Keberadaan Noken Papua Terancam Punah karena Krisis Iklim, Mengapa Bisa?

Keberadaan Noken Papua Terancam Punah karena Krisis Iklim, Mengapa Bisa?
info gambar utama

Noken merupakan tas unik yang terbuat dari anyaman serat kulit kayu atau pohon yang berasal dari hutan-hutan Papua. Noken ini telah menjadi salah satu identitas dari masyarakat Papua.

Biasanya noken digunakan sebagai tempat membawa hasil perkebunan atau pertanian dan juga kebutuhan sehari-hari. Tetapi lebih dari itu, perempuan Papua di pegunungan juga menjadikan noken sebagai tempat membawa anak kecil hingga babi ternak.

Karena pentingnya hasil budaya ini, setiap 4 Desember dirayakan sebagai Hari Noken Sedunia. Sebagai warisan yang perlu dijaga, Google ikut merayakan Hari Noken Sedunia pada 4 Desember 2020 dengan mengganti tampilannya menggunakan noken Papua.

Perdana Digelar, Festival Indonesia Timur Pukau Ribuan Pengunjung di Belanda

Namun, keberadaan noken sekarang terancam. Penggagas noken Papua ke UNESCO, Titus Pekei menyampaikan bahwa bahan baku noken terancam dengan kebijakan pembukaan hutan dan lahan untuk pembangunan besar-besaran.

“Perubahan iklim yang menyebabkan krisis pangan, krisis air bersih, dan hutan tak lestari merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Papua. Berbagai tantangan ini mengancam sumber kehidupan manusia di Papua termasuk noken,” jelas Pekei yang dimuat Mongabay.

Ketersedian bahan baku kurang

Pekei mengatakan perubahan iklim berdampak pada kemerosotan hutan Papua, sehingga ketersediaan bahan baku noken berkurang. Tidak hanya itu, ketika terjadi bencana akibat krisis iklim juga mengganggu proses pembuatan noken.

“Untuk menghadapi perubahan iklim, kita perlu bekerja sama menyelamatkan tanah Papua. Salah satu dengan menjaga kelestarian noken karena terbuat dari bahan-bahan alami yang berasal dari hutan hujan Papua. Dengan menjaga noken, maka kita juga turut menjaga kelestarian hutan hujan tropis Papua,” ungkapnya.

Noken memang terbuat dari anyaman serat kulit pohon yang berasal dari hutan Papua. Hampir semua pengrajinnya didominasi oleh perempuan atau mama-mama Papua. Noken di Papua selama ini memang dikenal memiliki banyak fungsi.

Pemerintah Bangun Industri Pupuk di Fakfak, Investasi Rp30 Triliun

Setidaknya ada tujuh jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai bahan anyaman noken. Masyarakat Papua, khususnya Suku Yali memilih bahan berdasarkan kekuatan serat, misalkan panjang serat, kerapatan serat, kehalusan serat dan serat yang tidak berbulu.

“Jika ingin membuat noken, masyarakat di sana langsung mencari bahan bakunya di hutan primer atau hutan sekunder. Setelah menemukan pohonnya, langsung menguliti batang pohon untuk diambil kulitnya,” ungkap Yos Walianggen dan Alexander Rumatora dalam penelitiannya.

Kehilangan perajin

Bukan hanya kondisi alam, noken mulai menuju kepunahan karena generasi muda tidak mengenal untuk mewarisinya. Ada kecenderungan masyarakat Papua sangat jarang membuat noken asli dan akhirnya melupakan.

“Mama-mama sudah lanjut usia dan telah mulai berkurang. Mereka terdiri dari empat orang perajin noken daun pandan dan tiga orang perajin noken kulit kayu,” kata peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura, Papua, Hari Suroto yang dimuat Antara.

Festival Lomba Baliem Sebagai Perayaan Warisan Budaya Papua

“Tambah lagi generasi muda Kampung Bosnik tidak tertarik membuat noken, selain itu bahan baku asli kulit pohon dan daun pandan mulai ditanggalkan diganti dengan benang nylon dan benang manila,” lanjutnya.

Untuk menyelamatkan keberadaannya, Hari mendorong noken untuk masuk ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal atau ekstrakurikuler. Sehingga perlu pelatihan membuat noken, perlu revitalisasi fungsi noken di dalam masyarakat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini