Logika Budaya Indonesia Negara Bahari

Logika Budaya Indonesia Negara Bahari
info gambar utama

Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, wilayah lautan mencapai 3,2 juta km persegi dan panjang pantai 95 ribu km membuatnya menjadi negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia. Dengannya, dari sisi geografis, komoditas, jumlah dan karakter penduduk, serta pemerintah dan lembaga-lembaga nasional yang berada di arah pengembangan eksplorasi di laut, Indonesia bisa dikriteriakan sebagai negara maritim yang potensial.

Status sebagai negara kepulauan ini tidak diperoleh dengan mudah. Usaha ini diawali dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang dianggap sebagai kebijakan kelautan Indonesia yang pertama. Hingga pada akhirnya pada tahun 1982 Indonesia mendapat pengakuan dunia sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).

Momentum ini yang menyadarkan negara-negara dunia akan pentingnya laut bagi kehidupan umat manusia. Laut bukan hanya kumpulan air yang menjadi penanda luas wilayah sebuah negara, tapi laut juga merupakan suatu ekosistem sekaligus sumber daya serta laut merupakan wahana sebuah interaksi sosial dan budaya antar manusia.

Di masa lalu, lautan Indonesia bahkan telah menjadi ruang hidup manusia Nusantara, di mana lalu lintas manusia dan perdagangan, penyebaran agama, pengaruh politik hingga hegemoni kekuasaan diberlangsungkan sejak ribuan tahun yang lalu. Seperti data dan fakta sejarah mengenai relief kapal di Candi Borobudur yang dibangun 13 abad lalu, manuskrip dan artefak yang menceritakan tentang perjalanan para pelaut Nusantara mencapai belahan dunia lain hingga teknologi kelautan suku Bajo dan Bugis, misalnya.

Di sini pula narasi persatuan dan kesatuan antarpulau yang ada di Nusantara dijahit sebagai ruang laut yang berdaulat. Semua menjadi masa lalu yang perlu dijadikan refleksi dan diaktualisasi di masa kini.

Kenali Batik Garudeya Sebagai Ikon Batik Kota Malang

Kenyataan

Namun kenyataannya, selama ini kita justru “memunggungi laut”. Laut yang telah menjadi kebanggaan masa lalu dan modal masa depan seperti terabaikan. Negara ini justru kerap memrioritaskan pembangunan sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan industri pengolahan yang berbasis di daratan.

Bahkan kemauan politik mengenai konsep negara bahari sebenarnya baru dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang membentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Gus Dur juga yang menggagas peringatan Hari Nusantara 13 Desember pada tahun 1999, dan baru diresmikan di masa pemerintahan Presiden Megawati melalui Keputusan Presiden RI Nomor 126 tahun 2001.

Hari Nusantara menjadi penegasan kesadaran dan tekad bahwa ruang laut merupakan wilayah Indonesia yang harus dijaga dan terus dikembangkan.

Padahal konsep revitalisasi kekuatan bahari perlu dukungan politis yang diterapkan dan dilandasi kekuatan kultural dan aktualisasi sejarah untuk membangun negara berdaya kekuatan maritim. Hal ini akan memengaruhi bentuk kejayaan kebudayaan bahari selanjutnya yaitu kuatnya pertahanan laut, ekonomi perdangan berbasis laut, masyarakat yang terbuka dan pemberani serta memiliki pengetahuan dan teknologi perkapalan dan keterampilan pelayaran.

Terbukti, Ternate dan Tidore menganut prinsip perahu sebagai konsep untuk memelihara keseimbangan keberlangsungan sebuah negara. Kesultanan Buton mengacu konsep barata, perahu bercadik ganda, sehingga pemerintahan berjalan seimbang. Sementara keulungan suku Bugis-Wajo tak hanya dalam mengarungi samudra, tetapi juga dalam menyusun undang-undang pelayaran dan perdagangan yang terkenal dengan nama Amanna Gappa (Susanto Zuhdi, 2015).

Orientasi

Kita perlu menyusun orientasi tentang kekuatan Nusantara yang tidak melulu berbasis pada pencapaian material-teknologis, tapi juga berbasis spirit, moralitas, kebudayaan dan peradaban yang memang menjadi pondasi dan latar historis-arkeologis negeri yang sejatinya bersifat dan berkarakter bahari ini.

Kita perlu merevisi terjemahan konsep negara kepulauan dari archipelagic state. Dalam kamus Oxford dan Webter, kata archipelago berasal dari bahasa Yunani, yakni arc yang berarti utama, dan pelagos yang berarti laut. Dengan kata lain, archipelago state harus diartikan sebagai negara kelautan atau “negara laut utama” yang ditaburi pulau-pulau. Bukan negara kepulauan atau negara pulau-pulau yang dikelilingi laut (Lapian, 2009).

Kisah Pak Ahmad, Eks Guru Honorer yang Bangun Sekolah Gratis dari Jual Sapu Ijuk

Dengan konsepsi tersebut, laut adalah pengikat sehingga di satu sisi, laut menjadi jalan tol yang menghubungkan dengan lebih cepat, efektif dan efisien. Laut bukan penghalang atau pembatas sehingga perlu dibangunkan jembatan antar pulau. Justru laut adalah unsur utama yang menguatkan kita.

Namun untuk mengembalikan kekuatan budaya bahari tentu saja harus melalui kebijakan langkah dan aksi tindakan nyata. Tidak hanya pada slogan dan jargon karena hal ini menyangkut implementasi riil di berbagai sendi kehidupan.

Seturut Hilmar Farid (2014), hal ini tidak dapat diatasi hanya dengan membuat kebijakan baru, menambah jumlah kapal, mengembangkan infrastruktur, memberi insentif bagi penanam modal, karena masalah sejatinya adalah masalah kebudayaan.

Masalahnya bukan mengembalikan kebudayaan yang hilang, tetapi bagaimana menghidupkan kembali kemampuan, sistem pengetahuan, cara pandang dan cara hidup, singkatnya kebudayaan, yang selama ini kita abaikan. Kita perlu imajinasi baru dan cara kerja baru, bukan agar menjadi bangsa yang asal besar, tapi bangsa yang berguna.

Dalam hal ini, aktifitas tersebut berarti secara aktif menghadirkan sebuah narasi yang membentuk persepsi mengenai sejarah. Landasan kultural yang membangun jati diri atau karakter bangsa adalah variabel fundamental dalam upaya kita mengimplementasikan seluruh dimensi praktis-material yang terkandung dalam makna tentang kekuatan bahari.

Menurut Dahana (2015), tanpa fundamen kuat secara kultural tersebut, bukan hanya akan terjadi reduksi besar-besaran pada makna bahari, tapi juga akan terjadi mislokasi dan misorientasi hingga misaplikasi dari konsep dan visi yang luar biasa –tapi kurang terelaborasi dengan baik—itu. Yang lebih menguatirkan dan menggiriskan adalah saat gagasan atau idea atau harapan/tujuan yang abstrak itu justru akan di/termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan asing –dibantu para komprador lokalnya—justru untuk menciptakan profit dan –lagi-lagi surplus imperialistik—dari kepentingan asing tersebut. Dan kenyataan yang terjadi sekarang mengindikasikan hal tersebut.

Dapatkah Anak Mendapat Kehangatan pada Ibu yang Bekerja?

Untuk mengaktualisasikan kekuatan bahari di masa kini harus dimulai dari manusianya, bukan dari infra atau suprastruktur materialnya. Sudah begitu banyak rencana, analisa dan cetak biru tentang budaya bahari, maka sudah saatnya kini laut dan elemen-elemen penyusunnya memperoleh perhatian lebih besar melalui pemaknaan baru yang lebih menitikberatkan pada distribusi dan optimalisasi pengelolaan laut agar kebijakan-kebijakan publik dan politik bisa menjadi lebih responsif terhadap kondisi dunia bahari.

Dengan kesadaran historis, kebijakan kontekstual, dan pemikiran yang visioner, pemaknaan esensi kekuatan bahari kita memperoleh kerangka konseptual sebagai aktualisasi yang aplikatif dan bermanfaat bagi kehidupan bersama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini