Membayang Detak Jam Gadang

Membayang Detak Jam Gadang
info gambar utama
By Adela Eka Putra Marza Sekitar 87 tahun yang lalu, sebuah kapal besar dari Rotterdam, Belanda, merapat di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Banyak barang yang diturunkan oleh awak kapal. Salah satunya adalah sebuah paket besar yang berisi empat buah jam besar, yang masing-masingnya berdiameter 80 sentimeter. Ratu Belanda IV, Wilhelmina, disebut-sebut menghadiahkan jam besar tersebut kepada Controleur Buktitinggi zaman Belanda dahulu, Rook Maker. Hadiah ini merupakan bentuk penghargaan ratu terhadap hasil kerja Rook Maker di Bukittinggi. Hanya saja, dalam catatan sejarah tak dijelaskan secara detail keberhasilan macam apa yang telah dia raih. Tak lama setelah kedatangan jam tersebut, masih pada 1926, sebuah menara empat tingkat dengan tinggi 26 meter dibangun di Bukittinggi. Dan keempat jam besar itu pun kemudian dipasang di sana, tepatnya di tengah Taman Sabai nan Aluih, persis di depan Gedung Pertemuan Muhammad Hatta (dulu Gedung Tri Arga). Sejak itu, menara jam besar itu dikenal dengan sebutan Jam Gadang, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Jam Besar’. Menara Jam Gadang ini dibangun oleh seorang arsitek putra Sumatera Barat sendiri, yakni Yazid Abidin dari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam sekarang. Sedangkan mandor dan pemborongnya berasal dari Birugo Bukittinggi, Sutan Gigi Ameh dan Haji Moran. Pembangunan menara Jam Gadang ini menghabiskan biaya 3000 gulden; nilai yang cukup besar untuk saat itu. Menara tempat jam dipasang ini dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Campurannya hanya berupa kapur, putih telur, dan pasir putih. Adonan itu dipakai sebagai perekat batu-batu, fondasi, dan dinding bangunan. Sejak dibangun pada 1926, Jam Gadang itu masih kokoh berdiri. Namun, keunikan tak hanya pada bangunan menaranya. Jamnya sendiri terbuat dari tembaga dan besi kuningan yang diproduksi di Jerman dengan nama Brixlion. Mesin jam ini disebut-sebut hanya ada dua di dunia. Selain di Bukittinggi, kembaran dari mesin jam tersebut saat ini terpasang di Menara Big Ben di London, Inggris. Pada lonceng Jam Gadang terukir tulisan “Aba B Vortmann T fabrik L.W. Germany”. Vortmann adalah pembuat mesin Jam Gadang. Pada bagian roda gigi jam, juga terdapat tulisan cetak timbul “B Vortmann, Recklinghausen – 1926.” Inilah petunjuk asal-usul Jam Gadang, yang berasal dari sebuah pabrik di salah satu distrik di Jerman, yaitu pabrik L.W. Germany di Recklinghausen. Tak hanya bangunan menara dan mesin jamnya saja yang memiliki sejarah. Atap menara Jam Gadang pun beberapa kali diganti, seiring dengan sejarah kelahiran perjalanan Bukittinggi. Ketika awal berdiri di zaman Belanda, bentuknya bulat telur dengan patung seekor ayam jantan di puncaknya. Bentuknya kemudian berubah menjadi kelenteng di zaman penjajahan Jepang. Setelah di dalam Indonesia, bentuknya kembali diganti dengan gaya atap bagonjong khas Rumah Gadang, rumah adat Minangkabau, hingga saat ini. Yang paling unik dari Jam Gadang adalah penulisan salah satu angka Romawi pada angka jam tersebut. Jika angka romawi untuk angka empat biasanya ditulis “IV”, maka di Jam Gadang tertulis “IIII”. Menurut cerita, angka empat Romawi yang aneh itu berhubungan dengan jumlah pekerja bangunan yang meninggal ketika pembangunan menara Jam Gadang. Keanehan angkat empat Romawi itu dianggap sebagai simbol tumbal dari keempat korban tersebut. Cerita ini pernah muncul di kalangan orang-orang tua di Bukittinggi. Akan tetapi, dalam film The Bank Job (2009), yang bercerita tentang perampokan bank di London pada 1971, ada juga jam besar dengan angka empat yang ditulis dengan simbol “IIII”. Jam besar itu terlihat di salah satu stasiun kereta api di London. Bisa jadi, penulisan angka empat Romawi seperti itu merupakan patron lama dan kuno. Namun demikian, angka empat Romawi pada jam di Menara Big Ben tetap ditulis “IV”. Penulisan angka empat Romawi dengan simbol “IIII” inilah yang menjadi salah satu daya tarik Jam Gadang. Jika beruntung, menara Jam Gadang ini bisa dinaiki hingga ke tingkat paling atas, yang menjadi tempat mesin jam besar itu berada. Disebut “beruntung” karena izin masuk ke dalam menara tidak lagi sebebas dulu. Belakangan, pemerintah Kota Bukittinggi menutup akses wisatawan untuk naik ke puncak menara dengan alasan menjaga mesin jam tersebut.

***

Bukittinggi terletak dalam deretan Bukit Barisan. Lokasi kota kecil yang berhawa sejuk ini, dengan suhu umumnya 20 derajat celcius, tak begitu jauh dari Kota Padang, ibu kota Sumatera Barat. Jaraknya hanya 90 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Jika menggunakan bus, ongkosnya Rp. 15.000. Meski demikian, suhunya berbeda dengan Padang yang begitu hangat. Perjalanan Padang-Bukittingi takkan terasa dengan kondisi alam yang asri. Ada air terjun Lembah Anai, Batang Anai yang mengalir deras di antara bebatuan besar, atau jalur kereta api kuno yang membelah perbukitan. Namun, di akhir pekan, kemacetan sering terjadi di jalur ini. Sementara itu, destinasi wisata di Bukittinggi juga beragam. Ada Taman Lobang Jepang, bekas penjara yang menyimpan sejarah kekejaman pendudukan Jepang di Indonesia. Ada benteng Fort De Kock yang dibangun Belanda sebagai saksi bisu dalam Perang Paderi. Ada pula Kebun Binatang Bukittinggi yang sudah ada sejak 1929, sebagai salah satu kebun binatang tertua di Indonesia atau India Belakang. Ngarai Sianok dengan panorama lembahnya yang memukau tak ketinggalan menjadi tujuan orang-orang yang hendak berwisata. Yang juga tak bisa dilewatkan adalah wisata kuliner khas Minangkabau, yang tersedia lengkap di Bukittinggi. Dan, tentu saja, menara Jam Gadang yang masih menjadi simbol kuat bagi kota Bukittinggi, yang juga menjadi ikon pariwisata Sumatera Barat. Selain itu, ada juga pasar tradisonal Bukittinggi yang bisa dikunjungi: Pasar Ateh (pasar atas) dan Pasar Bawah. Pasar Ateh dan Pasar Bawah memang sesuai dengan namanya, yakni satu di atas dan satu lagi di bawah. Tapi, pasar ini bukan bertingkat. Maksudnya, Pasar Ateh berada di daerah perbukitan dan Pasar Bawah di dataran yang lebih rendah. Untuk Souvenir khas Bukittinggi, orang dapat menjumpainya di Pasar Ateh, yang berjarak hanya sekitar lima menit jalan kaki dari lokasi Jam Gadang. Semua souvenir yang dijual bercirikan Jam Gadang atau Rumah Gadang;. mulai dari miniatur bangunan, gantungan kunci, dan kaos. Jika berbelanja, pintar-pintarlah menawar. Karena Orang Minang sudah sejak lama terkenal cerdik dalam berniaga. Sebelum pulang, jangan lupa menikmati sepiring nasi kapau dengan gulai itiaklado ijau (gulai itik sambal hijau) di Pasar Ateh, tepatnya di Los Lambuang; sebuah foodcourt tradisional di tengah-tengah Pasar Ateh. Atau bisa juga mencoba gulai tambusu, yakni sepotong usus sapi yang diisi dengan adonan telur berbumbu. Tentunya dengan minuman tehtalua (teh telur) khas orang Minang. Ondeh, lamak bana! ____ Lentera Timur Sumber : LenteraTimur.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini