Intip Peristirahatan Terakhir Kapitan Tionghoa di Tepi Sungai Musi

Intip Peristirahatan Terakhir Kapitan Tionghoa di Tepi Sungai Musi
info gambar utama

Kampung Kapitan yang berada di tepi Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan menyimpan penggalan sejarah yang membentuk peradaban kota. Tetapi rumah-rumah yang berada di kampung ini mulai melapuk.

Padahal dalam Kampung Kapitan ini terdapat sebuah rumah panggung peninggalan Kapitan Tjoa Ham Hien. Sosok ini adalah salah satu warga Tionghoa yang terpilih untuk duduk bersama-sama warga Belanda dalam dewan penata kota di tahun 1910.

Jembatan Ampera, yang Dahulunya Dikenal Sebagai Jembatan Bung Karno

Mirip seorang luruh, Kapitan Tjoa ditugaskan untuk mengatur masyarakat di wilayahnya. Dirinya khusus mengatur komunitas Tionghoa yang banyak bermukim dan berdagang di Sungai Musi ketika itu.

“Dia juga bertugas memungut pajak, menjaga keamanan, dan membangun jalanan umum.” kata Irene Sarwindaningrum dalam Saksi Peradaban yang Terabaikan di Tepi Sungai Musi yang dimuat Kompas.

Saksi peradaban

Rumah panggung yang menjadi tempat tinggal Kapitan Tjoa ini masih dihuni generasi ke 12-nya, yakni Tjoa Kok Liam atau Kohar. Tetapi bangunan dengan bentuk arsitektur Sumatra Selatan, Eropa. dan Tionghoa itu mulai rusak.

Sebagian besar ruangan dalam pun telah hancur. Lambang-lambang singa simbol kebesaran perwira Tionghoa yang dulu ada di atas ambang pintu dan jendela hilang entah hilang ke mana.

Cerita Lomba Perahu Bidar, Tradisi Warga Musi yang Dijaga Sejak Zaman Kolonial

Hanya ruang utama yang sengaja dijaga tetap baik. Karena masih digunakan oleh para kerabat untuk berkumpul dan bersembahyang sekitar setahun sekali. Dikatakan oleh pihak keluarga, kendala untuk memperbaiki rumah ini adalah dana.

“Kami pernah menghitung biaya perbaikan sekitar Rp1,5 miliar,” tutur Benny Winardi, generasi ke 14 dari Kapitan Tjoa.

Kampung yang hilang

Bukan hanya rumah Kapitan Tjoa, secara umum tatanan kampung ini mulai rusak. Dari 15 rumah asli di Kampung Kapitan, kini hanya tersisa empat unit. Disebutkan oleh Irene, ada satu rumah yang terpotong mengenaskan.

Retno Purwanti dari Balai Arkeologi Palembang menilai meskipun kecil, Kampung Kapitan didesain dengan baik. Hal ini terlihat dari alun-alun persegi panjang yang berada di tengah Kampung Kapitan.

“Lapangan di tengah alun-alun dari tatanan lempengan batu hitam itu dulu digunakan sebagai tempat pertemuan dan penyelenggaraan acara keagamaan,” jelas Irene.

Mengenal Tradisi Tepung Tawar Perdamaian Palembang

Tetapi kini. lanjutnya, kondisi lapangan lebih mirip seperti lahan liar. Ilalang dan gerumbul semak berselang-seling dengan tiang-tiang lampu yang mulai karatan. Padahal tiang lampu yang dipasang tahun 2007 ini diwacanakan agar mempercantik kampung.

Namun bagi sosiolog dari Universitas Sriwijaya, Alfitri pemasangan lampu taman malah memperlihatkan belum adanya konsep pembangunan kawasan budaya yang mengacu pada nilai sejarah dan kultur kawasan kampung tua.

“Tiang-tiang lampu justru merusak fungsi sosial dan religi lapangan di Kampung Kapitan,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini