Manusia Solo, Mata Rantai yang Hilang dalam Evolusi Manusia?

Manusia Solo, Mata Rantai yang Hilang dalam Evolusi Manusia?
info gambar utama

Siapa manusia yang pertama kali datang ke Indonesia? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh beberapa orang Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki kebinekaan yang tinggi dengan beragam suku bangsa dan ras di dalamnya. Meskipun teori yang dicetuskan oleh anggota sekolah sejarah Göttingen (1870-an) ini dianggap sudah usang, namun banyak orang Indonesia percaya bahwa setidaknya terdapat dua ras pribumi di Indonesia, Mongoloid dan Melanosoid (bagian dari ras Negrito), dimana Mongoloid mendiami bagian barat Indonesia, sedangkan Melanosoid mendiami bagian timur.

Tengkorak VI dari Ditus Ngandong, sebuah tengkorak hampir lengkap yang kemungkinan milik seorang wanita dewasa © Wikimedia/Franz Weidenreich
info gambar

Sebelum berbagai suku bangsa datang dan menetap di Indonesia, berbagai jenis manusia purba telah dikenal menjelajah wilayah ini. Salah satunya adalah Manusia Solo (Homo erectus soloensis). Fosil manusia purba ini pertama kali ditemukan oleh Eugène Dubois, seorang paleoantropolog Belanda, dalam upayanya untuk menemukan mata rantai yang hilang (missing link) dalam evolusi manusia. Dubois menemukan bagian tulang paha dan kalvaria (bagian atas tengkorak) yang berasal dari masa akhir Pliosen atau awal Pleistosen di situs Trinil sepanjang Bengawan Solo. Manusia ini kemudian diberi nama hipotetis Pithecanthropus erectus. Pada tahun 1931 hingga 1933, 12 bagian tengkorak (termasuk kalvaria yang masih terjaga baik), serta dua tulang kering kanan, dengan salah satunya lengkap, ditemukan di bawah arahan Oppenoorth, ter Haar, dan ahli geologi Jerman-Belanda Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald.

Dalam penelitian lanjutan, Manusia Solo memiliki ciri-ciri khas, seperti tulang tengkorak yang sangat tebal dengan ukuran dua hingga tiga kali lipat dari manusia modern. Tengkorak dewasa rata-rata memiliki panjang sekitar 202 mm × 152 mm, mirip dengan manusia Peking tetapi dengan lingkar kepala yang lebih besar. Sisa-sisa Manusia Solo menunjukkan ciri-ciri yang lebih maju daripada Manusia Jawa (Homo erectus erectus) yang lebih kuno, termasuk ukuran otak yang lebih besar, kubah tengkorak yang lebih tinggi, pengecilan penyempitan postorbital, dan lengkungan alis yang kurang berkembang. Ciri fisik inilah yang juga senada dengan volume otak yang tergolong besar, yang berdampak pada daya pikir manusia Solo.

Meskipun memiliki beberapa fitur tubuh yang mirip dengan Manusia Peking (Homo erectus pekinensis), tengkorak Manusia Solo memiliki puncak kepala yang sempit proporsional dengan tulang pipi, sehingga kedua tulang pipi masih terlihat saat dilihat dari atas. Volume otak rata-rata manusia Solo mencapai lebih dari 1.000 cm3, dan tulang keringnya tergolong tebal dan berat.

Dengan kapasitas otaknya yang berdampak pada kualitas daya pikir Manusia Solo, mereka memiliki kebudayaan yang akrab disebut dengan kebudayaan Ngandong yang erat dengan penggunaan tulang binatang, duri ikan pari, dan batu-batuan serpih yang berhasil diolah menjadi kapak, belati, tombak, dan sebagainya. Alat-alat dari tulang binatang digunakan untuk mengambil ubi ataupun keladi dari tanah, sementara tombak yang bergerigi diduga dimanfaatkan layaknya harpun: untuk menangkap ikan besar. Manusia Solo juga diperkirakan sudah mengenal kesenian.

Alat-alat yang diduga digunakan oleh Manusia Solo: a) duri ikan pari, b) tombak atau ujung tombak dari tulang, c) fragmen tanduk rusa © Wikimedia/Franz Weidenreich
info gambar

Di samping itu, terdapat penelitian oleh Weidenreich dan von Koenigswald pada tahun 1951 yang menunjukkan adanya cedera serius pada tengkorak Manusia Solo, diinterpretasikan sebagai tanda-tanda kanibalisme atau pemburuan kepala ritual, meskipun terdapat argumen bahwa cedera tersebut mungkin terkait dengan letusan gunung berapi atau kerusakan selama penggalian.

Soekmono (1981), arkeolog Indonesia, dalam bukunya memaparkan bahwa terdapat keyakinan dari sebagian ahli bahwa perkembangan budaya manusia diluvium sampai Homo sapiens (dalam hal ini termasuk Manusia Solo) diimbangi dengan perkembangan pemikiran dan emosi, termasuk perkembangan spiritualitas yang membuat mereka percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dari mereka, sesuatu yang dalam kepercayaan manusia modern disebut sebagai Tuhan.

Manusia Solo diperkirakan punah pada Zaman Pleistosen. Namun, sampai saat ini para peneliti belum bisa memastikan penyebab kepunahan dari Manusia Solo.

Simak artikel ini dalam bahasa Inggris: https://seasia.co/2024/03/11/solo-man-the-missing-link-of-human-evolution

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rafa Sukoco lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rafa Sukoco.

Terima kasih telah membaca sampai di sini