Cerita Lomba Perahu Bidar, Tradisi Warga Musi yang Dijaga Sejak Zaman Kolonial

Cerita Lomba Perahu Bidar, Tradisi Warga Musi yang Dijaga Sejak Zaman Kolonial
info gambar utama

Pada Agustus lalu, ribuan masyarakat Kota Palembang memadati pelataran Benteng Kuto Besak (BKB). Mereka hadir untuk menikmati lomba perahu bidar yang sempat vakum selama 2 tahun karena pandemi Covid-19.

Tradisi tahunan untuk merayakan hari kemerdekaan ini memang sudah lama dinantikan oleh masyarakat, khususnya yang tinggal di tepian Sungai Musi. Seperti Yuliani yang jauh-jauh datang dari KM 12 ke BKB bersama keluarganya untuk menyaksikan lomba tersebut.

Mengenal Tradisi Tepung Tawar Perdamaian Palembang

“Saya baru datang dan memang sengaja datang untuk menyaksikan perahu bidar yang sudah 2 tahun vakum,” katanya yang dimuat Detik.

Dikutip dari buku Sumatra Selatan Memasuki Era Pembangunan susunan Departemen Penerangan RI (1993), lomba bidar tersebut dilaksanakan dengan cara mendayung perahu secara cepat.

Bila dahulu lomba bidar hanya muat satu orang, terkini desainnya dibuat lebih besar, sehingga muat untuk puluhan orang. Tradisi ini memang cukup panjang telah dilakukan sejak zaman kolonial.

Ada sejak zaman kolonial

Dalam dokumentasi sejarah, perlombaan bidar telah diselenggarakan pada sekitar tahun 1898, saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina. Sebelum penyelenggaraan lomba, para peserta akan hadir ke Prasasti Kedukan Bukit.

Ada cerita menyatakan bahwa dahulu para peserta lomba bidar menganggap prasasti itu adalah batu bertulis keramat. Karena itu para peserta lomba selalu mengunjungi prasasti sebelum penyelenggaraan lomba.

“Mereka meyakini akan dapat mendapat kekuatan gaib sehingga dapat memenangkan perlombaan jika mereka berkunjung ke prasasti tersebut,” tulis Dudi Oskandar yang dimuat RMOL Sumsel.

Palembang Bagaikan Kota Di Atas Awan

Pada masa Republik Indonesia, Lomba Bidar menjadi tradisi untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Pada masa 90 an, lomba ini sangat menarik perhatian masyarakat Sumatra Selatan.

Mereka sanggup berjejal-jejal dan berpanas-panas hanya untuk menyaksikan lomba bidar di tepian Sungai Musi. Hingga jadi salah satu tujuan wisata yang menarik bagi masyarakat Sumatra Selatan.

Makin sepi

Namun memasuki tahun 2000 an, para penonton lomba bidar makin sepi. Hal ini karena para peserta lomba bukan lagi dari masyarakat, tetapi atas nama perusahaan besar yang ada di kota Palembang.

Hal ini ditambah dengan kurangnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah merupakan penyebab makin melemahnya kualitas perlombaan Bidar. Budayawan Sumsel Vebri Al Lintani mengaku sangat menyesalkan hal tersebut.

Menikmati Sajian Kuliner Ikan, Simbol Kekayaan Bahari dari Bumi Sriwijaya

Dirinya menyebut perlombaan bidar makin kehilangan eksistensi karena tak melibatkan masyarakat. Penyelenggaraan yang hanya melibatkan perusahaan, jelasnya, membuat masyarakat tak lagi datang menonton.

“Padahal Perahu Bidar dahulunya merupakan festival yang diselenggarakan menyambut Agustus. Mencerminkan budaya asli Palembang dengan kekhasan Sungai Musinya,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini