Mengenal Surastri Karma Trimurti, Pejuang Pers Wanita Pertama di Indonesia

Mengenal Surastri Karma Trimurti, Pejuang Pers Wanita Pertama di Indonesia
info gambar utama

Sejak zaman penjajahan, perjalanan pers Indonesia telah melalui liku-liku yang penuh tantangan dan inspirasi. Di tengah hiruk-pikuk pergerakan nasional, munculah sosok SK Trimurti, seorang tokoh pers wanita yang berperan menjadi simbol perlawanan dan keberanian di masa itu.

Kisah perjuangan dan kontribusinya menjadi bagian penting dari sejarah pers Indonesia, menandai awal dari sebuah era di mana suara perempuan mulai menggema, membawa perubahan dan harapan baru bagi generasi yang akan datang.

Surastri Karma Trimurti, atau lebih dikenal sebagai SK Trimurti, adalah seorang figur perempuan yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau tidak hanya berperan sebagai seorang wartawan tetapi juga sebagai sosok yang terlibat aktif dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Sebagai mantan istri dari Sayuti Melik, yang merupakan tokoh yang mengetik teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, SK Trimurti memiliki peran penting dalam peristiwa sejarah tersebut.

S.K. Trimurti memiliki latar belakang keluarga istimewa sebagai abdi dalem Kraton Kesunanan Surakarta. Ayahnya, seorang Carik, naik pangkat menjadi Asisten Wedana. Dipanggil Ndoro Seten, keluarganya termasuk priyayi. Merupakan anak kedua dari lima bersaudara, di keluarga ia dipanggil dengan nama Trimurti atau Tri.

Tumbuh di keluarga besar, Trimurti belajar berbagi sejak kecil. Ketajaman pikirannya tampak sejak dini, menyadari perbedaan, meskipun terlalu kecil untuk memahaminya.

Pendidikannya dimulai di Sekolah Ongko Loro (TIS) selama tiga tahun. Pada 1926, melanjutkan di Meijes Normaal School (MNS) selama empat tahun, tinggal di asrama dan merantau dari kedua orang tuanya di Solo. Meskipun merupakan lulusan terbaik, ketidaknyamanan di Sekolah Latihan mendorongnya pindah ke Solo dan Banyumas.

Trimurti mendapati minatnya tumbuh untuk terlibat dalam dunia pergerakan setelah mendengarkan orasi-orasi yang disampaikan oleh Bung Karno. Sejak dekade 1930-an, Trimurti telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Rohana Kudus, Jurnalis Perempuan dengan Gelar Pahlawan

Walaupun sudah aktif sejak awal, Trimurti secara resmi bergabung dengan Partai Indonesia pada tahun 1933. Selain itu, peranannya tidak hanya terbatas pada dunia politik, karena Trimurti juga merangkap sebagai seorang guru di sekolah dasar di berbagai daerah, seperti Bandung, Surakarta, dan Banyumas.

Trimurti menambah wawasan dan pertemanan dengan terlibat aktif di perkumpulan organisasi,. Pada 1932, hadir di rapat umum Partindo setelah mendengar kabar Soekarno. Tergerak hati melawan anti imperialisme dan anti kolonialisme.

Pada 1933, ia memutuskan berhenti mengajar dan bergabung dengan Partindo Cabang Bandung. Menyebarluaskan pengaruhnya melalui Fikiran Rakyat dan Suluh Indonesia Muda. Soekarno meminta Trimurti menuangkan tulisannya di Fikiran Rakyat, membuka jalan ke dunia jurnalistik.

Suatu hari pada tahun 1933, Partindo mengadakan Rapat Umum di Purwekerto, Jawa Tengah, yang mendapat perhatian Trimurti. Dengan menumpang dokar, ia pergi ke Purwokerto untuk mendengarkan pidato tokoh idola, Soekarno. Sayangnya, gedung rapat sudah penuh, dan ia hanya mendapatkan tempat duduk di belakang. Meskipun Soekarno berpidato tanpa pengeras suara, suaranya menggelegar hingga seluruh ruangan.

Setelah rapat umum, Trimurti merenung dan tergugah untuk bergabung dengan Partindo. Soekarno membujuknya untuk menulis di koran Fikiran Ra’jat. Dengan semangat ini, Trimurti mulai belajar teknik menulis, merangkai kalimat, dan menghabiskan banyak kertas. Usahanya membuahkan hasil, artikelnya diterbitkan di Fikiran Ra’jat, membawa kebahagiaan baginya.

Namun, belum lama setelah Trimurti bergabung, Soekarno tertangkap dan koran tersebut dilarang. Dengan berat hati, Trimurti kembali ke Klaten, Jawa Tengah. Meskipun begitu, semangat aktivisme dan kontribusi pada perjuangan kemerdekaannya tak pernah padam.

Pada tahun 1935, ia mendirikan majalah Bedoeg, terinspirasi oleh suara bedug Masjid yang memanggil muslimin untuk beribadah, ingin korannya menjadi seruan kepada rakyat untuk berjuang.

Tahun itu juga, setelah mengunjungi pemimpin Partindo yang baru bebas dari penjara, Trimurti berseteru dengan ayahnya yang melarangnya beraktivitas politik. Tanpa tunduk, Trimurti memilih untuk "minggat" demi menjalankan perjuangannya.

Pada tahun 1936, keterlibatan aktif Trimurti dalam pergerakan anti-kolonial membuatnya ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda, setelah terbukti menyebarkan pamflet yang menentang penjajahan. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman penjara selama sembilan bulan di Penjara Bulu, Semarang.

Setelah dibebaskan dari penjara, Trimurti beralih profesi menjadi wartawan dan mulai menulis banyak artikel terkait perjuangan anti-kolonial. Dalam karyanya, ia memilih menggunakan nama samaran Karma sebagai representasi dari nama tengahnya.

keterlibatannya dalam berbagai media massa, seperti Pesat, Genderang, Bedung, dan Pikiran Rakyat, membuat karier wartawan Trimurti berkembang pesat. Namun, saat Jepang menjajah Indonesia, aktivitas wartawan Trimurti memicu penangkapannya oleh pihak pendudukan.

Setelah keluar dari penjara, Trimurti tidak menunjukkan tanda-tanda kapok. Ia terlibat dalam sebuah percetakan kecil dan turut menerbitkan majalah Suluh Kita. Trimurti juga berkontribusi untuk koran lain, yang dikenal dengan nama Sinar Selatan, di mana ia kemudian bertemu dengan Sayuti Melik, yang kemudian menjadi suaminya.

Baca juga: Mengenang Bung Tomo: Pemimpin Inspiratif dan Karismatik pada Hari Pahlawan

Suatu hari, melalui Sinar Selatan, Sayuti Melik menerbitkan artikel dengan seruan untuk tidak memihak Belanda atau Jepang dalam perang yang akan datang. Artikel ini membuat Sayuti Melik diincar oleh Belanda. Mengingat risiko untuk dikirim kembali ke Boven Digul karena tulisan tersebut, Trimurti berani maju ke depan dan mengaku sebagai penulis artikel tersebut. Akibatnya, Trimurti ditangkap.

Trimurti sering masuk penjara karena artikel-artikelnya yang kerap menentang kepentingan Belanda. Paham bahwa jika Sayuti Melik diketahui sebagai penulis, dia akan kembali ke Boven Digul, Trimurti akhirnya bersedia bertanggung jawab dan ditangkap.

Meskipun sering menjadi tahanan di Hotel Prodeo, Trimurti tidak pernah menunjukkan keputusasaan. Ia menyadari bahwa itu adalah konsekuensi dari pilihan politiknya, dan tetap teguh pada keyakinannya.

Trimurti meninggal pada usia 96 tahun, tepatnya 20 Mei 2008, saat Indonesia merayakan 100 tahun kebangkitan Nasional. Jenazahnya disemayamkan di Gedung Pola dan dimakamkan di Taman Pemakaman Kalibata Jakarta Selatan.

Sumber:

https://www.berdikarionline.com/sk-trimurti-wartawati-pejuang-pembebasan-nasional/

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/20/080000279/sk-trimurti-menteri-tenaga-kerja-pertama-indonesia?page=all

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini