. Menurut BetterHelp (2023), beberapa faktor yang berkaitan dengan duck syndrome di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Adanya tuntutan yang lebih besar seperti perubahan akademik hingga interaksi sosial dan kehidupan yang mungkin tidak lagi bersama dengan orangtua atau keluarga untuk pertama kalinya dalam transisi kehidupan perkuliahan ini.
  2. Adanya pengaruh media sosial yang secara tidak langsung menghasut Kawan GNFI untuk melakukan perbandingan dan berasumsi bahwa kehidupan orang lain jauh lebih mudah dan menarik.
  3. Adanya sejumlah tekanan dari diri sendiri ataupun keluarga untuk memenuhi standar tidak realistis.
  4. Keterbatasan diri dalam menghadapi suatu keadaan ataupun masalah baru karena terbiasa dengan campur tangan orangtua.
  5. Lingkungan perkuliahan yang cukup kompetitif.

Berdasarkan faktor yang memungkinkan duck syndrome muncul dalam diri seseorang, maka dapat disimpulkan bahwa duck syndrome dapat memicu terjadinya stres ataupun kecemasan pada diri seseorang yang mengalaminya.

Namun, stres ataupun kecemasan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara seperti memahami kapasitas dan batas kemampuan diri, mengurangi penggunaan media sosial untuk menghindari terjadi membandingkan diri dengan orang lain, memberikan afirmasi positif kepada diri sendiri, menceritakan segala kerisauan kepada teman ataupun orang yang dipercaya, hingga melakukan konseling kepada tenaga profesional untuk mendapatkan arahan dalam penanganannya.

Tenaga profesional atau psikolog akan melakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi ataupun keluhan penyertanya.

Perlu diketahui bahwa duck syndrome belum masuk ke dalam klasifikasi penyakit mental dan bukan termasuk diagnosis resmi dalam dunia psikologi. Duck syndrome lebih mengarah pada suatu fenomena sosial dan psikologis, namun duck syndrome harus tetap segera diatasi untuk mengurangi terjadinya hambatan ataupun risiko lanjutan seperti depresi ataupun penyakit mental lainnya.

Maka dari itu, sebagai seorang mahasiswa sudah seharusnya menyadari batasan diri dan selalu ingat bahwa segala hal dalam kehidupan tidak akan terus berjalan sesuai dengan apa yang Kawan GNFI inginkan. Segala beban ekspektasi dan tuntutan eksternal tidak seharusnya selalu menyetir Kawan GNFI untuk terus mendorong diri dalam mencapainya demi pengakuan sosial semata.

Referensi:

  • BetterHelp. (2023, November 7). What is Duck Syndrome, and are you suffering from it? BetterHelp. https://www.betterhelp.com/advice/stress/what-is-duck-syndrome-are-you-suffering-from-it/
  • Buwono, H. (2023, February 17). Memahami Duck Syndrome dan cara mengatasinya. MyEduSolve. https://myedusolve.com/id/blog/memahami-duck-syndrome-dan-cara-mengatasinya
  • Edwards-Dryden, R. (2023, November 30). Duck Syndrome. MedicineNet. https://www.medicinenet.com/duck_syndrome/article.htm
  • Rosanti, O. T. (2023, March 9). Duck Syndrome, gangguan yang sering dialami orang ambisius. Hellosehat. https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/duck-syndrome-yang-sering-mendera-remaja/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

K
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini