Asal Usul Munculnya Tradisi Menangkap Cacing Laut di Masyarakat Lembata

Asal Usul Munculnya Tradisi Menangkap Cacing Laut di Masyarakat Lembata
info gambar utama

Masyarakat Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata masih menjaga tradisi yang diwariskan turun temurun, yakni Guti Nale. Guti Nale merupakan tradisi menangkap atau mengambil nale, sejenis cacing laut.

Dinukil dari Kompas, tradisi ini berlangsung pada bulan Februari dan Maret atau pada purnama ke 6-7 pada bulan kedua dan purnama ke 7-8 pada bulan ketiga, seturut penanggalan kalender orang Mingar.

Keraton Yogyakarta Mengadakan Tradisi Mubeng Beteng pada Malam 1 Suro

Dipercaya oleh masyarakat sekitar, tradisi Guti Nale sudah dimulai pada tahun 500 Masehi. Walau Tidak ada catatan sejarah, tradisi ini dipercaya muncul dari kisah dua pendatang yang membawa nale hingga ke kampung Mingar.

“Adalah Srona dan Srani, dua pendatang yang membawa nale hingga ke Kampung Mingar,” tulisnya.

Diperkenalkan ke masyarakat

Dijelaskan saat itu Srona dan Srani diperkenalkan kepada warga kampung. Mereka diterima dan menetap di Mingar. Kepada warga kampung, keduanya memperkenalkan tata cara mengambil nale dan ritual yang mendahuluinya.

Di Duang Waitobi inilah Srona dan Srani memasukan dua batu yang mereka bawa dari kampung halamannya. Dua batu ini merupakan jelmaan dari istri mereka yakni Srupu dan juga Srepe.

Makna Topeng Bebegig Sukamantri dalam Perlindungan Mata Air Tawang Gantungan

“Kedua batu ini dikenal dengan sebutan batu ikan nale. Srona dan Srani juga menunjukkan cara memberikan makan kepada kedua batu ini dan hanya diberi makan sebelum mengambil nale,”

Saat meninggal, tengkorak kepada Srona dan Srani ditempatkan di lokasi yang disebut Duli Ulu, di bagian timur lapangan sepak bola Mangar. Tubuhnya dikuburkan di Klete, yang berada di Kampung Adat Mingar.

Tetap diperingati

Masyarakat Adat Mingar masih mengingat kedua orang itu pada setiap tradisi Guti Nale. Para tetua adat biasanya akan pergi ke bagian timur lapangan sepak bola Mingar untuk memberi sesajen di Duli Ulu.

“Sebelum meninggal mereka sempat berpesan agar tengkorak kepala mereka ditempatkan di lokasi yang disebut Duli Ulu,” katanya.

Menengok Tradisi Unik Seputar Pernikahan dari Suku Ogan

Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan memberi makan Belawa, leluhur Atakabelan yang dikuburkan dekat pantai. Setelahnya baru makanan leluhur itu dibagikan kepada semua orang yang datang.

Menjelang malam hari, dua utusan dari suku yang sama pergi ke pantai untuk memastikan adanya koloni nale. Ketika melihat nale, mereka langsung menyalakan kaum (penerang yang terbuat dari daun koli), sambil berteriak duli gere, Lewo Rae Malu.

“Mendengar teriakan ini, orang berdatangan dan menyemut di pantai pasir putih. Tua muda, laki-laki perempuan dari segala penjuru sibuk mengambil nale,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini