Strategi Konservasi Badak Jawa: Penebangan Pohon dan Pembiakan dalam Penangkaran

Strategi Konservasi Badak Jawa: Penebangan Pohon dan Pembiakan dalam Penangkaran
info gambar utama

Badak Jawa, Rhinoceros sondaicus, terancam punah secara kritis di area kecil Taman Nasional Ujung Kulon, Indonesia, dengan populasi sekitar 70 ekor. Ancaman seperti tsunami, penyakit, dan pemburu memperparah risiko kelangsungan hidup mereka. Laporan Auriga Nusantara, sebuah NGO, tentang kelalaian pengelolaan di taman nasional juga telah menimbulkan kekhawatiran, termasuk klaim tentang badak yang seharusnya sudah mati tetapi masih terdaftar resmi sebagai hidup.

Sebuah makalah terbaru dalam jurnal Gazella menyarankan langkah-langkah baru, menguraikan gagasan menebang pohon besar di taman nasional untuk memperluas area mencari makan badak. Penelitian ini juga menyoroti kekhawatiran tentang perkawinan sedarah dalam populasi tersebut, yang mengarah pada usulan pendirian fasilitas pembiakan penangkaran sebagai langkah pencegahan.

Francesco Nardelli, penulis studi dari Asian Rhino Specialist Group di IUCN, menyebutkan hasil studi genetik pada badak Jawa menunjukkan rendahnya keragaman genetik dalam populasi. Hal ini umumnya dikaitkan dengan depresi perkawinan sedarah, meningkatkan risiko penyakit dan menurunkan kebugaran.

Sejalan dengan temuannya, program pengelolaan pemerintah untuk badak Jawa yang terancam punah, yang merinci rencana untuk periode 2023-2029, mengungkapkan bahwa 13 badak Jawa memiliki "cacat bawaan," yang kemungkinan disebabkan oleh puluhan tahun perkawinan dalam kelompok kecil.

Makanan atau penebangan pohon?

Ketidakseimbangan jenis kelamin di populasi badak Jawa, dengan jumlah betina dewasa yang minim dibandingkan dengan jumlah jantan, menjadi keprihatinan lain. Menurut Francesco Nardelli, hanya ada sekitar "selusin" betina dewasa yang dapat berkembang biak, dan meskipun mereka terus melahirkan, prosesnya mungkin tidak cukup cepat untuk meningkatkan atau mempertahankan populasi yang kini mencapai titik terendah sekitar 70 ekor.

Untuk mengatasi masalah genetik ini, Jan Robovský, seorang ahli biologi di Universitas Southern Bohemia di Republik Ceko, menyarankan bahwa menghasilkan populasi yang lebih besar adalah cara terbaik. Namun, ada kekhawatiran bahwa populasi saat ini mungkin sudah mencapai batas terendahnya, sekitar 70 ekor, dan bahwa habitat yang ada mungkin tidak dapat mendukung peningkatan jumlah satwa.

Robovský membandingkan badak Jawa dengan badak India, spesies badak yang lebih besar dari genus yang sama. Meskipun populasi badak India pulih dengan cepat setelah perburuan liar dihentikan, populasi badak Jawa belum mengalami pemulihan serupa. Penyebabnya, apakah karena perburuan liar yang masih berlanjut di taman nasional atau karena keterbatasan ruang dan sumber makanan, masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab.

Nardelli dan Robovský merekomendasikan tindakan untuk mengatasi kelangkaan pasokan makanan bagi badak Jawa dengan menebang beberapa pohon besar di Taman Nasional Ujung Kulon. Nardelli menekankan bahwa badak Jawa, sebagai penjelajah, bergantung pada dedaunan sebagai makanan utama. Menciptakan lahan terbuka diharapkan dapat merangsang pertumbuhan tumbuhan pakan, menyediakan sumber makanan yang lebih melimpah, dan memudahkan akses badak ke makanan, terutama mengingat habitat yang terbatas di dalam taman nasional.

Meskipun manajemen taman nasional telah berusaha menebang pohon palem aren yang tumbuh cepat untuk memberikan ruang bagi tanaman yang disukai badak, Nardelli dan Robovský menyatakan perlunya penebangan pohon tetap dilakukan di area yang belum dikuasai oleh palem.

Dalam rencana pengelolaan pemerintah untuk badak Jawa periode 2023-2029, disebutkan akan dirancang "sistem pengelolaan baru untuk mengoptimalkan daya dukung habitat Badak Jawa," meskipun rincian lebih lanjut tidak dijelaskan.

Nina Fascione, kepala International Rhino Foundation (IRF), yang berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia dalam konservasi badak di Ujung Kulon, menyatakan bahwa peningkatan pengelolaan habitat tambahan akan memberikan kontribusi signifikan, tetapi meminta penjelasan lebih rinci terkait proposal para peneliti.

Robovský juga menyarankan pemindahan beberapa banteng dari dalam taman nasional untuk mengurangi persaingan dengan badak Jawa dalam mencari makanan. Meskipun banteng terdaftar sebagai spesies terancam punah, Fascione menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah perlindungan populasi badak liar, yang berkembang biak secara alami.

Pembiakan dalam Penangkaran

Berbicara mengenai penangkaran, Nardelli dan Robovský juga merekomendasikan pendirian pusat penangkaran bagi badak Jawa, mengikuti model yang telah berhasil diterapkan pada badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis).

Meskipun penangkaran telah dimasukkan ke dalam rencana pengelolaan pemerintah sesuai agenda, para ahli menyuarakan harapan bahwa hal tersebut tidak akan segera terwujud. Menurut Fascione, penangkaran memiliki potensi sebagai alat krusial dalam upaya konservasi badak Jawa. Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, sebuah program penangkaran konservasi dengan manajemen genetika yang cermat dan pertumbuhan populasi yang cepat dapat menjadi salah satu solusi terbaik untuk tantangan ini.

Saat ini, pemerintah Indonesia tengah mengembangkan kompleks baru di dalam wilayah taman nasional yang dikenal dengan sebutan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA). Setelah proyek ini selesai, rencana pemerintah menyatakan akan mempertimbangkan "translokasi individu terpilih."

Nardelli menyatakan bahwa membawa beberapa badak ke dalam program penangkaran semi liar dapat memberikan kontribusi pada pemahaman ilmiah yang meningkatkan kelangsungan hidup spesies ini. Dalam pengamatan lingkungan terkontrol, para peneliti dapat memonitor perilaku reproduksi, melakukan studi fisiologi reproduksi, dan mengumpulkan data berharga yang mendukung upaya konservasi di penangkaran maupun di habitat alami.

Meskipun badak Sumatera lebih rentan dengan populasi yang mungkin kurang dari 50 ekor, pengetahuan yang lebih mendalam diperoleh karena penelitian bertahun-tahun di penangkaran. Sebaliknya, badak Jawa tidak tercatat di penangkaran selama lebih dari satu abad, menjadikannya salah satu spesies badak yang paling tidak dikenal secara mendalam.

Sebagai contoh, makalah tersebut mencatat kesalahpahaman berkelanjutan terkait spesimen badak Jawa di Italia yang sebelumnya keliru diidentifikasi sebagai badak bercula satu yang lebih besar. Kesalahan ini diakui sebagai umum dan menurut penulis, memerlukan evaluasi ulang terhadap semua spesimen di museum dan koleksi dunia.

Menanggapi kekurangan pengetahuan tentang perilaku reproduksi badak Jawa, Nardelli menyoroti pentingnya informasi tersebut untuk pengembangan strategi konservasi yang efektif, yang hanya dapat dikaji melalui program pengembangbiakan di luar habitat mereka.

Upaya mendirikan lokasi kedua bagi badak Jawa di alam liar Indonesia telah diadvokasi oleh konservasionis, dengan tujuan memperluas populasi di luar Ujung Kulon. Namun, pemerintah Indonesia belum menentukan lokasi, dan rencana untuk mencari "area lain" telah dihentikan sejak 2019, tanpa tanda-tanda dilanjutkan.

Sumber: Mongabay

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini