Pelajari Literasi Musik ala Komponis Legendaris, Ismail Marzuki

Pelajari Literasi Musik ala Komponis Legendaris, Ismail Marzuki
info gambar utama

Apa, sih, literasi musik yang bisa Kawan pelajari dari Ismail Marzuki? Setiap orang pencinta seni, pastinya mengenal tokoh seni legendaris satu ini. Siapa lagi kalau bukan Ismail Marzuki. Beliau dikenal sebagai seorang musisi legendaris yang produktif dan kreatif dalam menghasilkan beragam lagu nasional, seperti Indonesia Pusaka, Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa, dan lagu nasional lainnya. Tidak heran, banyak seniman nasional yang menghormati Ismail Marzuki atas karya-karya hebatnya.

Lalu, kembali pada pertanyaan awal, apa saja hikmah atau pelajaran yang bisa didapatkan terkait literasi musik ala Ismail Marzuki? Sebelum Kawan mempelajarinya, Kawan harus mengenal lebih lanjut tentang siapa itu Ismail Marzuki.

Sosok Ismail Marzuki

Ismail Marzuki lahir di Jakarta pada 11 Mei 1914. Sebagai orang yang bersuku betawi, Ismail Marzuki dipanggil dengan sebutan Bang Maing, Mail, atau Maing. Sejak kecil, kehidupan Ismail Marzuki sebenarnya jauh dari kata kebahagiaan. Tiga bulan setelah dirinya dilahirkan, ibunya meninggal dunia.

Selanjutnya, ada dua kakaknya, Yusuf dan Yakup yang harus meninggal dunia sebelum beliau dilahirkan. Menjadi seorang yatim, Ismail Marzuki harus tinggal dengan ayah dan kakaknya, Hamidah yang umurnya 12 tahun lebih tua darinya.

Meskipun hidupnya cukup sulit di kala penjajahan kolonial Belanda, Ismail Marzuki tidak patah semangat. Beliau mempelajari beragam musik tradisional dan modern. Dengan hasil belajarnya itu, Ismail Marzuki berhasil meluncurkan lagu pertamanya, yakni O Sarinah pada 1931.

Kala itu, Beliau masih berstatus remaja dengan umur 17 tahun. Selain itu, dirinya juga senang berorganisasi yang sesuai dengan passion-nya. Buktinya, beliau mengikuti perkumpulan orkes musik Lief Java sebagai pemain gitar, saxophone, dan harmonium pompa.

Dalam masa penjajahan kolonial Belanda, Ismail Marzuki telah menciptakan beberapa lagu, seperti Keroncong Serenata (1935), Roselani (1936), Kasim Baba (1937), Pulau Saweba (1938), Di Tepi Laut (1938), Duduk Termenung (1938), dan lagu lainnya. Tidak hanya menciptakan lagu berbahasa Indonesia, Beliau juga menciptakan lagu berbahasa Belanda, seperti Als de Ovehedeen dan Als’t Meis is in de tropen pada 1939.

Saat pendudukan Jepang di Indonesia, semangat musik Ismail Marzuki tetap membara. Beliau aktif dalam orkestra radio pada saluran Hozo Kanri Keyku di radio militer Jepang. Namun, musik-musik yang berpotensi menimbulkan jiwa nasionalisme dibatasi karena rentan memicu pemberontakan bagi pihak Jepang.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Ismail Marzuki tetap meneruskan karir bermusiknya dengan menduduki jabatan pemimpin di Orkestra Studio Jakarta. Beliau juga mendapat kehormatan karena lagunya diperdengarkan saat Pemilu 1955. Tiga tahun setelahnya, Ismail Marzuki menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Mei 1958 karena penyakit paru-paru yang dideritanya.

Baca Juga: Lagu Hari Lebaran, Sindiran Ismail Marzuki kepada Para Penguasa

Literasi Musik ala Ismail Marzuki

izmail marzuki
info gambar

Meski raganya sudah tidak lagi ada di sini, karya-karya legendaris Ismail Marzuki masih dikenang dan dimainkan oleh beragam komunitas musik di Indonesia. Pastinya, ada beragam alasan tertentu karyanya tetap dikenal hingga sekarang, seperti nilai budaya, inspirasi, dan metodenya. Namun, ada satu hal yang perlu dipelajari dari Beliau, yaitu literasi musiknya yang tinggi.

Dilansir dari Sularso.com, literasi musik adalah kemampuan individu untuk menghasilkan dan menciptakan kembali karya melalui pengetahuan dan keterampilan musik, serta kemampuan untuk beradaptasi dan berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, seperti apa literasi musik ala Ismail Marzuki?

1. Mengikuti Banyak Kegiatan Musik

Seperti pada poin sebelumnya, Ismail Marzuki senang melakukan kegiatan musik untuk meningkatkan keterampilan bermusiknya. Beliau mengikuti beragam kegiatan orkestra dan mencoba beragam posisi musik di sana. Contohnya, Ismail Marzuki pernah memainkan piano, gitar, saxophone, hingga harmonium pompa. Tidak heran, keterampilan bermusiknya sungguh mumpuni dan diandalkan oleh perkumpulan musiknya.

Kawan GNFI yang punya passion di bidang musik, Kawan bisa mencoba beragam kegiatan musik, seperti mengikuti ekstrakurikuler paduan suara di sekolah, menghadiri orkestra musik, mengikuti komunitas musik secara daring ataupun luring, dan kegiatan musik lainnya. Dengan begitu, Kawan GNFI bisa belajar baru sekaligus meningkatkan literasi musik secara signifikan.

2. Memproduksi Lagu melalui Panca Indera

Apakah Kawan merasakan banyak judul-judul lagu dari Ismail Marzuki yang dituliskan sebagai gambaran dari penciptanya? Contohnya, lagu O Sarinah yang menggambarkan kehidupan masyarakat saat dijajah oleh kolonial Belanda.

Tidak hanya itu, beliau juga menghasilkan beragam musik yang dihasilkan dari pengetahuan yang dicampur dengan visualisasinya, seperti lagu Gugur Bunga. Lagu tersebut berhasil menyentuh hati para pendengar karena setiap bait dala liriknya mengvisualisasikan perjuangan tentara revolusioner Indonesia melawan penjajah.

3. Setiap Lagu ada Maknanya

Kawan tidak bisa semena-mena membuat lagu kalau tidak paham dengan lirik yang Kawan tuliskan. Ismail Marzuki selalu mengedepankan makna, baik tersirat maupun tersurat dalam setiap lagunya. Contohnya, lagu Rayuan Pulau Kelapa. Beliau tidak hanya mengekspresikan tentang keindahan alam Indonesia, tetapi juga menyisipkan pesan di dalamnya.

Dilansir Klikhijau.com, Ismail Marzuki berpesan bahwa warga negara Indonesia harus tetap menjaga kelestarian alam agar generasi selanjutnya bisa tetap menyaksikan keindahannya. Untuk itu, dalam setiap membuat lagu, Kawan juga diharapkan bisa menyajikan makna. Pastinya, Kawan perlu membuat lagu yang bermuatan positif agar kebaikan selalu mengalir bagi pencipta maupun pendengarnya.

4. Pertahankan Empat Elemen Pokok Literasi Musik

Elemen pokok yang dimaksud adalah estetika, ekspresi, kreativitas, dan nilai seni musik. Ismail Marzuki telah melahirkan beberapa lagu yang mempertahankan elemen-elemen pokok tersebut. Contohnya, lagu Sepasang Mata Bola (1946). Beliau menyajikan elemen estetika dalam lagu itu dengan penyajian musik serta lirik yang cocok menggambarkan suasana petang di Stasiun Yogyakarta.

Tidak hanya itu, kreativitas pun tercermin pada judul lagu tersebut. Siapa sangka lagu Sepasang Mata Bola berisi ekspresi dan estetika dari gambaran suasana senja di Stasiun Yogyakarta. Tidak heran, genre legendaris keroncong menjadi pengisi instrumen dalam lagu ini.

Baca Juga: Sejarah Lagu Indonesia Raya yang Jarang Diketahui, termasuk Kontribusi Orang Tionghoa

Dari keempat poin tadi, Kawan GNFI perlu mengingat bahwa musik adalah produk spiritual manusia. Untuk itu, mempelajari literasi musik penting karena dapat membangkitkan kekuatan emosional dan imajinasi bagi Kawan GNFI. Dengan literasi musik, Indonesia akan melahirkan beragam komponis ternama, baik skala nasional maupun internasional.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini