Urgensi Hak Angket DPR RI Guna Menyelidiki Dugaan Kecurangan Pemilu

Urgensi Hak Angket DPR RI Guna Menyelidiki Dugaan Kecurangan Pemilu
info gambar utama

Wacana penggunaan hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam konteks penyelidikan dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 merupakan sebuah langkah yang menarik perhatian.

Dari segi normatif, langkah ini sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan. Namun, pertanyaan muncul mengenai dampak nyata dari penggunaan hak angket ini terhadap hasil pemilu 2024.

Apakah langkah ini akan berpotensi mempengaruhi bahkan membatalkan hasil Pemilu, ataukah hanya sebagai bentuk upaya untuk mendalilkan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo?

Dalam situasi ini, Rundengan (2022) menjelaskan pentingnya menyadari bahwa mekanisme pemilihan umum dan pemakzulan memiliki perbedaan yang penting. Meskipun keduanya memiliki peran dalam mengawasi pemerintah, konsekuensi dari menggunakan hak angket tidak sama dengan proses pemilihan umum atau pemakzulan.

Penggunaan hak angket oleh DPR tidak secara langsung dapat mempengaruhi hasil dari Pemilu itu sendiri. Namun demikian, langkah ini merupakan bagian dari hak konstitusional DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Proses penggunaan hak angket ini dapat dianggap sebagai wujud dari prinsip checks and balances dalam sistem pemerintahan.

Dolar Perkasa, Ini Strategi Menkeu Sri Mulyani Jaga Perekonomian RI

DPR memiliki kewenangan untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah guna menjaga keseimbangan kekuasaan antara lembaga legislatif dan eksekutif.

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pada Pasal 73 dijelaskan bahwa jika pejabat negara atau pejabat pemerintah tidak hadir setelah dipanggil sebanyak 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berwenang untuk menggunakan berbagai mekanisme, seperti hak interpelasi, angket, atau menyatakan pendapat.

Dalam konteks ini, Fuadi (2009) menyebut apabila hak angket diaktifkan, tindakan pertama yang akan dilakukan oleh parlemen adalah mengundang pihak-pihak terkait untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.

Penting bagi publik untuk memahami bahwa penggunaan hak angket ini tidak hanya sekadar menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu, tetapi juga memiliki dampak lebih luas dalam upaya pembenahan sistem pemilu dan representasi politik.

Isu-isu yang muncul terkait Pemilu 2024, seperti dugaan ketidaknetralan oknum Aparatur Sipil Negara, praktik politik uang, distribusi bantuan sosial menjelang pemilu yang mencapai angka fantastis, kendala teknis dalam aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap), serta tragedi meninggalnya 51 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), telah memicu wacana penggunaan hak angket di parlemen.

Indonesia Tawarkan Proyek Air Senilai Rp154 Triliun di 10th World Water Forum

Meskipun penggunaan hak angket ini menuai berbagai pendapat dan polemik, hak ini pada dasarnya merupakan hak konstitusional bagi anggota dewan di parlemen. Mekanisme pengajuan hak angket telah diatur dengan jelas dalam undang-undang, khususnya UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Namun, untuk mengajukan hak angket, diperlukan dukungan minimal dari 25 anggota DPR yang berasal dari lebih dari satu fraksi, sehingga konsolidasi politik di DPR menjadi faktor penting dalam proses ini.

Menurut Pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hak angket merupakan kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap implementasi suatu undang-undang yang memiliki dampak penting dan luas terhadap kehidupan masyarakat dan negara, yang diduga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Soejono (2003), penggunaan hak angket juga dapat dianggap sebagai upaya DPR untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan tujuan memastikan bahwa proses pemilu berlangsung secara efektif dan tanpa adanya pelanggaran terhadap peraturan tersebut.

Selain itu, hak angket juga dapat dipandang sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat demokrasi di Indonesia dan meningkatkan mutu pelaksanaan pemilu di masa yang akan datang.

Dalam konteks ini, objek dari hak angket adalah pemerintah, yang dalam arti yang lebih luas mencakup penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Meskipun Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen tidak secara spesifik menyebutkan hak menyelidiki (enquete), hak angket telah diatur secara tegas dalam undang-undang terkait susunan dan kedudukan lembaga negara, serta melalui peraturan internal DPR.

Menurut Cipto (2005), pelaksanaan hak angket harus tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sesuai dengan Pasal 199 Undang-Undang tersebut, hak angket harus diajukan oleh minimal 25 anggota DPR dari lebih dari satu fraksi, dengan disertai dokumen yang menjelaskan materi kebijakan atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, serta alasan penyelidikan.

Usulan hak angket akan dianggap sah jika mendapat persetujuan dari lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.

Menang Lelang Rp3,3 Triliun, HK Bangun Jalan Trans-Papua Ruas Jayapura-Wamena

DPR, sebagai badan legislatif di Indonesia, memiliki peran yang penting dalam sistem politik. Sebagai lembaga politik yang sudah mapan, DPR sering kali menjadi panggung bagi dinamika politik, dan hak angket merupakan salah satu wujud dari fungsi DPR dalam mengawasi pemerintahan.

Menurut pandangan Carl J Friedrich, pola fungsi legislatif ditentukan oleh hubungan antara eksekutif dan legislatif, yang dipengaruhi oleh sistem pemerintahan. Di dalam literatur Hukum Tata Negara, terdapat berbagai jenis sistem pemerintahan, seperti sistem parlementer, semi-presidensial, dan presidensial, yang memiliki karakteristik yang berbeda.

Isra (2010) menyebut bahwa penggunaan hak angket tidak terlepas dari tantangan. Prosesnya harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks Pemilu, penggunaannya harus sesuai dengan tujuan yang jelas dan sesuai dengan konstitusi. Apabila hak angket digunakan untuk meminta klarifikasi dari pemerintah mengenai pelaksanaan Pemilu, hal tersebut dapat diterima dalam kerangka konstitusional.

Urgensi dari pelaksanaan hak angket oleh DPR dalam rangka menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu
tidak dapat dipandang remeh. Hak ini dapat dilaksanakan sepanjang waktu untuk meminta keterangan dan penjelasan terkait penyelenggaraan pemilu oleh pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan tersebut.

Namun, penting untuk diingat bahwa hak angket tidak boleh disalahgunakan untuk tujuan melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap presiden atau wakil presiden. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa proses impeachment atau pemakzulan merupakan kewenangan yang tidak hanya dimiliki oleh DPR, tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi.

Hak angket DPR bukan semata-mata ada untuk menyelidiki dugaan kecurangan, tetapi juga merupakan hak untuk mengetahui keadaan pemerintahan secara menyeluruh. Hak ini dapat digunakan untuk memperoleh informasi terkait pelaksanaan pemerintahan, merumuskan kebijakan, memberikan persetujuan atau pertimbangan terhadap orang, keadaan, atau suatu peristiwa yang berkaitan dengan pemerintahan.

Oleh karena itu, pelaksanaan hak angket tidak hanya menjadi instrumen pengawasan, tetapi juga menjadi sarana untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Referensi

  • Cipto, B. (2005). Dewan Perwakilan Rakyat dalam Era Pemerintahan dan Industrial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Fuadi, M. (2009). Teori Negara Hukum. Jakarta: Refika Aditama.
  • Isra, Saldi (2010). Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
  • Rundengan, S. (2022). Problematika Pemilu Serentak 2024 dan Rekonstruksi Regulasi. jdih.kpu.go.id
  • Soejono & Abdurrahman. (2003). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

GH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini