Bansos Bukan Hadiah, tapi Kewajiban Pemerintah

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Bansos Bukan Hadiah, tapi Kewajiban Pemerintah
info gambar utama

Apabila seorang suami memberi uang belanja setiap bulan kepada istrinya, itu bukanlah sebuah hadiah dari suami, tapi merupakan kewajiban seorang suami kepada istrinya. Analogi dalam hal ini adalah apabila pemerintah memberikan bantuan sosial, bantuan tunai langsung, dan sebagainya yang sudah menjadi program pemerintah, maka harus ada edukasi yang masif kepada rakyat bahwa berbagai bentuk bantuan pemerintah itu bukan hadiah, tapi memang kewajiban pemerintah. Dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Republik Indonesia Mahfud MD menyatakan bansos sudah menjadi kewajiban pemerintah sesuai amanat konstitusi.

"Bansos, BLT (bantuan langsung tunai) bukan hadiah dari pemerintah, tapi kewajiban pemerintah. Kan ada di Undang-Undang Dasar, fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh negara," ujarnya.

Sepertinya harus ada civic education atau political education bagi masyarakat luas, apalagi menjelang pemilu atau pilpres tanggal 14 Februari 2024 nanti agar masyarakat luas memahami hak dan tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya. Hal ini penting dilakukan karena banyak kritikan terhadap berbagai bentuk bansos yang dipakai untuk kampanye calon presiden atau wakil presiden tertentu, hingga akhirnya bantuan sosial yang sebagai kewajiban pemerintah ini menjaadi alat untuk mencari suara atau istilah umumnya dalam pemilu adalah vote getter.

Menurut kamus bahasa Inggris Collins menjelaskan arti Vote Getter itu yakni “A candidate or issue whose personality, policies, etc., are considered certain to attract many votes” atau seorang kandidat atau masalah/ isu yang daya tarik kepribadian, kebijakan, dll., dan dianggap pasti akan menarik banyak suara. Di negeri kita, partai politik menggunakan tokoh-tokoh masyarakat seperti Kiai, artis TV/sinetron atau penyanyi terkenal untuk menjadi vote getter untuk menarik suara para pendukungnya, jamaatnya, pengagumnya, dan diarahkan memilih salah satu calon.

Namun sekarang, nampaknya ada fenomena baru bentuk vote getter atau pengambil suara itu, yaitu Bantuan Sosial dari pemerintah dalam berbagai jenis kepada masyarakat yang dalam kondisi rentan kehidupan ekonominya. Hal ini memunculkan kekhawatiran adanya kepentingan politik seserang atau partai politik atau penguasa. Memang politisasi bantuan sosial (bansos) sulit untuk dihindari sebab telah direncanakan sejak lama dan menimbulkan dua dampak politisasi. yaitu kandidat yang didukung pemerintah mendapat limpahan sumber daya besar. Dan dengan bantuan sosial, kampanye menjadi sangat konkret di masyarakat.

Sebelumnya, pembagian bansos dan bantuan pangan oleh Presiden Joko Widodo dikritik oleh Tim Pemenangan Nasional (TPN) Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD. TPN Ganjar-Mahfud meminta pemerintah menghentikan politisasi bansos. Belakangan ini, Jokowi kerap membagikan bansos di tengah kunjungan kerjanya. Beberapa pihak menganggap itu sebagai politisasi bansos mengingat putra sulung presiden, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Salah satu bansos yang harus disorot ialah program beras 10 kilogram kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Semula, program bansos beras disalurkan dari September hingga November 2023, tetapi rupanya diperpanjang hingga Juni 2024.

Ada sekitar Rp 78,06 triliun anggaran pemeritnatah dialokasikan untuk program perlindungan sosial dan 1,43 persen atau Rp 1,13 triliun dialokasikan untuk program dukungan manajemen," demikian dikutip dari Buku III RAPBN 2024. Adapun, bantuan sosial program keluarga harapan (Bansos PKH) kepada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) masih masuk prioritas pemerintah. Agar tidak bansos tidak terputus dari tahun lalu ke tahun ini, pemerintah telah menyiapkan sejumlah bansos yang akan cair pada awal 2024.

Untuk menghindari politisasi bansos itu, sebaiknya perlu juga ada edukasi pada rakyat bahwa bansos sebenarnya adalah salah satu instrumen kebijakan dalam strategi penanggulangan kemiskinan, dengan melakukan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin, Penyaluran bansos, ini melibatkan berbagai level pemerintahan, dari pusat hingga pemerintah desa. Pelaksanaan bansos di lapangan terbuka untuk diawasi banyak pihak. Selain itu rakyat harus juga diedukasi bahwa bansos itu dananya bukan dari seseorang secara pribadi, misalnya Presiden, tapi berasal dari APBN yang uangnya didapat dari para pembayar pajak. Intinya, rakyat harus tahu bahwa Bansos itu bukan dari pribadi seseorang tapi dari pemerintah. Karena itu. kemasan atau bungkus dalam bansos beras misalnya tidak boleh tertulis “Bantuan Dari Presiden RI Joko Widodo”, tapi harus tertulis “Bantuan Dari Pemerintah Indonesia”.

Selain itu, seharusnya dalam pembagian berbagai bentuk bansos itu presiden tidak turun langsung, sebab iabisa memerintahkan jajarannya yaitu Kementerian Sosial untuk melakukan pembagian. Hal ini untuk menghindari adanya politisasi bansos, juga untuk mengoptimalkan kinerja Kementerian Sosial yang memang tugasnya adalah menyalurkan berbagai bentuk bansos itu.

Ray Rangkuti, seorang pemerhati politik di salah satu saluran TV nasional mengusulkan agar pemberian bantuan sosial dari pemerintah kepada rakyat itu dihentikan satu minggu sebelum pelaksanaan pemilu/pilpres, persisnya tanggal 7 Februari 2024. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktek-praktek curang dalam pemilu/pilpres.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini